Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Mari Pangestu
SETELAH kasus Bank Bali dan Texmaco, kembali lagi Bank Indonesia (BI) menjadi pusat perhatian. Minggu lalu, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) mengumumkan sebagian hasil audit terhadap BI yang menunjukkan bahwa sekitar Rp 52 triliun dari bantuan likuiditas Bank Indonesia (BLBI) sejumlah Rp 193,3 triliun (per Mei 1999) diragukan memenuhi kriteria ''emergency", dan menemukan berbagai kelemahan interen manajemen BI.
Berbagai pertanyaan dan perdebatan kemudian timbul mengenai layak-tidaknya BPK mengumumkan hasilnya tanpa memberi kesempatan BI untuk memberikan masukannya, mengenai pengaruh audit terhadap kredibilitas BI, kriteria pengucuran dana likuiditas BLBI kepada bank-bank pada saat krisis, dan apakah gubernur bisa diganti.
Semua pertanyaan-pertanyaan tersebut sah, tapi jangan sampai kita lupa tujuan utama audit BI: yaitu merupakan langkah pertama untuk melacak situasi BI pada saat menjadi independen. Audit dan investigasi seharusnya dijadikan basis untuk perbaikan dan koreksi, supaya BI benar-benar menjadi bank sentral yang independen dan efektif.
Pengalaman negara lain yang mengalami krisis sektor finansial menggarisbawahi betapa koreksi lembaga bank sentral merupakan bagian inti dari proses restrukturisasi sektor finansial karena fungsi pokok bank sentral adalah untuk menjaga kestabilan makro dan menjamin sektor finansial yang sudah direstrukturisasi sehat dan efisien. Kedua hal tersebut merupakan prakondisi pokok untuk pemulihan ekonomi—sehingga pembenahan bank sentral adalah isu prioritas.
Adakah pengalaman negara lain dalam proses membenahi bank sentral? Setelah rezim Marcos di Filipina, IMF mengharuskan audit terhadap bank sentral. Kesimpulan setelah audit adalah bahwa keadaan finansial, sistem, dan personelnya sulit diperbaiki sehingga lebih efektif memulai bank sentral baru.
Sementara itu, di Thailand, suatu investigasi dilakukan oleh komisi independen yang terdiri dari tokoh dan pakar yang memiliki integritas tinggi untuk melacak penyebab dan respons terhadap krisis. Pekerjaan komisi dilengkapi dengan audit dan tindak lanjut yang dilakukan, termasuk melacak kesalahan dua gubernur bank sentral yang terakhir. Setelah terjadi perubahan manajemen dan berbagai langkah perbaikan, barulah mulai dipertimbangkan pembentukan bank sentral yang independen, yakni tugas kestabilan makro dipisah dari pengawasan bank.
Kasus Indonesia memang berbeda karena Undang-Undang Bank Sentral yang independen dikeluarkan sebelum audit dilakukan. Sehingga, audit dan proses investigasi yang sedang dilakukan adalah terhadap manajemen yang berfungsi selama krisis, dan ketika lembaga sudah independen. Dilema dan tantangan utamanya adalah bagaimana mempertahankan fungsi BI yang efektif, dan bahwa BI tetap likuid selama investigasi dilakukan. Sinyal yang penting adalah bahwa BI tetap terus berfungsi dan kredibel selama proses investigasi, dan bahwa pembenahan yang substantif mulai dijalankan.
Menyimak keadaan dan perkembangan saat ini, ada dua langkah pokok yang harus ditempuh. Pertama, dengan rekapitalisasi atau pembayaran klaim BLBI, BI tidak bisa mengalami keadaan ekuitas yang negatif. Seperti yang sudah diisyaratkan oleh IMF, program itu harus bisa dibarengi dengan perbaikan komprehensif terhadap personalia, sistem, dan manajemen interen BI. Seperti bank swasta, yang diharuskan merombak manajemen sebagai syarat rekapitalisasi, begitu pun BI. Hal ini sangat pokok karena dana yang dipakai bersumber dari APBN dan akan menjadi beban rakyat—maka, semua berkepentingan untuk tidak terulang adanya dana mubazir.
Kedua adalah tindak lanjut hasil investigasi dan audit, yang mungkin masih akan makan waktu. Memang, dengan posisi bank sentral yang independen, tidak mudah menggeser gubernur dan manajemen tanpa alasan. Namun, pada saat yang sama, mereka tidak bisa bersembunyi di belakang status independen. Walaupun bank sentral dan manajemennya independen, tetap harus ada pertanggungjawaban. Maka, tindak lanjut konkret demi hasil audit, baik dari segi personalia yang dianggap melakukan kesalahan maupun sistem, terutama kriteria dan implementasi pemberian BLBI, harus ada. Penyakit proses reformasi dan restrukturisasi Indonesia selama ini adalah tidak adanya proses investigasi yang tindak lanjutnya tuntas.
Akhir kata, kalau bank sentral tidak direformasi dan berfungsi secara efektif untuk mengawasi lembaga-lembaga yang sudah ''disehatkan", kita akan memiliki sistem finansial yang pincang. Dan sangat mungkin masalah terulang lagi, dan harus terjadi rekapitalisasi ronde kedua untuk menyelamatkan perbankan. Tentunya, ini harus dihindari karena negara sudah tidak lagi memiliki resources yang memadai.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
Edisi 1 Januari 2001 PODCAST REKOMENDASI TEMPO pendapat editorial cari-angin marginalia bahasa Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Asas jurnalisme kami bukan jurnalisme yang memihak satu golongan. Kami percaya kebajikan, juga ketidakbajikan, tidak menjadi monopoli satu pihak. Kami percaya tugas pers bukan menyebarkan prasangka, justru melenyapkannya, bukan membenihkan kebencian, melainkan mengkomunikasikan saling pengertian. Jurnalisme kami bukan jurnalisme untuk memaki atau mencibirkan bibir, juga tidak dimaksudkan untuk menjilat atau menghamba ~ 6 Maret 1971 Jaringan Media © 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum |