Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Marginalia

Oktober

Oktober merupakan bulan sejarah bagi partai komunis di Indonesia, Cina dan Rusia. Gerakan ketiga partai itu beda latar belakang. PKI hancur, para pemimpinnya tak menyiapkan gerilya.

7 Oktober 1989 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MAO pernah mengutip sebuah pepatah: "Peliharalah tentara untuk 1.000 hari, buat digunakan di satu pagi. "Yang bing qia ri, yong zai yichao. Pada suatu pagi, 1 Oktober 1965, di Jakarta sejumlah tentara digunakan. Mereka menangkap, dan kemudian membunuh, sederet perwira tinggi Angkatan Darat. Lalu sejarah Indonesia pun bergerak, dan berubah, cepat. Seorang presiden dimakzulkan sebuah partai komunis terbesar di dunia -- setelah partai komunis di Uni Soviet dan di Daratan Cina -- hancur. Apa pun teori tentang hancurnya Partai Komunis Indonesia, satu hal jelas: PKI tak berhasil memelihara tentara untuk 1.000 hari Partai ini tak berhasil mengembangkan satu sayap militer. Di mana salahnya? Aidit mungkin tak beruntung. Ia meneruskan satu partai komunis yang -- ketika perjuangan bersenjata melawan Belanda berlangsung -- tak punya merk yang meyakinkan sebagai pelopor perang gerilya melawan kolonial. PKI bukan partai komunis di Cina yang kemudian berkuasa di bulan Oktober 1949 itu. Di Cina. partai Mao-lah yang nampak mengibarkan panji melawan Jepang. Lawannya, kaum Nasionalis di bawah Chiang Kai-shek, justru bersikap lain. Bagi Chiang, perang dengan Jepang harus dihindari agar Cina tak hancur. Baginya, No. 1 ialah memukul Mao, komunisme dan bandit-bandit. Satu episode yang paling tak sedap dalam riwayat Chiang ialah ketika seorang perwira tinggi Nasionalis, saking tidak sabar, menculik sang pemimpin. Chiang dipaksa (juga dengan bujukan Amerika), untuk berdamai, biarpun buat sementara, dengan Mao. Prioritas ialah melawan Jepang. Jepang kemudian kalah, oleh Sekutu, Chiang dielu-elukan dengan gemuruh. Tapi di saat itu di tengah Cina hadir satu tandingan: Partai Komunis. Mereka inilah yang -- lewat perang gerilya yang panjang -- yang di desa-desa Cina utara yang luas punya nama sebagai "patriot". Lebih menentukan lagi, mereka telah punya satu tentara yang keras, ditempa pengalaman perang dan pembinaan teritorial. "Kekuasaan," kata Mao, "lahir dari ujung bedil." Tapi Mao tak lahir di Indonesia, dan PKI telat menyiapkan bedil. Inisiatif gerilya tak datang dari mereka. Apalagi setelah Peristiwa Madiun 1948. Dalam affair ini, PKI melangkah ke dalam konfrontasi berdarah dengan pemerintahan Soekarno dan Hatta dan tentaranya. dan nyaris hancur. Itulah bentrokan yang tak pernah dilupakan oleh mereka yang bukan komunis. Dan PKI pun kehilangan momentum untuk memiliki legitimasi sebagai partai pelopor dalam sebuah "front persatuan nasional". Ia praktis terasing. Ia tak pernah duduk dalam kabinet -- bahkan sampai ia remuk-redam berantakan setelah 1965. Entah sejauh mana sebenarnya PKI serius untuk duduk dalam kabinet. dan untuk apa. Sebuah partai komunis yang lain, seperti di Cina atau Vietnam. akan menggunakan kesempatan ini justru untuk menyiapkan jalan militer secara konsisten. Tapi PKI tidak. Kenapa? Sejarah belum selesai menjawab. Tapi mungkin juga karena pimpinan PKI telanjur senang dengan jalan borjuis yang nyaman. Ada satu cerita dari Blitar Selatan: setelah 1966, ketika sisa-sisa pimpinan komunis mencoba bergerilya dari rumah-rumah di bawah tanah. seorang pimpinannya tak tahan untuk hidup tanpa gosok gigi pakai odol. Ia menyuruh seorang anak desa membelikannya. Dari situlah tempat persembunyian itu ketahuan .... Cerita itu mungkin separuh benar. Tapi memang tak semua kaum revolusioner tahu persis bagaimana revolusi harus dibikin. Marx sendiri konon tak membayangkan jatuhnya kapitalisme dengan peluru dan mesiu. Juga Lenin, kurang lebih. Ketika di bulan Oktober 1917, di Rusia, kaum Bolsyewik ingin melakukan perlawanan terhadap pemerintahan revolusioner yang baru menumbangkan Tsar, sebagian besar pimpinan partai tak siap dengan pasukan. Mujur, bagi mereka: ada seorang Bolsyewik baru yang flamboyan yang bernama Leon Trotsky. Dialah yang menyiapkan pasukan, dia juga yang menggerakkannya. Dia juga yang mengatur siasat: kapal perang Aurora menembakkan peluru kosong ke Istana Musim Dingin di Petrograd, dan pemerintah jatuh dan kaum Bolsyewik berkuasa. Bahkan Lenin sendiri tak tahu apa sebenarnya yang telah terjadi. Lenin memang bukan Mao. Juga Trostky sebenarnya: ia baru pada saat terakhir mengatur tentara untuk berontak. Orangorang itu tak punya sikap seorang Cina yang hidup dengan sejarah yang panjang dan bengis. Masa lalu Cina adalah masa kerusuhan, dan tiap kali demikian, tentara pun jadi penting. Konghucu boleh menganggap serdadu senilai paku buruk yang bisa dibuang, tapi sejarah Cina menunjukkan tak seorang pun bisa membuang paku itu .... Juga kini. Bahkan di Cina, tentara punya privilese: tak berada di bawah kuasa pemerintah, melainkan setaraf dengan kabinet. Tentara dulu berada langsung di bawah pimpinan Mao, sebagai Ketua Komisi Urusan Militer. Kini para pemegang monopoli atas bedil itu berada di bawah Deng Xiaoping, orang yang justru telah uzur dari Politbiro. Memang, bila nanti sore Deng Tua itu mangkat, satu soal besar akan tertinggal: bagaimana kekuasaan, yang lahir dari ujung bedil, bisa tunduk kepada sesuatu yang tidak berbedil. Tapi itulah sebuah masalah klasik. sebetulnya. Goenawan Mohamad

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus