Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Marginalia

Negeri yang penuh pertikaian

Orang india terdiri dari berbagai pemeluk agama. keyakinan agama telah mengundang pertikaian. dalam keadaan yang sulit ini, untuk lahir pemikir besar negeri ini seperti gandhi, nehru dan tagore.

11 September 1982 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

GORA tak tahu bahwa dia seorang asing. Dalam kisah yang ditulis Rabindranath Tagore ini ia seorang bayi yang dipungut seorang wanita Brahmin, dan tumbuh jadi seorang yang terlalu yakin. Berapi-api, Gora hanya kenal satu kebenaran: kebenaran Hinduisme. Di India yang sedih, di India yang penuh pertikaian umat beragama, Gora mendapatkan tempatnya. Ia adalah contoh seorang yang mengira, bahwa India sama dan sebangun dengan Hinduisme. Bahwa kebudayaan India tak pernah tumbuh dalam kebhinekaan. Bahwa Islam dan Kristen di negeri itu tak bisa diperlakukan sama dengan Hinduisme. Tapi Gora cuma tokoh novel, dan seperti banyak tokoh novel, ia kemudian menyadari kesalahannya. Tagore membuatnya tiba-tiba tahu: Gora, anak Brahmin yang tampan itu, sesungguhnya dulu seorang bayi berdarah Irlandia. Ia tak murni Hindu, bahkan lebih celaka dari seorang Sudra. Akhir kisah ini merupakan pesan penting bagi India. Sebab kata Gora, "Hari ini aku benar-benar seorang India. Dalam diriku tak ada lagi pertentangan antara Hindu, Muslim dan Nasrani. Hari ini tiap kasta di India adalah kastaku makanannya adalah makananku." Tagore, tentu saja, bukan cuma hendak mengumandangkan kesatuan India. Ia juga hendak berbicara tentang kesatuan manusia. Tak ada tempat lain yang lebih cocok barangkali selain India untuk ujian mengenai kesatuan itu -- suatu kesatuan yang begitu penting, tapi begitu rapuh. Mungkin karena itulah India, yang akhirnya harus mengalami banyak bentrokan dan perpecahan karena agama, tak cuma melahirkan Tagore, Dari debunya yang letih dan tua bangkit Gandhi. Juga Radhakrishnan. Yang pertama berkata dengan tulus, dan mengiris: "Rasa hormatku kepada keyakinan yang lain, sama besar seperti kepada keyakinanku sendiri." Yang kedua, ahli filsafat Hindu yang masyhur, yang jadi presiden India, menyebut dengan khidmat: "Negara kita tak menyamakan dirinya dengan suatu agama tertentu." Apakah jadinya seandainya India tak dipimpin oleh orang seperti Gandhi dan Radhakrishnan? Apakah jadinya jika di India tak ada suara Tagore? Kita tak tahu. Mungkin sekali India memang tak punya banyak pilihan selain melahirkan tokoh-tokoh besar itu: mereka yang tergetar lebih oleh penderitaan manusia ketimbang kepentingan kaumnya sendiri -- mereka yang mengetuk tiap pintu tertutup agar terbuka. Sebab alternatifnya adalah kehancuran. Kerusuhan yang terjadi sekitar berpisahnya Pakistan dari India -- untuk jadi negara tersendiri, berdasarkan satu agama, yakni Islam -- adalah contohnya. Ratusan ribu orang jadi korban. Pengungsian. Kekerasan. Tentu saja api dan darah. Semuanya bukti bahwa ada sesuatu yang tersembunyi di celah-celah orang-orang yang datang mempersembahkan diri dalam iman yang berbeda itu. Kadang sumber tenaga yang menakjubkan. Kadang, lebih sering, guncangan yang destruktif. Bahkan seorang Gandhi pun bisa nyaris putus asa karena itu. "Di sekitarku gelap pekat," demikian tulisnya dalam buku hariannya di bulan Januari 1947. "Kapankah Tuhan akan mengambilku dari kelam ini, ke dalam cahaya-Nya?" Putus asa semacam itu dapat menyebabkan bukan saja berhentinya ikhtiar buat memperbaiki hubungan-hubungan yang putus. Tapi, lebih buruk lagi, menyebabkan orang bertanya-tanya dan ragu akan makna agama. Bukan kebetulan bila di India banyak cendekiawan, termasuk Jawaharlal Nehru, yang agak mengogahi iman apa pun. Bahkan M.N. Roy memusuhi "tirani semua religi". Beruntunglah memang bila seorang pemuda, setelah terguncang oleh konflik di dalam hati dan di sekitar, dapat bersikap seperti tokoh utama novel Gora: mengatasi fanatismenya sendiri yang keras. Lebih beruntung lagi bila ia bisa melahirkan puisi seperti yang ditulis Tagore, Gitanjali -- yang tahu Tuhan begitu besar hingga tak bisa dijelang dengan sikap paling berhak memiliki. Dengan ujung terentang sayap nyanyiku, kusentuh tapak kakiMu, yang tak pernah kuharap terjangkau oleh tanganku.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus