GORA tak tahu bahwa dia seorang asing. Dalam kisah yang ditulis
Rabindranath Tagore ini ia seorang bayi yang dipungut seorang
wanita Brahmin, dan tumbuh jadi seorang yang terlalu yakin.
Berapi-api, Gora hanya kenal satu kebenaran: kebenaran
Hinduisme.
Di India yang sedih, di India yang penuh pertikaian umat
beragama, Gora mendapatkan tempatnya. Ia adalah contoh seorang
yang mengira, bahwa India sama dan sebangun dengan Hinduisme.
Bahwa kebudayaan India tak pernah tumbuh dalam kebhinekaan.
Bahwa Islam dan Kristen di negeri itu tak bisa diperlakukan sama
dengan Hinduisme.
Tapi Gora cuma tokoh novel, dan seperti banyak tokoh novel, ia
kemudian menyadari kesalahannya. Tagore membuatnya tiba-tiba
tahu: Gora, anak Brahmin yang tampan itu, sesungguhnya dulu
seorang bayi berdarah Irlandia. Ia tak murni Hindu, bahkan lebih
celaka dari seorang Sudra.
Akhir kisah ini merupakan pesan penting bagi India. Sebab kata
Gora, "Hari ini aku benar-benar seorang India. Dalam diriku tak
ada lagi pertentangan antara Hindu, Muslim dan Nasrani. Hari ini
tiap kasta di India adalah kastaku makanannya adalah makananku."
Tagore, tentu saja, bukan cuma hendak mengumandangkan kesatuan
India. Ia juga hendak berbicara tentang kesatuan manusia. Tak
ada tempat lain yang lebih cocok barangkali selain India untuk
ujian mengenai kesatuan itu -- suatu kesatuan yang begitu
penting, tapi begitu rapuh. Mungkin karena itulah India, yang
akhirnya harus mengalami banyak bentrokan dan perpecahan karena
agama, tak cuma melahirkan Tagore, Dari debunya yang letih dan
tua bangkit Gandhi. Juga Radhakrishnan.
Yang pertama berkata dengan tulus, dan mengiris: "Rasa hormatku
kepada keyakinan yang lain, sama besar seperti kepada
keyakinanku sendiri." Yang kedua, ahli filsafat Hindu yang
masyhur, yang jadi presiden India, menyebut dengan khidmat:
"Negara kita tak menyamakan dirinya dengan suatu agama
tertentu."
Apakah jadinya seandainya India tak dipimpin oleh orang seperti
Gandhi dan Radhakrishnan? Apakah jadinya jika di India tak ada
suara Tagore?
Kita tak tahu. Mungkin sekali India memang tak punya banyak
pilihan selain melahirkan tokoh-tokoh besar itu: mereka yang
tergetar lebih oleh penderitaan manusia ketimbang kepentingan
kaumnya sendiri -- mereka yang mengetuk tiap pintu tertutup agar
terbuka.
Sebab alternatifnya adalah kehancuran. Kerusuhan yang terjadi
sekitar berpisahnya Pakistan dari India -- untuk jadi negara
tersendiri, berdasarkan satu agama, yakni Islam -- adalah
contohnya. Ratusan ribu orang jadi korban. Pengungsian.
Kekerasan. Tentu saja api dan darah. Semuanya bukti bahwa ada
sesuatu yang tersembunyi di celah-celah orang-orang yang datang
mempersembahkan diri dalam iman yang berbeda itu. Kadang sumber
tenaga yang menakjubkan. Kadang, lebih sering, guncangan yang
destruktif.
Bahkan seorang Gandhi pun bisa nyaris putus asa karena itu. "Di
sekitarku gelap pekat," demikian tulisnya dalam buku hariannya
di bulan Januari 1947. "Kapankah Tuhan akan mengambilku dari
kelam ini, ke dalam cahaya-Nya?"
Putus asa semacam itu dapat menyebabkan bukan saja berhentinya
ikhtiar buat memperbaiki hubungan-hubungan yang putus. Tapi,
lebih buruk lagi, menyebabkan orang bertanya-tanya dan ragu akan
makna agama. Bukan kebetulan bila di India banyak cendekiawan,
termasuk Jawaharlal Nehru, yang agak mengogahi iman apa pun.
Bahkan M.N. Roy memusuhi "tirani semua religi".
Beruntunglah memang bila seorang pemuda, setelah terguncang oleh
konflik di dalam hati dan di sekitar, dapat bersikap seperti
tokoh utama novel Gora: mengatasi fanatismenya sendiri yang
keras. Lebih beruntung lagi bila ia bisa melahirkan puisi
seperti yang ditulis Tagore, Gitanjali -- yang tahu Tuhan begitu
besar hingga tak bisa dijelang dengan sikap paling berhak
memiliki.
Dengan ujung terentang sayap nyanyiku, kusentuh tapak kakiMu,
yang tak pernah kuharap terjangkau oleh tanganku.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini