Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Petrus Richard Sianturi
Kandidat Magister Ilmu Hukum FH UGM
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sudah menjadi konsekuensi logis bahwa perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi tidak hanya mempermudah kehidupan manusia, tapi juga menciptakan berbagai tantangan. Perkembangan teknologi digital, misalnya, membuat manusia dengan mudah, efektif, dan efisien memperoleh informasi sekaligus membuat dan menyebarkan informasi. Namun, dalam waktu bersamaan, teknologi ini juga membuat penyebaran informasi ternodai dengan hilangnya esensi informasi yang seharusnya dapat diverifikasi kebenarannya. Era ini disebut Lee McIntyre (2018) sebagai era pasca-kebenaran (post-truth era), ketika orang acuh tak acuh pada data atau fakta, termasuk menolak untuk berpikir menggunakan rasio, ditambah kebiasaan dan kebohongan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ancaman era pasca-kebenaran itu juga menyerang konsepsi negara hukum. Saat terduga penyuap anggota komisioner Komisi Pemilihan Umum akan ditangkap, dengan yakin dan percaya diri Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia menyebutkan bahwa Harun Masiku sudah keluar dari Indonesia. Tidak lama kemudian, atas investigasi Tempo, Harun dipastikan masih ada di Indonesia. Sebagai pertanggungjawaban, Menteri mencopot pejabat terkait.
Kita juga mengetahui berita saat Veronica Koman mengeluarkan semacam dokumen berisi data tentang korban kekerasan di Papua. Segera keluar pernyataan dari Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan bahwa berita itu adalah sampah. Kemudian, Menteri menyampaikan klarifikasi bahwa yang dimaksudkan "hanya sampah" adalah berita tentang adanya pertemuan dengan Presiden Jokowi.
Baru-baru ini, pada masa pembahasan rancangan Undang-Undang Cipta Kerja, terdapat pasal pada omnibus law itu yang mengatur bahwa peraturan pemerintah dapat membatalkan undang-undang. Pemerintah cepat-cepat memberikan pernyataan bahwa ada "salah ketik" dalam pasal itu dan akan segera diperbaiki.
Pertanyaannya, apakah tiga contoh polemik tidak perlu tersebut merupakan contoh konkret ancaman era pasca-kebenaran dalam konteks implementasi nilai-nilai hukum? Jawabannya adalah "ya".
Era pasca-kebenaran memiliki banyak bentuk untuk membuat kebenaran yang sesungguhnya seolah-olah menjadi tidak lebih relevan daripada keyakinan diri seseorang. Haryatmoko (2019) mencatat 12 bentuk dan saya mengambil dua yang relevan untuk pembahasan ini.
Pertama, era pasca-kebenaran mengenal bentuk argumen ekstrapolasi ketika pengambilan kesimpulan dilakukan meski hanya berdasarkan pada data yang minim. Menteri Hukum, misalnya, mengambil kesimpulan terlalu cepat saat menyatakan Harun tidak berada di Indonesia. Menyatakan "hanya sampah" untuk sebuah dokumen yang masih harus diverifikasi juga bisa dikelompokkan dalam bentuk ini.
Kedua, terkait dengan poin pertama, bentuk phatique untuk menarik perhatian pendengar dengan segala cara. Haryatmoko mengatakan, "Oleh politikus teknik ini disalahgunakan untuk membuat pernyataan yang menghebohkan, namun ternyata data tidak akurat atau ngawur." Pernyataan kepada publik oleh orang sekelas menteri, bahwa terduga penyuap tidak berada di Indonesia padahal tanpa dasar yang kuat, adalah contohnya.
Lalu bagaimana menjelaskan bahwa "salah ketik" dalam rancangan omnibus law juga termasuk ekses negatif dari era pasca-kebenaran? Pada era pasca-kebenaran pada intinya orang ingin menutup-nutupi kebenaran yang sesungguhnya. Cara apa pun untuk sampai pada tujuan itu dapat menjadi bentuk bekerjanya era pasca-kebenaran. Mungkin saja jika kontrol masyarakat tidak kuat, pasal itu dapat lolos. Lolosnya pasal absurd itu bukan karena tidak ditolak, tapi karena sengaja didiamkan, baik oleh mereka yang membuatnya maupun yang memiliki kepentingan tertentu.
Jadi, bentuk ketiga adalah pendiaman dengan sengaja terhadap kesalahan yang juga dibuat dengan sengaja. Bentuk ini sering terjadi, apalagi dalam banyak upaya pembuatan regulasi, baik di Dewan Perwakilan Rakyat maupun pemerintah. Jalan utama untuk menghalaunya adalah masyarakat benar-benar terlibat dalam proses penyusunannya. Pembahasan rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, macam-macam omnibus law, dan rancangan undang-undang lainnya yang kontroversial harus mulai kita perhatikan bersama-sama dengan lebih serius.
Dalam konteks negara hukum, bentuk-bentuk pengabaian kebenaran, sebagaimana dilakukan pada era pasca-kebenaran, adalah ancaman besar. Penegakan hukum bisa bersandar pada keyakinan diri dengan mengabaikan fakta dan data terkait. Proses legislasi akan selalu disusupi kepentingan jahat yang jelas mengabaikan pelibatan masyarakat. Pejabat, terutama sebagai regulator dan pelaksana undang-undang, akan selalu tergoda untuk menjalankan kewajiban jabatan mereka semata karena kepentingan dan keyakinan politik sektarian mereka.
Era pasca-benaran tidak dapat dihindarkan selain melalui kebiasaan memverifikasi fakta dan data dengan konsisten tanpa diganggu keyakinan subyektif yang berlebihan. Media massa, terutama media arus utama, tetap harus menempatkan dirinya sebagai sarana menilai kebenaran sebagaimana adanya. Dalam negara hukum pada era pasca-kebenaran, dua hal ini mau tidak mau harus terus diperjuangkan untuk menangkal degradasi nilai di masyarakat akibat hancurnya kredibilitas nilai-nilai hukum.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo