Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sri Mulyani Indrawati
Kepala Lembaga Penyelidikan Ekonomi & Masyarakat dan Sekretaris Dewan Ekonomi Nasional
Menilai kinerja pemerintahan di bidang ekonomi selama seratus hari pertama tentu memiliki risiko ketidakproporsionalan. Hal itu disebabkan karena pemerintah baru diwarisi sedemikian banyak permasalahan ekonomi yang kompleks dan kebanyakan juga bersifat struktural. Dengan demikian, mengharapkan suatu hasil nyata dari suatu kebijakan ekonomi dalam seratus hari memang bisa dipandang menjadi sangat tidak rasional. Misalnya keinginan masyarakat untuk segera melihat penyelesaian masalah perbankan atau utang perusahaan yang rumit, juga menyelesaikan masalah kemiskinan dan pengangguran, belum disebut masalah korupsi dan lain-lain. Meskipun demikian, masih ada aspek yang cukup adil dan relevan untuk dinilai, yaitu pada proses pembuatan kebijakan, termasuk aspek institusional dan arah kebijakan yang dipilih pemerintah. Dengan melihat aspek tersebut tentunya bisa diharapkan tingkat hasil suatu kebijakan yang diharapkan akan dicapai dalam perspektif waktu yang lebih menengah panjang.
Pemerintahan Gus Dur memang sangat tidak beruntung karena dibebani oleh kondisi ekonomi yang porak-poranda, belum termasuk kondisi politik yang masih labil. Kondisi makroekonomi memang sudah mengarah pada stabilisasi yang agak melegakan, yang ditunjukkan oleh inflasi yang sangat rendah, yaitu 2,01 persen untuk tahun 1999 bahkan dibanding dengan ukuran situasi sebelum krisis. Hal ini berhasil menekan suku bunga dan nilai tukar pada tingkat yang relatif stabil dan masuk akal. Pertumbuhan memang masih belum menggembirakan tapi proses kontraksi telah bisa dihentikan sebelum pemerintahan baru terbentuk dengan tercapainya pertumbuhan ekonomi 0,12 persen tahun 1999. Sementara itu, kondisi keseimbangan eksternal relatif aman, yang ditunjukkan oleh surplus transaksi berjalan dan arus modal pemerintah yang terus mencapai surplus secara signifikan. Meskipun demikian, kondisi mikroindustri masih jauh dari pulih, di mana proses restrukturisasi masih sangat lamban dan menghadapi berbagai hambatan tak mudah.
Pertanyaan awal untuk melakukan evaluasi awal kinerja seratus hari dari sisi arah kebijakan adalah apakah visi yang melandasi kebijakan ekonomi pemerintah baru dan bagaimana perbedaannya dengan kebijakan pemerintah sebelumnya. Secara umum disebutkan bahwa pemerintah baru ingin membangun suatu perekonomian yang berlandaskan pada mekanisme pasar (atau mengakui motif mencari keuntungan seperti yang dinyatakan oleh Presiden Gus Dur), dengan menekankan pada kegiatan luas masyarakat (keadilan) dan bukan pada sekelompok pengusaha (konglomerat) dan terus mendorong ekspor. Dari sisi yang lebih operasional ditekankan perlunya memperbaiki aspek pengelolaan (good governance), baik pada institusi publik maupun institusi privat, atau dalam bahasa sederhana keinginan memberantas KKN dan menjalankan supremasi hukum. Aspek normatif ini sulit dinilai perbedaannya karena pemerintah sebelumnya pun juga selalu memiliki tujuan yang bagus yang dituangkan dalam GBHN seperti yang disebutkan di atas.
Arah kebijakan makro yang menjadi yuridikasi pemerintah terwujud dalam bentuk rancangan APBN tahun 2000 yang baru saja diumumkan. Secara umum spirit yang ditunjukkan dalam anggaran 2000 adalah keinginan untuk menjaga momentum pemulihan melalui program stimulasi ekonomi dan memperbaiki kesinambungan anggaran melalui upaya penjadwalan utang luar negeri dan membatasi penambahan utang luar negeri baru, serta menjaga besaran utang dalam negeri. Hal ini akan disertai akomodasi moneter melalui sedikit pelonggaran likuiditas dalam rangka menjaga kebutuhan ekspansi kredit yang diharapkan segera terjadi. Tidak ada yang baru dalam aspek manajemen makro yang dianut oleh pemerintah baru, yaitu ekspansi melalui kebijakan fiskal secara hati-hati disertai akomodasi moneter yang sangat selektif. Kerangka kerja makro ini memang sukar diubah karena secara obyektif kendala makro tidak dapat dimungkiri cukup banyak, seperti jumlah utang pemerintah—baik domestik maupun luar negeri—pelaksanaan kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah, yang menambah dimensi pengeluaran pemerintah, serta jumlah subsidi yang menggelembung. Dalam aspek makro peranan dari lembaga multilateral seperti IMF, Bank Dunia, serta ADB juga cukup besar dan menentukan. Hal ini terlihat pada penentuan target moneter dan defisit APBN yang dipengaruhi oleh komitmen dari lembaga tersebut dalam pengadaan pembiayaannya. Bahkan, untuk hal teknis seperti penentuan kenaikan gaji dan penurunan subsidi, peranan mereka sangat terlihat. Untuk menjaga kondisi eksternal juga diarahkan pada kebijakan menjaga pertumbuhan ekspor dan pemulihan arus masuk modal luar negeri terutama dari swasta.
Pada aspek restrukturisasi lebih terlihat nyata kinerja pemerintah yang dapat dinilai. Gebrakan pertama pemerintah baru sesuai dengan permintaan IMF adalah membuka kasus bank Bali yang berasal dari hasil audit lengkap PricewaterhouseCoopers. Gebrakan transparansi menjadi ciri yang ingin ditunjukkan pemerintah baru untuk membedakan secara nyata dari cara pemerintah lama. Hal ini dilakukan dengan pengumuman kondisi utang-utang obligor kakap yang ada di bawah BPPN setiap minggu. Gerakan ini memang sangat mengesankan, yang menumbuhkan harapan pada masyarakat bahwa ada determinasi dan kesungguhan yang nyata dari pemerintah untuk memperbaiki pelaksanaan program restrukturisasi perbankan dan utang korporasi, baik dari sisi metode penyelesaian maupun kecepatan penyelesaian. Ini pun juga ditunjukkan dengan penggantian kepala BPPN yang disebutkan karena alasan kelambanan meskipun dengan proses dan kriteria yang sangat kontroversial dan menimbulkan pertanyaan serius mengenai konsistensi pemerintah dalam komitmennya tentang independensi BPPN.
Gebrakan mencengangkan dalam membuka kasus penyelewengan ekonomi ternyata tidak selalu mudah untuk segera diikuti oleh tindakan hukum dalam penyelesaiannya. Kasus yang sangat mencolok terjadi pada pembukaan kasus Texmaco oleh Menteri Negara BUMN yang ternyata diikuti oleh perselisihan langkah lanjutan dari Menteri Keuangan yang menghendaki dilakukan pengalihan utang menjadi ekuitas dengan tetap di bawah Bank BNI, dan keinginan Menteri BUMN yang menginginkan pengalihan kasus ke BPPN. Sampai hari ini kasus yang telah terbuka tersebut belum menghasilkan tindakan hukum yang meyakinkan yang menyebabkan munculnya skeptisisme masyarakat, meskipun Menko Ekuin secara terbuka dan keras menyatakan di depan wartawan bahwa aspek kriminal kasus Texmaco sungguh sangat nyata. Kasus penundaan rekapitalisasi Bank Bali, juga rencana pergantian direksi Bank BNI dan rekapitalisasi bank pemerintah lain seperti BRI, juga masih menggantung dan tampak belum terjadi kesepakatan. Hal ini yang menyebabkan Lawrence Summers, Menteri Keuangan Amerika, dalam kunjungan ke Indonesia menyatakan bahwa pemerintah jangan hanya gagah dan keras dalam pernyataan, tapi juga harus tegas dan konsisten (berwibawa) dalam tindakan nyata.
Secara umum tampaknya ada persoalan yang tidak mudah dalam hal kerja sama di antara anggota kabinet secara mulus dan tepat waktu. Hal ini dengan mudah dapat dicarikan penjelasannya dari perbedaan afiliasi partai politik anggota kabinet. Belum lama berselang persaingan sangat runcing terjadi di antara partai politik dalam perebutan kursi elite politik negeri ini, baik ketua MPR, DPR, presiden maupun wakil presiden, melalui arena sidang umum MPR. Tiba-tiba menteri-menteri yang merupakan elite partai bersaing tersebut harus bekerja sama dalam sebuah kabinet, terutama pada pelaksanaan program ekonomi yang saling terkait.
Evaluasi kinerja kabinet Gus Dur dalam bidang ekonomi dengan demikian tidak terlepas dari kenyataan politik di atas. Hasil yang muncul adalah kesepakatan kabinet pada tingkatan penentuan tujuan normatif tampaknya mudah dicapai. Namun, pada tataran teknis operasional muncul kesulitan yang belum teratasi dan bahkan cenderung mengganggu. Kesulitan ini jelas bukan disebabkan bahwa para menteri adalah "orang-orang" baru yang tidak punya pengalaman memerintah. Tidak adanya suasana aman dan jaminan jabatan yang pasti menjadikan sikap menteri kurang berani mengambil risiko dan tanggung jawab dalam pembuatan keputusan serta langkah-langkah yang diperlukan untuk mencapai hasil yang nyata. Akibat sangat serius lainnya dari komposisi kabinet politik yang warna-warni adalah lemahnya koordinasi dan adanya kecurigaan di antara anggota kabinet terhadap ada atau tidaknya agenda tersembunyi dari tiap menteri. Kasus perubahan peraturan pemerintah yang terjadi dalam kurun lima hari, "perebutan" Direktorat Jenderal Perkebunan antara dua depertemen, dan rumor tentang perebutan kursi tertinggi di beberapa BUMN yang basah juga menyulut spekulasi tersebut. Lemahnya kerja sama anggota kabinet ini menyebabkan peranan Presiden menjadi menonjol dan terkesan sangat dominan. Hal ini menghasilkan kecenderungan yang mengkhawatirkan, yaitu terhambatnya keinginan untuk membangun institusi dan sistem kredibel dan kuat yang tidak didominasi selera pribadi. Juga menempatkan Presiden dalam posisi rawan terhadap kemungkinan kesalahan keputusan dan inkonsistensi akibat tidak adanya sistem pelapisan yang memadai dalam proses perolehan dan pengecekan informasi serta analisis sistem yang komprehensif.
Secara umum dapat disimpulkan bahwa dalam kerangka makro kabinet Gus Dur tetap mampu konsisten dengan arah pengelolaan yang hati-hati dan konservatif, meskipun dorongan populis akan terus muncul dan cukup keras diperdengarkan. Dari kebijakan struktural masih terjadi kesenjangan serius antara komitmen tentang apa yang ingin dicapai serta dilakukan dan kenyataan yang terjadi. Bahkan ada beberapa tanda kemunduran seperti munculnya kebijakan tarif beras dan gula, menurunnya target penerimaan privatisasi dan penjualan aset BPPN di APBN, yang menyiratkan masih belum pastinya program restrukturisasi BUMN dan pengelolaan aset BPPN, intervensi langsung pemerintah pada Bank Indonesia, baik dalam bentuk keinginan mengganti pimpinan bank sentral yang dipicu oleh hasil audit BI maupun dalam penentuan status Bank Putera, juga tertundanya rekapitalisasi bank BUMN.
Tantangan kabinet kali ini tidak sama dengan pemerintah sebelumnya, yang setiap hari harus berjuang untuk mendapat restu legitimasi dan kepercayaan publik. Pemerintah kali ini punya modal awal legitimasi dan kepercayaan publik. Yang diuji kali ini adalah bagaimana mengelola dan menggunakan kepercayaan publik untuk membuat pilihan-pilihan kebijakan dan menjalankannya secara penuh dan konsisten. Untuk itu, aspek kepemimpinan, kelengkapan, dan keterampilan organisasi dan teknis menjadi sangat penting. Meskipun contoh yang hadir dalam seratus hari pertama masih jauh dari memuaskan, semoga ini lebih disebabkan karena masih terlalu singkatnya periode evaluasi. Namun, tindakan perbaikan harus dilakukan secara mendesak, sebelum masa bulan madu berakhir.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
Edisi 1 Januari 2001 PODCAST REKOMENDASI TEMPO pendapat editorial cari-angin marginalia bahasa Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Asas jurnalisme kami bukan jurnalisme yang memihak satu golongan. Kami percaya kebajikan, juga ketidakbajikan, tidak menjadi monopoli satu pihak. Kami percaya tugas pers bukan menyebarkan prasangka, justru melenyapkannya, bukan membenihkan kebencian, melainkan mengkomunikasikan saling pengertian. Jurnalisme kami bukan jurnalisme untuk memaki atau mencibirkan bibir, juga tidak dimaksudkan untuk menjilat atau menghamba ~ 6 Maret 1971 Jaringan Media © 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum |