"BAPAK betul-betul mengecewakan kami," kata Tuparev kepadaku setelah ceramah Nurcholish Madjid di Gedung Olah Raga ITB berakhir. "Kami menunggu dan berharap akan terjadi perdebatan sengit antara Nurcholish dan Bapak. Kami menjagokan Bapak untuk membabat Nurcholish. Ternyata, Bapak sama sekali tidak membantahnya. Apakah Bapak memang low profile? Atau demam panggung? Atau tidak berkutik karena kehebatan Nurcholish?" Pertanyaan Tuparev menggebu-gebu. Aku hampir tidak sempat bernapas. Aku memandang anak muda di depanku. Gagah, bersih, sehat -- profil mahasiswa kini, yang makan dengan gizi "Orde Baru". Kabarnya, ia lahir di Solo, dari keluarga priayi, tepat pada 1 Oktober 1965, ketika tujuh Pahlawan Revolusi gugur karena itu, diberi nama Tuparev. "Apakah Anda melihat ada pernyataan Nurcholish yang patut saya bantah," tanyaku, asal saja. Tuparev ikut masuk ke mobilku. "Setidak-tidaknya Bapak harus menggunakan peluang tadi untuk mengkritik gagasan-gagasan Nurcholish sebelumnya. Misalnya, pandangannya tentang negata Islam, konsep sekularisasi, asas tunggal, atau terjemahan La ilaha illallah yang lucu itu." "Itu berarti saya harus berbicara yang sama sekali tidak relevan dengan ucapan Nurcholish pada diskusi tadi." "Relevan dan tidak relevan bukan soal. Bapak tahu paham Nurcholish sedang berada di atas angin. Pahamnya mendukung dan didukung pemerintah. Ia memperoleh perhatian besar dari media massa. Paham alternatif hampir tidak kedengaran. Kita hampir tidak pernah mendengar bantahan atau sanggahan. Forum tadi sebenarnya kesempatan emas untuk menyampaikan paham alternatif. Bukankah, seperti kata Bapak, paham Nurcholish bukanlah satu-satunya perspektif dalam memandang Islam. Tampaknya, bahkan Bapak memperkukuh pendirian Nurcholish, ketika menyatakan bahwa akal harus digunakan untuk menghakimi berbagai penafsiran tentang agama. Saya betul-betul tidak mengerti." Tuparev menggeleng-gelengkan kepala. Wajahnya penuh kekecewaan. Ia menyimpan buku Ali Shariati di bawah jendela depan. Aku sempat melirik judulnya: Ideologi Kaum Intelektual. Seperti mendadak mendapat ilham, aku memperoleh jawaban buat Tuparev. Aku tahu, buat Tuparev dan kawan-kawannya, Ali Shariati sama berwibawanya seperti Encylopelia of Social Sciences buat Nurcholish Madjid pada 1970-an. "Ali Shariati pernah menulis sebuah makalah kecil, A Glance at Tomorrow's History. Kita bisa menjenguk sejarah masa depan dengan melihat masa kini. Menurut Shariati, pada setiap zaman selalu ada paham dominan yang dianut oleh cendekiawan elite dan ada paham devian yang dipegang oleh cendekiawan alit. Pada periode berikutnya, paham devian itu akan menjadi paham dominan. Muncul lagi paham devian yang baru, yang selanjutnya akan menjadi paham dominan pada periode berikutnya. Dan begitu seterusnya. Paham dominan itu boleh disebut sebagai roh zaman, Zeitgeist atau paradigma (Aku lupa, aku sedang menyetir mobil, dan bukan sedang memberi kuliah). Pada Abad Pertengahan, kelompok terpelajar terdiri dari para pendeta dan ahli agama. Paham dominan waktu itu ialah memuja kitab suci dan meremehkan sains. Beberapa orang pendeta menyimpang dari tradisi itu. Mereka memuja sains. Mereka yang menyimpang antara lain Kepler, Galieleo, Copernicus, Servetus. Zaman berganti. Renaissance menampilkan ilmuwan-ilmuwan yang memuja sains dan mencemoohkan agama. Kini sains dan teknologi, rasio dan empirisisme, diagungkan. Sains dianggap sebagai satu-satunya ukuran kebenaran. Saintisme inilah yang menjadi paham dominan masa kini. Tetapi, pada saat yang sama, kita mendengar suara-suara sumbang yang mengkritik sains. Guenon, Carrell, Max Planck, Heidenberg dalam posisi mereka sebagai ilmuwan mengajak orang kembali untuk meragukan asumsi sains dan memulai penghayatan agama." Aku melihat Tuparev mendengar dengan penuh konsentrasi. Ia menunggu tidak sabar kalimat-kalimat berikutnya. "Menurut Shariati, zaman yang akan datang akan ditandai oleh paham religius yang suprasains -- paham keagamaan yang dikembangkan oleh para ilmuwan seperti Guenon, Carrell, dan kawan-kawan." Aku membelokkan kendaraan pada jalan berbatu menuju rumahku. "Kalau filsafat sejarah Shariati itu benar, Nurcholish mewakili satu zaman dalam perkembangan sejarah pemikiran Islam di Indonesia. Ketika pada tahun 1970-an, Nurcholish meneriakkan Islam, Yes Partai Islam, No atau menolak Islam sebagai ideologi dan menegaskan Pancasila sebagai dasar untuk memperjuangkan aspirasi umat Islam, ia menentang arus. Ia menjadi devian. Lima belas tahun kemudian, paham Nurcholish menjadi paham dominan. Tetapi, pada saat yang sama, saya juga melihat arus yang menyimpang dari paham dominan ini. Anda tahu, ada arus kuat yang menentang penerimaan asas tunggal itu. Ini arus devian. Ketika paham dominan mengajarkan pribumisasi Islam, desakralisasi bidang-bidang kehidupan, kita melihat ada kecenderungan pada anak-anak muda di kampus untuk menegaskan Islam sebagai alternatif. Sikap legalistis yang dikritik Nurcholish justru dianut oleh mereka. Dahulu Nurcholish memisahkan yang imani dari yang ilmi, sekarang Armahedi Mahzar, yang alumnus ITB, berusaha mengintegrasikan keduanya. Ketika Kelompok Pembaharu dulu ingin mengilmukan Islam, sekarang malah ada orang yang ingin mengislamkan ilmu." "Maksud Bapak, apakah sesudah ini, paham Nurcholish akan tergeser dan diambil alih oleh paham devian? Selain Armahedi Mahzar itu, apakah Bapak dapat menyebutkan pemikir-pemikir muda lainnya yang mencerminkan pemikiran devian masa kini?" Aku sudah sampai di halaman rumah. Ketika Tuparev pamit, ia mengejutkanku lagi, "Bapak belum menyebutkan pemikir-pemikir lain yang menyimpang dari paham dominan sekarang ini. Bukankah gagasan mereka akan menjadi paham dominan pada zaman yang akan datang." Sambil tertawa kutepuk bahunya, "Tuparev, sejarah pemikiran tidaklah sesederhana seperti yang diceritakan Ali Shariati. Anda harus belajar bahwa tulisan Shariati bukan Kitab Suci. Kemenangan pemikiran tidak ditentukan alur filsafat sejarah, betapapun canggihnya, tetapi oleh para pemain dalam panggung sejarah itu. Dan kau Tuparev, boleh jadi salah seorang di antara pemain itu."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini