Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
INILAH kesempatan bagi Komisi Pemberantasan Korupsi untuk memamerkan tajinya lagi. Penyidik perlu mengusut tuntas pengakuan terpidana Musa Zainuddin, yang bersedia menjadi justice collaborator. Politikus Partai Kebangkitan Bangsa ini mengungkap keterlibatan petinggi partainya dalam skandal suap proyek infrastruktur.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Musa kini mendekam di Lembaga Pemasyarakatan Sukamiskin, Jawa Barat, untuk menjalani hukuman sembilan tahun penjara. Dalam putusan hakim dua tahun lalu, ia juga diwajibkan mengembalikan uang suap Rp 7 miliar. Musa dinyatakan terbukti menerima sogokan dari penggarap proyek infrastruktur di Kementerian Pekerjaan Umum untuk wilayah Maluku dan Maluku Utara pada 2016.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Anggota Dewan Perwakilan Rakyat periode lalu tersebut secara resmi menyatakan bersedia membantu penyidik KPK pada Juli lalu. Musa membeberkan bahwa pengaturan alokasi proyek infrastruktur itu atas perintah Wakil Ketua Badan Anggaran DPR Jazilul Fawaid, yang juga berasal dari PKB. Ia memerintahkan Musa "mengamankan" jatah proyek aspirasi di Komisi Infrastruktur DPR.
Musa mengaku hanya menikmati Rp 1 miliar dari suap kontraktor proyek itu. Ia kemudian memberikan selebihnya, sebesar Rp 6 miliar, kepada Jazilul untuk diteruskan ke Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar. Musa pun meminta Ketua Fraksi PKB Helmy Faishal Zaini memberi tahu Muhaimin soal penyerahan duit itu.
Komisi antikorupsi harus memanfaatkan pengakuan berharga itu. Penyidik tak perlu gentar membongkar keterlibatan sejumlah petinggi PKB kendati mereka menduduki posisi penting. Jazilul kini menjadi Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat. Adapun Muhaimin menjabat Wakil Ketua DPR.
Peran Muhaimin mirip dengan Presiden Partai Keadilan Sejahtera Luthfi Hasan Ishaaq ketika terlibat suap impor daging sapi pada 2013. Luthfi dinilai memperdagangkan pengaruh. KPK semestinya bisa menggunakan cara serupa untuk menjerat Muhaimin. Seperti Luthfi, Muhaimin menjadi anggota DPR sekaligus pemimpin partai saat skandal terjadi.
Jika suap proyek infrastruktur itu mengalir ke PKB sebagai institusi, penyidik tak perlu ragu menerapkan pasal kejahatan korporasi. Peraturan Mahkamah Agung Nomor 13 Tahun 2016 sudah memperjelas definisi korporasi, yakni kumpulan orang dan/atau kekayaan yang terorganisasi, baik berbadan hukum maupun tidak. PKB jelas masuk kategori ini.
Kasus suap proyek infrastruktur juga memperlihatkan betapa peliknya membongkar korupsi. Penyadapan dan operasi tangkap tangan saja tidak cukup tanpa merangkul justice collaborator. Terdakwa tidak akan mau menyeret pelaku lain-tindakan yang bisa membahayakan dirinya-bila ia tak diapresiasi.
Komisi antikorupsi cukup konsisten dalam mengapresiasi pelaku yang membantu membongkar korupsi. Jaksa KPK bahkan sampai mengajukan permohonan banding atas kasus Abdul Khoir, kontraktor proyek infrastruktur yang menyuap Musa Zainuddin dan sejumlah politikus lain. Soalnya, Abdul Khoir yang merupakan justice collaborator divonis terlalu berat oleh pengadilan tingkat pertama. Di tingkat banding, hukuman Khoir akhirnya dipangkas dari empat tahun menjadi dua setengah tahun penjara pada November 2016.
Penyidik tak perlu menanti langkah Presiden Joko Widodo terhadap revisi Undang-Undang KPK untuk mengusut tuntas suap proyek infrastruktur. Mumpung belum semua aturan pelemah lembaga ini berlaku efektif, penyidik semestinya memanfaatkan pengakuan Musa untuk menjerat petinggi PKB.
Catatan:
Ini merupakan artikel majalah tempo edisi 21-27 Oktober 2019