Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SUDAH semestinya pemerintah baru DKI Jakarta menempatkan rencana pembatalan reklamasi Teluk Jakarta dalam program 100 hari mereka. Dari pelbagai janji kampanye, inilah program paling mendapat perhatian sekaligus realistis dikerjakan untuk menunjukkan kepada publik bahwa janji kampanye pasangan Anies Baswedan-Sandiaga Uno bukan sekadar gincu di bibir.
Menunjukkan gelagat akan menerima reklamasi- seperti tecermin dari pernyataan M. Taufik, politikus Gerindra, partai pendukung pasangan itu- Anies-Sandi mudah dicurigai "takluk" pada kepentingan pengembang. Taufik mengatakan, asalkan tidak melanggar aturan, reklamasi bisa didiskusikan lagi.
Pelanggaran yang paling telak adalah pendirian bangunan tanpa izin di Pulau C dan D. Secepatnya, Anies harus membongkar bangunan "liar" bernilai ratusan miliar rupiah itu- umumnya berwujud rumah toko. Penerbitan izin mendirikan bangunan (IMB) merupakan wewenang pemerintah provinsi. Bergerak ke hulu, pemerintah provinsi harus segera membahas Rancangan Peraturan Daerah Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil bersama Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
Pembahasan itu selayaknya bukan untuk meloloskan usul pulau reklamasi sebagai perumahan dan kawasan komersial, melainkan menjadikan tiga pulau yang sudah diuruk sebagai ruang publik, kawasan konservasi, dan hutan kota. Usul menghancurkan tiga pulau yang kadung diuruk tidak realistis. Membongkar pasir urukan justru akan merusak lingkungan. Adapun terhadap rencana pembangunan pulau lain, pemerintah provinsi harus membatalkannya.
Peraturan Daerah Rencana Zonasi merupakan mandat Undang-Undang tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Rencana Zonasi merupakan alat kontrol untuk menjaga keseimbangan pelbagai kawasan- perlindungan, pelestarian, dan perangkat untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Rencana Zonasi juga berfungsi memberikan kepastian dan perlindungan hukum dalam pemanfaatan perairan pesisir.
Proyek reklamasi sejatinya cacat sejak awal. Ide utama pengurukan di Teluk Jakarta, seperti tecermin dalam Undang-Undang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, seharusnya memberi manfaat bagi pemangku kepentingan pesisir, yang meliputi nelayan tradisional, nelayan modern, pembudi daya ikan, pengusaha pariwisata, pengusaha perikanan, dan masyarakat pesisir. Dalam praktiknya, justru para nelayan yang dirugikan.
Pemerintah Joko Widodo sebetulnya telah menempuh jalan elegan mengatasi persoalan yang sempat menjadi polemik pada masa kampanye pemilihan kepala daerah DKI ini: memberlakukan moratorium reklamasi. Aneh bin ajaib, menjelang berakhirnya pemerintahan Gubernur Djarot Saiful Hidayat, pemerintah pusat melalui Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan mencabut moratorium. Rencana agar proyek reklamasi menjadi bagian integral dari proyek National Capital Integrated Coastal Development (NCICD) atau tanggul laut raksasa dilupakan begitu saja. Hingga moratorium dicabut, kajian Badan Perencanaan Pembangunan Nasional tentang NCICD belum lagi rampung.
Pada masa moratorium pulalah pengembang asyik mendirikan bangunan tanpa IMB. Kementerian Lingkungan Hidup dan pemerintah DKI berlagak pilon- seperti takut kepada kekuatan raksasa para pengembang. Mereka yang terlibat dalam pengabaian dan kongkalikong ini harus diusut.
Seperti kerbau dicocok hidungnya, menuruti nilai yang diajukan pengembang, pemerintah provinsi menyetujui nilai jual obyek pajak pulau reklamasi cuma Rp 3,1 juta per meter persegi- jauh di bawah kawasan sekitarnya, yang nilainya sudah di atas Rp 10 juta. Pelbagai keanehan itu memantik curiga: apakah pemerintah sedang mencari manfaat dari pulau reklamasi buat orang banyak atau untuk segelintir pemodal?
Gubernur Anies Baswedan tidak boleh surut langkah. Ia secepatnya harus mencabut izin pelaksanaan reklamasi yang sudah dikeluarkan Gubernur Basuki Tjahaja Purnama.
Anies tak perlu cemas: sebuah keputusan bisa ditarik kembali jika dalam pembuatannya tidak memenuhi syarat atau bertentangan dengan undang-undang. Penarikan izin juga boleh dilakukan jika pada saat pengajuan, pemohon memberikan data yang tidak benar atau tidak lengkap- praktik yang ditengarai dilakukan pengembang reklamasi.
Pembohongan publik dalam perkara reklamasi harus segera diakhiri. Keberpihakan pemerintah pusat terhadap pengembang harus disetop. Presiden Jokowi tak boleh membiarkan keadilan dirongrong pejabat lancung dan segelintir pengusaha yang hanya berpikir tentang perutnya sendiri.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo