Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Presiden Joko Widodo harus menolak tegas rencana pembentukan Detasemen Khusus Tindak Pidana Korupsi Kepolisian RI. Usul serampangan ini hanya akan menghambur-hamburkan anggaran negara. Sulit pula mengharapkan Densus Antikorupsi mampu membongkar korupsi kakap lantaran tak punya wewenang besar.
Rencana mendirikan Densus Antikorupsi itu tidak melalui kajian mendalam. Ide yang disokong Komisi Hukum Dewan Perwakilan Rakyat itu diduga bertujuan menandingi, bahkan melemahkan Komisi Pemberantasan Korupsi. Manuver politikus Senayan ini makin gencar setelah KPK membongkar korupsi proyek kartu tanda penduduk elektronik, yang diduga melibatkan Ketua DPR Setya Novanto. Lewat Panitia Angket, mereka menyiapkan skenario memangkas kewenangan hingga membubarkan KPK.
Kepala Kepolisian RI Jenderal Tito Karnavian berargumen bahwa kinerja polisi menangani kasus korupsi tak maksimal karena anggarannya kecil. Tito lantas mengusulkan anggaran Rp 2,6 triliun buat membentuk Densus Antikorupsi. Cara pikir ini mungkin tepat untuk membangun Densus Antiterorisme. Kepolisian tinggal minta tambahan anggaran biaya operasional dan pembelian senjata buat mendongkrak kinerja. Tapi, bagi lembaga antikorupsi, yang paling penting justru wewenang dan independensinya.
KPK berjalan efektif karena independen dan dilengkapi wewenang besar oleh undang-undang. Tak cuma punya wewenang menyadap, KPK istimewa lantaran menyatukan penyidik dan penuntut dalam satu atap. Ini memungkinkan proses peradilan dilakukan secara cepat. Bisa saja Densus Antikorupsi meniru model ini, tapi tak ada dasar hukumnya.
Jalan pintas yang digagas sebagian politikus Senayan sungguh tak elok. Ada yang mengusulkan pembentukan Densus Antikorupsi cukup lewat peraturan atau keputusan presiden. Tujuannya agar lembaga ini bisa merintis mekanisme proses hukum ala KPK seraya menunggu pembuatan undang-undang tentang Densus Antikorupsi. Cara ini amat ceroboh karena bisa menabrak banyak aturan: Undang-Undang Kepolisian, Undang-Undang Kejaksaan, dan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.
Dulu, Kepala Kepolisian RI Jenderal Sutarman membatalkan usul pembentukan Densus Antikorupsi. Ia memilih mengoptimalkan kinerja kepolisian untuk memerangi korupsi. Kini pun Tito seharusnya bersikap bijak. Ia bisa meminta tambahan anggaran buat mengefektifkan unit tindak pidana korupsi di setiap kepolisian resor. Cara ini akan lebih tepat untuk memerangi korupsi di daerah, termasuk penyelewengan dana desa. Presiden Jokowi pun tinggal memerintahkan Jaksa Agung memprioritaskan kasus-kasus yang sama agar proses peradilan berjalan lancar.
Penanganan korupsi kakap jelas akan lebih efektif dilakukan KPK, yang memiliki wewenang lebih besar, berpengalaman, dan integritas personelnya sudah teruji. Komisi Antikorupsi juga berwenang mengawasi, bahkan mengambil alih kasus korupsi yang diusut penegak hukum lain, termasuk jaksa dan polisi- hal yang mustahil dilakukan Densus Antikorupsi.
Itu sebabnya pegiat antikorupsi dan kalangan akademikus menolak keras pembentukan Densus Antikorupsi. Wakil Presiden Jusuf Kalla pun bersikap sama. Presiden Jokowi bertindak sembrono bila merestui pembentukan Densus Antikorupsi. Langkah ini akan merusak sistem hukum dan menghancurkan strategi memerangi korupsi yang dibangun sejak era reformasi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo