Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Muasal Kehidupan

6 November 2006 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Christian de Duve

  • Laureat Nobel Kedokteran penulis buku Singularities.

    Penciptaan organisme di bumi adalah intervensi ilahi. Pendapat ini masih banyak dipertahankan di lingkaran keagamaan. Di antaranya, satu gagasan ilmiah yang tidak begitu populer yaitu teori ”desain intelijen” (ID). Teori ini berpendirian, asal-muasal kehidupan dan evolusinya tidak dapat melulu dijelaskan dalam prinsip alamiah. Sebagian besar ilmuwan menolak teori ini karena dipandang tidak didukung bukti ilmiah.

    Kisah penciptaan versi sains modern meyakini bumi terlahir bersama matahari dan planet-planet lain dalam satu perputaran dahsyat gas dan debu sekitar 4,5 miliar tahun silam. Planet kita relatif sudah pulih kesehatannya dari proses persalinan mahadahsyat pada setengah miliar tahun lalu dan menjadi tempat yang aman bagi kehidupan. Setengah miliar tahun berikutnya kehidupan mulai berkecambah. Proses evolusi memungkinkan berkeriapnya segenap makhluk hidup—berjenis-jenis mikroba, tumbuhan, jamur, hewan hingga manusia.

    Organisme primitif timbul dari materi tak-hidup, yang mungkin berawal dari gunung api di dasar laut yang kaya belerang dan logam. Campuran tak sedap ini ”diberi bumbu” molekul organik tak terbilang banyaknya, seperti asam amino, gula, nitrogen, dan komponen tipikal lain. Salah satu penemuan paling mencengangkan dalam beberapa dasawarsa terakhir—terungkap dalam eksplorasi ruang angkasa—ialah banyak unsur kimiawi kehidupan terbentuk secara spontan selama alam semesta berproses.

    Kimia organik—yang merupakan prerogatif dari organisme hidup—telah berubah menjadi zat kimia paling menyebar. Bagaimana ”kimia kosmik” ini memicu sel hidup perdana tidak diketahui secara mendetail. Tetapi prosesnya dapat diringkaskan dalam dua kata kunci. Pertama, kimia adalah sang inti kehidupan. Makhluk hidup terus-menerus menciptakan konstituennya dari unsur anorganik dan organik, dengan bantuan katalis yang disebut enzim. Juga, berkat energi sinar matahari, sumber-sumber mineral, atau bahan makanan dari organisme lain.

    Hal yang sama terjadi pada asal-muasal kehidupan. Tapi bagaimana alurnya, lewat tindakan katalis macam apa, melalui sumber energi mana, masih perlu diidentifikasi lebih lanjut. Kata kunci kedua adalah replikabilitas, yaitu kemampuan molekul-molekul pemberi informasi tertentu merangsang duplikasi dirinya yang memungkinkan terjadinya sintesis. Fungsi ini dijalankan oleh DNA—mulanya diperankan oleh RNA, kerabat dekat DNA.

    Pada mulanya replikasi hanya berhubungan dengan molekul RNA. Tak lama kemudian molekul-molekul RNA terlibat dalam sintesis protein menurut cetak biru yang disiapkan RNA, sehingga replikasi dapat diperluas hingga ke protein lewat RNA yang kemudian berubah menjadi DNA. Replikasi yang efektif lewat protein perlahan-lahan menjadi obyek yang kompleks hingga terbentuknya sel-sel dan organisme multiselular.

    Replikasi memungkinkan reproduksi tak berkesudahan entitas serupa—dari generasi ke generasi—dan menjadi dasar kesinambungan genetik. Secara niscaya, replikasi memungkinkan variasi (bentuk yang bisa direplikasi). Selanjutnya, menurut Charles Darwin, seleksi alam kepada turunan-turunan itu akan menghasilkan jenis yang paling cocok untuk melanjutkan garis keturunan.

    Proses ini berlaku juga pada kimia segera setelah replikabilitas muncul dan beroperasi pada molekul dan selanjutnya pada ”rakitan” yang kian kompleks hingga dewasa ini. Dengan replikasi, terjadi variasi bahkan mutasi—seleksi alam menjadi alat penjaring dan penyaringnya. Variasi ini sifatnya kebetulan. Inilah yang menjadi latar belakang keyakinan bahwa sejarah kehidupan sejatinya dipandu oleh prinsip yang berkaitan dengan situasi dan kondisi saat ini.

    Pandangan ini mengabaikan kemungkinan bahwa pilihan-pilihan berdasar prinsip seleksi alam memungkinkan solusi yang opsional dan mendekati opsional. Memang ada alasan kuat untuk meyakini bahwa pengoptimalan seleksi sudah dimulai sejak awal mula dalam proses evolusi kehidupan. Ini menyiratkan pengertian bahwa kehidupan—sejauh ia merupakan produk kimia deterministik dan produk seleksi yang terus dioptimalkan—muncul ketika kondisi yang mengitarinya meniru kondisi yang mengitari kelahiran bumi.

    Toh seleksi yang kian optimal selama proses evolusi sama sekali bukan bukti adanya desain intelijen. Dengan mengabaikan argumen-argumen yang mendukung teori desain intelijen yang telah berulang kali ditolak, saya hendak mengatakan: teori yang didasarkan penyataan apriori bahwa benda tak dapat dijelaskan keberadaannya secara alamiah bukanlah teori ilmiah.

    Ilmu selalu didasarkan pada pemikiran bahwa obyek studi dapat diterangkan secara alamiah. Alam semesta berikut ciri-ciri fundamental kehidupan telah terbukti dapat dijelaskan dengan cara itu. Jadi, mengapa harus mencari jawaban sebaliknya?

    Hak cipta Project Syndicate 2006

  • Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    Image of Tempo
    Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
    • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
    • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
    • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
    • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
    • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
    Lihat Benefit Lainnya

    Image of Tempo

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    >
    Logo Tempo
    Unduh aplikasi Tempo
    download tempo from appstoredownload tempo from playstore
    Ikuti Media Sosial Kami
    © 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
    Beranda Harian Mingguan Tempo Plus