GERIMIS mempercepat kelam -- juga di ujung boulevard itu.
Mobil-mobil menderu. Jalanan tambah licin. Cahaya lampu
merah-hijau sibuk. Dan di bawah atap gardu, berteduh, seorang
polisi lalu-lintas bermantel putih bertugas sebuah tanda
kesetiaan di bawah tulisan yang terasa tolol.
DISIPLIN LALULINTAS MENUNJUKKAN DISIPLIN BANGSA
Aneh siapa yang peduli akan bangsa? Boulevard itu tak pernah
idur. Lampu hotel di sebelah barat mulai berkelap dari
jendela-jendela tinggi. Pijar papan reklame warna-warni bagaikan
wanita-wanita bergincu yang memasang daya pikat di sudut jalan.
Tapi keramaian itu seperti diam.
Siapa yang kepingin menunjukkan disiplin bangsa, di tempat itu,
di saat itu? Daniel Bell mengeluhkan hilangnya civitas di
masyarakat Barat. Kita di sini tak tahu adakah kita pernah
empunya "kemauan spontan untuk menaati hukum" itu, untuk
"menghormati hak orang lain" dan merunduk kepada 'negeri' tempat
kita menautkan diri sebagai anggota itu.
Civitas. Kata itu sediri asing. Lebih asing dari pelbagai kata
dalam lampulampu iklan di puncak hotel itu. Barangkali juga sama
tololnya dengan kalimat yang meminta orang ramal di mobll-mobil
itu bersikap sebagai warga baik dari suatu kerukunan, suatu.
paguyuban.
Tidak semua kalimat di jalanan itu tolol memang. Seperti di
mana-mana, di jalanan Jakarta juga ada kalimat tolol dan ada
kalimat cerdik. Yang pertama berbunyi, misalnya, IKUT KB
BERARTI MENSUKSESKAN REPELITA. Yang kedua, HILANGKAN
WASIR ANDA DENGAN . . .
Kalimat-kalimat cerdik menghimbau kita sebagai orang seorang,
individu yang pertama-tama memikirkan dirinya sendiri. Kalimat
yang kurang cerdik ditulis dengan anggapan, bahwa soal "disiplin
bangsa" atau "Repelita" sudah jadi bagian dari batin
masing-masing orang, sementara kita ragu benarkah proses
internalisasi telah terjadi dengan makna kata-kata itu.
Gerimis mempercepat kelam, juga mempercepat gerak gegas
orang-orang. Senja berarti bebas tugas bagi banyak oknum saat
bagi diri sendiri dan keluarga sendiri dan kenikmatan sendiri.
Di waktu senja, tak ada polis yang dimaksudkan Aristoteles,
"kota" yang merupakan satuan sosial yang merangkum dan
menyatukan tiap pribadi.
Dan tak ada juga jawab yang pasti adakah kewajiban-kewajiban
sosial dengan diam-diam dipenuhi -- juga oleh seorang polisi
bermantel putih di bawah gardu.
Sebab siapa tahu, mungkin tak ada "negara". Kantor-kantor
departemen telah tutup. Kendaraan dinas berputar-putar ke pantai
dan bioskop. Mungkin di senja seperti ini yang terjadi bukan
cuma kemalasan dan korupsi, tapi manifestasi lebih lanjut, sejak
pagi tadi, dari sejenis civic privatism. Negara memang telah
tumbuh menggelembung dengan fungsi-fungsi baru. Ia menembus
wilayah baru kehidupan orang-orang. Tapi, seperti kata seorang
ahli ilmu politik, negara itu telah jadi kurang berupa negara.
Ia kurang berada di fokus pengabdian dan kesetiaan kita.
Apakah sebenarnya yang terjadi? Karena suatu dinamika
pertumbuhan masyarakat yang intinya adalah kesejahteraan ekonomi
individu, kepentingan diri? Atau karena para warga itu,
berhubung satu dan lain hal, jadi jauh dari kehendak bersama
dengan satu fokus bersama pula?
Jawaban atas pertanyaan ini, seperti lampu merah-hijau itu,
tampil berganti-ganti menghadang kita. Kadang orang berhenti dan
melihat tidakkah teramat berbahaya untuk terus. Kadang kita
seperti didorong untuk melangkah laju.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini