Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Rio Christiawan
Dosen Hukum Universitas Prasetiya Mulya
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Mahkamah Agung kembali menjadi sorotan selepas pensiunnya Hakim Agung Artidjo Alkostar. Pasalnya, sepeninggal Artidjo, kini MA menjadi surga bagi para koruptor untuk mengajukan peninjauan kembali (PK). Fakta bahwa semua pengajuan PK kasus korupsi setelah Artidjo pensiun selalu mendapat potongan hukuman telah mengembalikan paradigma yang keliru bahwa PK merupakan sarana untuk memperoleh pengurangan hukuman.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Paradigma tersebut sejatinya salah karena sebagaimana diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) bahwa PK adalah upaya hukum luar biasa karena ditemukan bukti baru (novum) yang tidak ada pada saat persidangan, dan bukti baru tersebut diduga dapat mempengaruhi putusan hakim jika diketahui dalam persidangan. Maka seharusnya novum hanya akan berakhir pada dikuatkannya hukuman atau dibatalkannya hukuman atau setidak-tidaknya terjadi perubahan hukuman secara signifikan, baik lebih berat maupun lebih ringan, bergantung pada bobot novum yang diajukan.
Alasan PK yang kedua, apabila putusan MA nyata-nyata memperlihatkan suatu kekhilafan hakim, PK akan menguji secara judex juris (menguji apakah terdapat kekhilafan hakim).
Pengurangan hukuman dalam proses PK harus mengacu pada dua alasan di atas. Artinya, harus ada relasi yang kuat antara jumlah pengurangan hukuman dan novum yang dihadirkan atau kekhilafan hakim pada penerapan hukum pada saat putusan dijatuhkan.
Pengurangan hukuman para koruptor sebagaimana terjadi belakangan ini menunjukkan bahwa pengurangan itu seolah-olah merupakan diskresi (kewenangan mutlak) majelis hakim PK. Hal ini sangat berbahaya dan berpotensi terjadinya praktik koruptif. Robert Klitgard (2000) menjelaskan bahwa praktik koruptif selalu dimulai dari diskresi tanpa akuntabilitas. Dalam hal ini, majelis PK dengan berlindung pada kewenangan yudikatif tidak harus mempertanggungjawabkan pengurangan putusan PK karena Komisi Yudisial hanya dapat mengawasi secara etis, sehingga pada ranah inilah rawan terjadi praktik koruptif.
Praktik janggal pengurangan hukuman melalui upaya hukum luar biasa PK dapat terlihat dari tiadanya korelasi antara pengurangan hukuman dan alasan diajukannya PK. Jika alasan diajukannya PK adalah novum, pilihannya adalah novum tersebut dapat diterima atau ditolak. Bila ditolak, putusan kasasi dikuatkan (hukuman pada PK tidak boleh lebih tinggi dari sebelumnya). Jika novum tersebut diterima, akan ada perubahan status yang signifikan, misalnya dibebaskan atau hukumannya dikurangi secara signifikan.
Demikian juga jika pengurangan hukuman mengacu pada adanya kekhilafan hakim dalam memutus, pengurangan hukuman harus menjelaskan kekeliruan hakim dan pasal yang tepat. Artinya, pengurangan hukuman dengan alasan judex juris lebih terbatas, hanya mendasarkan pada pasal yang dianggap tepat. Jika pengurangan hukuman berdasarkan adanya kekhilafan hakim, artinya belakangan ini putusan hakim tindak pidana korupsi banyak mengandung kesalahan hampir dalam semua perkara.
Mengacu pada tabulasi Indonesia Corruption Watch perihal pengurangan hukuman koruptor setelah Artidjo pensiun dan terjadi pergantian kepala kamar pidana menunjukkan bahwa pengurangan hukuman dalam upaya hukum PK tidak berkorelasi pada novum dan kekhilafan hakim. Hal ini terlihat dari, misalnya, pengurangan hukuman Choel Mallarangeng yang hanya enam bulan atau terpidana lain yang dipotong masa hukumannya dari enam bulan sampai empat tahun. Data ini menunjukkan bahwa pengurangan hukuman tidak berkorelasi dengan alasan PK dalam KUHAP.
Fakta ini semakin menguatkan bahwa pengurangan hukuman pada upaya hukum PK telah melenceng dari KUHAP. Nawawi (1998) menjelaskan, jika vonis dalam PK tidak berkorelasi dengan alasan yang diajukan dalam PK sesuai dengan ketentuan KUHAP, yakni adanya novum dan adanya kekhilafan hakim, putusan PK tersebut bersifat subyektif dan rawan penyimpangan. Sebab, hakim di tingkat PK dapat berlindung di balik kekuasaan yudikatif yang tidak perlu dipertanggungjawabkan kepada pihak lain.
Masyarakat kini memiliki persepsi yang buruk terhadap MA terkait dengan komitmennya dalam pemberantasan korupsi. Selain karena MA memiliki indeks integritas yang tidak baik, persepsi buruk itu dimulai sejak MA mengabulkan uji materiil bahwa bekas koruptor dapat mencalonkan diri dalam pemilihan legislatif. Persepsi buruk tersebut semakin diteguhkan ketika MA kini, melalui putusan PK, kerap kali memotong hukuman koruptor tanpa alasan yang kuat.
Memang setiap hakim memiliki kekuasaan yudisial ketika mengadili suatu perkara. Namun pihak yang berkepentingan, seperti Komisi Yudisial, Komisi Pemberantasan Korupsi, dan MA, dapat melakukan kajian eksaminasi atas putusan PK satu tahun terakhir untuk menguji apakah pengurangan hukuman tersebut telah sesuai dengan ketentuan KUHAP.
MA, KPK, dan Komisi Yudisial harus mencari solusi agar upaya hukum PK tidak dieksploitasi oleh koruptor untuk mendapat pengurangan hukuman dan untuk menjaga agar putusan PK kembali pada esensinya sesuai dengan KUHAP. Hal ini diperlukan agar masyarakat dapat kembali menghormati dan percaya kepada lembaga peradilan.