Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Mudahnya Berburu Mahkota Dewa

4 April 2005 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

HARI masih pagi. Desa Hargobinangun, Kecamatan Pakem, Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta, masih berkabut. Meski demikian, denyut kehidupan di sana sudah terasa. Orang-orang mulai berdatangan ke kebun yang ada di lereng Gunung Me-rapi. Sebagian mampir dulu ke kios jamu yang berada persis di depan pintu masuk kebun.

Aktivitas yang terekam Tempo pada Selasa pekan lalu itu hampir setiap pagi dilakukan oleh penduduk di sana. Sebuah kebun milik CV Merapi Farma menjadi satu simpul penghidupan mereka. Kebun seluas satu hektare ini ditanami berbagai jenis tanaman obat. Ada juga kios jamu tradisional yang dibangun dari anyaman bambu. Di sana dijual jamu seduhan dengan harga Rp 2.000 per gelas dan jamu kemasan kering seharga Rp10-20 ribu setiap bungkus.

Semua jamu berasal dari tanaman di kebun itu. Bukan hanya daun meniran yang sekarang menjadi perbincangan khalayak, ada jenis tanaman lainnya seperti anggrek tanah, bidara laut, persik, serta bunga pagoda?total terdapat 739 jenis tanaman obat. Ada juga pohon mahkota dewa yang belakangan paling dicari banyak orang karena dipercaya bisa menyembuhkan penyakit kanker.

Kendati sebagian besar khasiat tanaman tersebut belum diuji secara klinis, banyak orang sudah meyakininya. Terbukti koleksi Merapi Farma laris manis. Bos perusahaan ini, Sidik Raharja, menjualnya ke pabrik jamu di Jawa Tengah sejak 1998. Sebagian ia racik sendiri, lalu dijual dalam bentuk jamu. "Peracikan saya lakukan setelah saya tahu betul khasiat tanaman-tanaman itu," ujarnya.

Selain di Sleman, belakangan Sidik juga membuka kebun di Salaman, Magelang, seluas 10 hektare. Dari dua kebun miliknya, dalam sebulan, Sidik bisa menjual 6-25 ton bahan baku jamu.

Merapi Farma tak sendirian meraih sukses. Di Yogyakarta sekarang cukup banyak kebun serupa yang membudidayakan tanaman obat. Itu sebabnya, seorang pengusaha obat herbal, Ning Harmanto, mengaku tak pernah kesulitan lagi mendapatkan bahan baku. "Sampai tahun 2001, saya masih sering kesulitan mencari mahkota dewa. Kini hal itu tak terjadi lagi," kata Ning. Dia biasa meracik mahkota dewa yang kemudian dikemas dalam bentuk kapsul.

Kebun obat juga bisa dijumpai di daerah lain, seperti Bogor. Tepatnya di Kampung Nagrak, Desa Cipelang, Kecamatan Cijeruk. Di sana terdapat kebun seluas 7.000 meter persegi. Pemiliknya, Setia Dewani, menanaminya dengan sekitar 400 jenis tanaman obat. Selain mahkota dewa dan buah makasar, di sana juga ditanam tanaman buah merah yang dipercaya bisa memperkuat sistem kekebalan tubuh.

Dewani membuka kebun obat itu tiga tahun silam. Dia mempelajari khasiat tanaman yang dikoleksinya secara otodidak. Setelah dikeringkan dan ditumbuk menjadi tepung, bahan-bahan itu dikemas dalam bentuk kapsul yang siap diminum. Kini kebun miliknya sering disambangi mahasiswa untuk kegiatan penelitian, bahkan dijadikan tempat tujuan wisata keluarga.

Pusat tanaman obat terdapat pula di Batu, Malang. Bernama Balai Informasi Tanaman Obat Materia Medica, proyek ini didirikan oleh R.M. Santoso pada 1960. Kebunnya seluas 2,1 hektare. Sebanyak 500 jenis tanaman obat ada di sana, mulai dari meniran, patikan cina, mahkota dewa, sampai pandan wangi (Pandanacea). Kini kebun ini dikelola oleh Yayasan Farmasi bekerja sama dengan Dinas Kesehatan Jawa Timur. Kegiatan utamanya melakukan penelitian dan pelatihan bagi petani tanaman obat.

Menurut Siti Hidjrati Arlina, penanggung jawab Balai Materia, berbagai perguruan tinggi di Indonesia, kalangan usaha kecil dan menengah, serta petani sering memanfaatkan kebun obat ini sebagai tempat belajar. "Kami berharap dari belajar di sini masyarakat bisa menjadi petani tanaman obat yang benar," katanya.

Pusat penelitian serupa juga terdapat di Bogor dengan nama Balai Penelitian Tanaman Obat dan Rempah. Balai ini memiliki 300 jenis tanaman obat dan rempah-rempah mulai dari lada, meniran, kumis kucing, pegagan, daun dewa, mahkota dewa, seledri, daun pandan, sampai belimbing wuluh.

Kepala Pusat Studi Bio Farmaka, Institut Pertanian Bogor, Prof Lativa K. Darusman, menyatakan, berkembangnya kebun obat beberapa tahun terakhir ini sangat menggembirakan. Kini orang sakit bisa disembuhkan dengan biaya murah. "Seharusnya data-data mengenai tanaman itu disatukan di sebuah tempat sehingga masyarakat kian mudah mengaksesnya," ujarnya.

Eni Saeni, Deffan Purnama (Bogor), Bibin Bintariadi (Malang), Syaiful Amin (Yogyakarta)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus