Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Penggantian Panglima Tentara Nasional Indonesia mesti menjadi momentum untuk menegaskan ulang bagaimana seharusnya peran TNI. Sebagai alat negara yang tugas utamanya menjaga keamanan dan kedaulatan negara, TNI tidak boleh terlibat politik praktis, termasuk mendukung presiden yang memilih panglimanya. Panglima baru harus memastikan bandul sejarah tak bergerak kembali ke masa lalu, saat tentara menjadi alat kekuasaan.
Proses penggantian panglima ini sudah berlangsung di Dewan Perwakilan Rakyat pekan lalu. Presiden Joko Widodo mengajukan nama Marsekal Hadi Tjahjanto sebagai calon tunggal. Uji kelayakan dan kepatutan oleh DPR pada 6 Desember lalu berlangsung mulus. Seusai uji kelayakan yang berlangsung tertutup, Komisi Pertahanan DPR menyimpulkan Marsekal Hadi layak menjadi Panglima TNI.
Ada alasan formal mengapa Hadi yang terpilih menjadi panglima. Selain alasan kompetensi, Presiden Jokowi meneruskan tradisi bahwa Panglima TNI dijabat bergiliran dari wakil semua angkatan. Setelah Jenderal Gatot Nurmantyo yang mewakili Angkatan Darat, kini Marsekal Hadi dari Angkatan Udara menduduki posisi tertinggi tentara itu. Tradisi yang bukan merupakan kewajiban menurut Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI ini sudah dimulai pada masa Yudhoyono menjadi presiden.
Di luar alasan formal itu, ada faktor kedekatan antara Jokowi dan Hadi. Hadi bukan orang baru bagi Jokowi. Dia menjabat Komandan Pangkalan Udara Adi Soemarmo, Solo, pada 2010-2011, saat Jokowi menjadi wali kota di sana. Ketika Jokowi menjadi presiden, pada 2015-2016, Hadi ditunjuk sebagai Sekretaris Militer Presiden.
Penunjukan Hadi sebagai panglima karena kedekatan personal itu sah-sah saja. Jokowi tentu ingin memastikan semua kebijakannya berjalan efektif. Namun kedekatan ini juga akan menjadi ujian bagi Hadi. Dia harus mampu meyakinkan publik bahwa ia bisa membawa TNI sebagai aparat negara yang netral, tidak berkiblat politik ke mana pun.
Hadi tak boleh mengulangi kesalahan pendahulunya. Selama menjabat Panglima TNI, Jenderal Gatot Nurmantyo dinilai sengaja tak menjaga jarak dalam berbagai peristiwa politik. Saat kelompok Islam konservatif berdemo di Monas menentang pencalonan Basuki Tjahaja Purnama sebagai Gubernur DKI, Gatot hadir mengenakan peci putih menemani Jokowi. Meski Gatot berkilah itu adalah caranya mendekati massa, tak terhindarkan ada kesan dia mencoba menarik simpati kelompok pedemo.
Kita juga belum lupa bagaimana kegaduhan muncul karena berbagai pernyataan dan tindakan kontroversial Gatot. Awal tahun ini, Gatot memutus kerja sama pelatihan militer dengan Angkatan Bersenjata Australia. Alasannya, ada laporan tentang materi pengajaran yang dinilai melecehkan Pancasila. Gatot seolah-olah tak tahu, memutuskan hubungan kerja sama dengan negara lain bukanlah kewenangan panglima.
Begitu pula pernyataan dia tentang pembelian 5.000 pucuk senjata oleh Kepolisian RI dan Badan Intelijen Negara. Bahkan, menjelang usai jabatannya pun, Gatot bermanuver. Saat proses penggantiannya sedang berlangsung, Gatot memutasi 85 perwira tinggi TNI. Langkah itu sungguh tak patut karena, sebagai pejabat yang hendak diganti, Gatot seharusnya tidak membuat keputusan strategis.
Menghindar dari tarik-menarik kepentingan politik akan menjadi tantangan berat bagi Hadi. Awal masa jabatannya bakal ia jalani ketika iklim politik memanas. Pada April 2018, berlangsung pemilihan kepala daerah serempak di sebagian besar wilayah Indonesia. Setahun kemudian, ada hajatan politik yang lebih besar: pemilihan umum legislatif dan presiden.
Semua itu harus dihadapi Hadi, selain masalah klise yang tak ringan, yaitu keterbatasan anggaran dan perlunya terus meningkatkan profesionalisme prajurit.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo