SAYA baru tahu, nasionalisme pun bisa bergelombang. Ada nasionalisme gelombang satu. Ada nasionalisme gelombang dua. Bahkan saya renungkan, mungkin ada juga nasionalisme gelombang tiga. Kenapa tidak? Radio saja bisa banyak gelombang, ada yang pendek, ada yang panjang. Kata S. Rajaratman dia itu politikus kawakan Singapura, nasionalisme gelombang pertama ialah nasionalisme kuno. Banyak cingcong, banyak omong. Maunya merdeka, waktunya seketika. Musuhnya jelas, kasatmata. Mereka itu ialah nekolim, neokolonialisme, kolonialisme, dan imperialisme. Pemerintah nasional mesti ditumbangkan. Pemerintah kolonial mesti ditumbangkan. Slogannya ~~sederhana. Sekali merdeka tetap merdeka. Hidup pun penuh pengorbanan sukarela. Makan singkong atau ketela tidak jadi apa, ~asal pemerintahan diabdikan bagi tegaknya harga diri bangsa. Lalu ada nasionalisme gelombang kedua. Saya dengar dari ~Mensesneg Moerdiono. Inilah nasionalisme baru. Nasionalisme ~~pembangunan. Pembangunan ekonomi, pembangunan sosial, dan ~~pembangunan politik Nasionalisme kerja keras, berkorban, dan mementingkan diri sendiri. Nasionalisme yang tidak anti-ini,~ tidak anti itu Nasionalisme yang pro-kerja sama internasional, pembangunan dunia atas dasar perdamaian dan kemerdekaan. Enak didengar Nyaman diungkapkan. Mungkin lebih kompleks ~bila dilihat dimensi pelaksanaannya. Buktinya, konsensus mengenai nasional ini masih perlu terus dicari Mensesneg masih perlu mengulas dan menggarisbawahi Saya tahu beliau lebih memilih ~pakatan yang dicapai lewat demokrasi. Karena itu, saya pun ~dengan senang hati ingin turut berpartisipasi. Ada nasionalisme gelombang ketiga, kata saya. Yaitu nasionalisme nasional. Belum umum, tetapi tidak ada salahnya mulai ikutt. Belum dibicarakan terbuka. Tetapi sering diisyaratkan tanpa retorika. Ada logikanya. Tidak kurang tajam latar belakang ~telaahnya. Kecenderungan dan perkembangan komunikasi dan keterbukaan adalah realita. Lucu kalau orang masih ingin membantah. Ganjil kalau orang masih bicara upaya mempertahankan kemurnian budaya. Di Uni Soviet pun ada glasnost dan perestroika. Karena keterbukaan itu, lambat atau cepat akan mengasimilasikan nilai-nilai. Nilai-nilai universal seperti kemanusiaan, keadilan, dan perdamaian tak pelak akan memasyarakat. Nilai-nilai totaliterisme, militerisme, noriterisme akan ditolak. Juga, arus bisnis dan usaha global makin dibebaskan dari hambatan. Deregulasi dan debirokratisasi dicanangkan. Lalu dibutuhkan norma-norma pergaulan yang padu, agar deregulasi itu bisa ~jalan lewat pintu terbuka. Modal dan keahlian kita undang. Mereka membawa manfaat ekonomi. Tetapi juga membawa imperatif nilai-nilai. Agar pemanfaatannya saling menguntungkan, sama-sama disepakati, kita berinteraksi dengan kelugasan, kecerdasan, tetapi ju~ga ketangguhan. Ini semua nilai baru. Karena perkembangan itu, maka tak terelakkan Indonesia makin menjadi anggota masyarakat dunia. Indonesia menjadi bagian dari sistem ekonomi dan bisnis global. Indonesia akan berinteraksi m~akin pekat dengan nilai budaya universal. Beberapa di antaranya sudah ~sesuai dengan nilai budaya yang berlaku di Indonesia. Lainnya akan dengan cepat saling mempengaruhi perkembangan norma yang dianut ~oleh bangsa kita. Kontak fisik, budaya, dan bisnis makin mudah dilakukan, dan makin pekat intensitasnya. Anak-anak muda dan kader pemimpin belajar hampir ke mana saja mereka mau. Karena ongkos makin terjangkau. Bepergian dan bergaul dengan dunia luar menjadi gampang, hampir tanpa hambatan. TV, radio, media massa, video, menembus seluruh penjuru tanah air. Bahkan dengan hasil-hasil pembangunan, semua itu akan makin dimudahkan, dicepatkan, dan dimurahkan. Kalau demikian, bagaimana dengan nasib nasionalisme kita? Itulah babak baru nasionalisme Indonesia, yang saya sebut nasionalisme gelombang ketiga. Nasionalisme pasca-nasional Nasionalisme yang dibangun atas kebanggaan bisa menegakkan nilai-nilai luhur universal Maka dari itu, dalam nasionalisme tahap ini, kita tidak lagi bisa bersembunyi di balik kepribadian nasional. Kesadaran nasional kita pedih kalau sampai gagal menegakkan norma dan nilai univcrsal, scperti kemanusiaan, keadilan, demokrasi, dan persamaan (equality). Ketika kita sampai pada kesadaran nasionalisme gelombang ketiga itu, kita tak pantas lagi menuntut untuk dinilai hanya atas dasar norma-norma yang berlaku di Indonesia, berkedok "kepribadian bangsa". Kita sudah akan cukup dewasa untuk tidak serta-merta menolak segala penggunaan tolok ukur nilai kemanusiaan dan keadilan yang dicap "Barat" atau bertentangan dengan kepribadian Indonesia. Karena kalau demikian, kesadaran nasionalisme baru kita akan tergores, pedih dan nelangsa. Itulah nasionalisme pasca-nasional yang pasti akan tiba. Tiada kekuatan apa pun yang bisa membendung. Tiada dalih apa pun yang sah menafikan kecenderungan universal yang tak terelakkan. Itulah kehendak zaman. Kesadaran nasionalisme gelombang kedua dengan segala upaya pembangunan bangsa, di bidang ekonomi, politik, dan sosial, justru akan mempercepat tercapainya kesadaran nasionalisme gelombang ketiga ini. Itu berarti kita lantas bisa berbangga, nasionalisme Indonesia ialah tahap nasionalisme yang sanggup menegakkan nilai-nilai mulia, diukur dan sudut pandang mana sa~ja, seperti kemanusiaan, keadilan, cintah kasih, ~perdamaian, persamaan, rule of law, dan demokrasi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini