Pemilu 1987 baru saja dilangsungkan. Sejak menjelang dan dalam masa kampanye, kita bisa melihat bagaimana sepak terjang para OPP dalam usaha mengeruk suara. Sementara itu, langkah-langkah NU menjadi perhatian, karena sangat kontroversial. TEMPO (Nasional, 11 April) menggambarkan secara jelas dan gamblang perjalanan politik ormas NU itu. Kami, Muslim awam, sungguh prihatin melihat apa yang dijalankan NU dalam berpolitik selama ini, baik di periode Orla maupun Orba. Apalagi, bila kita mengingat, NU cukup lama berdiri dan penuh sesak oleh Orang-orang pintar, baik itu yang disebut intelektual Muslim berpendidikan formal (sarjana doktor) maupun para kiai haji (K.H.) yang cukup sepuh dan berpengaruh pada para santri atau pengikutnya. Segala sikap dan sepak terjang NU sangat jauh dari ciri-ciri pribadi mukmin yang baik. Apa yang dapat kami simpulkan dari laporan-laporan media massa, termasuk TEMPO, hanyalah sifat-sifat penuh emosi dan dendam. Masya Allah! Misalnya, hanya karena dianggap tak bisa berpolitik oleh pimpinan Masyumi pimpinan NU ngambek dan keluar dari Masyumi. Tidak dapatkah mereka mencari jalan keluar yang baik, misalnya membuktikan diri bahwa para politisi NU mampu berpolitik dan mengurus negara? Atau kalau memang belum matang berpolitik dibandingkan dengan politisi Masyumi (non-NU), sebaiknya dengan rendah hati mau belajar kepada saudaranya yang sudah mampu berpolitik. Bukan sebaliknya, main mutung-mutungan seperti itu, yang menyebabkan pecahnya persatuan umat Islam. Sehingga umat menjadi lemah. Yang lebih naif, mereka justru berkompromi dengan PKI dalam Nasakom Orde Lama. Bukankah itu terbalik, Pak Kiai? Bukankah seharusnya NU lebih bisa berkompromi dengan ikhwan seakidah? Di masa Orde Baru, cara berpolitik NU lebih 'hebat' lagi. Itu dimulai dari langkah walk-out waktu pembahasan RUU Perkawinan, yang membuat pemerintah tersinggung, karena masih melihat adanya unsur ekstrem di DPR. Itu, saya kira, merupakan titik awal malapetaka bagi NU yang sekaligus merupakan salah satu biang musabab terjadinya perang saudara di PPP. Sebab, kalau benar apa yang dilaporkan TEMPO, makin merosotnya jatah kursi NU di DPR, karena dengan sengaja digusur Muslimin Indonesia (Ml) yang dimotori Naro. Padahal, para K.H. dari NU sudah berupaya menghadap pemerintah meminta agar Naro digeser dari PPP, ternyata tak terkabul. Maka, jelas Naro membawa misi pemerintah untuk mengurang dominasi NU yang masih dianggap ekstrem itu. Tapi justru NU naik pitam dan mengarahkannya ke Naro. Maka, terjadilah perang saudara tak hentihentinya di tubuh PPP, yang memuncak dengan kembalinya NU ke Khittah 1926. Dalam praktek, sikap kembali ke Khittah 1926 itu merupakan semangat balas dendam melalui usaha penggembosan terhadap PPP yang sudah sama-sama kita maklumi itu. Kalau dalam masa kampanye lalu NU berkeberatan PPP, yang sudah ber-Pancasila, mengaitkan Islam dalam tema kampanye sebaliknya menjadi pertanyaan, sebagai ormas berciri Islam sudah merupakan sikap Islamikah cara penggembosan yang dilakukan NU terhadap PPP di kampanye lalu. Sebagai Muslim awam dan buta politik, kami bersikap tak memihak siapa pun. Namun, kami melihat aksi penggembosan NU itu hanya tindakan kekanak-kanakan, dan emosional. Aksi penggembosan merusakkan citra NU. Sebab, orang luar akan berpikir bahwa itu merupakan cerminan sikap para cendekiawan dan para kiai NU, yang masih sangat hubuddunya (cinta dunia) dengan cara sangat sentimentil, penuh dendam, dan emosional, yang notabene sangat dilarang agama, karena akan menebarkan dosa. Selain itu, dengan ditolaknya politisi NU untuk dititipkan pada kedua OPP lainnya (Golkar dan PDI) lelas merupakan kerugian besar bagi NU. Sebab, tak tersalurnya aspirasi politik umat NU secara langsung di DPR akibat ulah segelintir pimpinan NU yang emosional. Lalu, mau ke mana NU akan menyalurkan naluri berpolitiknuya, yang sudah sekian puluh tahun memang ada itu ? Acara gembos-gembosan membawa pecahnya umat Islam pada umumnya, para pengikut NU khususnya. Sebab, para pengurus NU sendiri ada yang setuju (K.H. Abdurrahman Wahid) dan yang tak setuju (K.H. Syansuri Badawy). Dan, karena sifatnya emosional, perpecahan itu merusakkan hablumminannas antara umat Islam di NU, NU dan PPP, dan jangan lupa, ini dosa, Iho, Pak Kiai. Apalagi kalau sudah saling mencaci di muka umum, misalnya dengan istilah yang aneh-aneh seperti "telur busuk". Karena para kiai, yang menjadi panutan, cakar-cakaran, umatnya tentu lebih hebat lagi. Kami hanya dapat berdoa, semoga mereka tak terpengaruh. Sebab, kalau sampai menjadi fanatik sebagai pengikut para kiai, tak mustahil perpecahan itu akan merasuk ke kantung-kantung Muslim di unit terkecil yakni rumah tangga. Naudzubillah. Ini dosa, jelas. Akhirnya, kami hanya bisa berdoa semoga Allah membukakan pintu hati para saudara kami di NU, agar menyadari bahwa tindakan penggembosan itu lebih banyak mendatangkan mudharat ketimbang manfaatnya. Amin. M. NUSRIDJAJA N.H. Jalan Kelapa Cangkir Barat I FI-2 Nomor 15, Kelapa Cading Permai Jakarta 14240
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini