Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ringkasan Berita
Ujian nasional dihapus dan diganti dengan asesmen nasional.
Komponen asesmen kompetensi minimumnya merupakan adaptasi dari soal PISA dari OECD.
Bila tetap dijalankan, asesmen nasional akan berakhir seperti ujian nasional.
Iman Zanatul Haeri
Kepala Bidang Advokasi Perhimpunan untuk Pendidikan dan Guru (P2G)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ujian nasional (UN) dihapus dan diganti dengan asesmen nasional (AN). Rencananya, AN mulai dilaksanakan pada Maret 2021. Namun Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan menundanya hingga Oktober 2021, mengingat angka kasus Covid-19 terus meningkat. Salah satu komponen AN adalah format soal asesmen kompetensi minimum (AKM) yang merupakan adaptasi dari soal PISA.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PISA
Indonesia mengikuti dua kali siklus Programme for International Student Assessment (PISA) pada 2015 dan 2018. Sejak pertama kali diadakan pada 2000, anggota PISA baru mencapai 43 negara. Pada 2018, jumlahnya meningkat menjadi 73 anggota. Belakangan, hasil PISA semakin mempengaruhi kebijakan pendidikan negara-negara anggotanya. Saking berpengaruhnya, hasil PISA disebut sebagai "PISA shock" karena efek kejutan pada negara yang bersangkutan, seperti nilai PISA di bawah perkiraan yang dialami Jerman pada 2000 dan Australia pada 2009.
Menghadapi hasil demikian, ada beragam sikap yang dipilih. Pertama, keluar dari keanggotaan Organisasi Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan (OECD) sebagai lembaga penyelenggara PISA, kemudian membuat standar pendidikan sendiri. Kedua, meniru yang dilakukan Cina dengan meminta secara khusus agar tes PISA hanya dilaksanakan di sekolah tertentu (Shanghai). Ketiga, melakukan reformasi pendidikan dalam negeri sesuai dengan rekomendasi OECD. Pilihan ketiga biasanya merupakan jalan masuk lembaga ekonomi global tersebut untuk melakukan intervensi kebijakan pendidikan di suatu negara. Indonesia justru memilih jalan terakhir ini.
Sepak terjang PISA bukan tanpa hambatan. Pada 2014, lebih dari 80 akademikus di seluruh dunia mengirim surat terbuka kepada Direktur Pendidikan dan Keterampilan OECD Andreas Schleicher. Mereka keberatan karena PISA malah meningkatkan ketergantungan pada model evaluasi kuantitatif. Siklus penilaian tiga tahun PISA juga menyebabkan perbaikan pendidikan hanya berfokus pada jangka pendek. Selain itu, beberapa negara anggota OECD berlomba-lomba mendapatkan peringkat tinggi, terlepas dari cita-cita pendidikan negara mereka masing-masing.
Sebagai organisasi pembangunan ekonomi, OECD memiliki bias ekonomi. OECD sebenarnya juga tidak memiliki mandat yang jelas, seperti UNESCO dan UNICEF, dalam membantu pendidikan dan nasib anak di seluruh dunia. Para akademikus itu juga menilai OECD tidak memiliki komitmen moral, mengingat mereka bermitra dengan perusahaan multinasional dalam mengadakan suatu layanan pendidikan dasar komersial nirlaba, seperti di Afrika. Karena itu, siklus pengujian global yang dilakukan secara terus-menerus akan merugikan siswa, memiskinkan kelas, menambah pelajaran buatan adaptif terhadap PISA, dan mengurangi otonomi guru (Guardian, 2014).
Menurut Yong Zhao (2020) dari Fakultas Pendidikan di University of Oregon, kritik terhadap PISA sering kali diabaikan oleh pemangku kebijakan lembaga tersebut. Dia mengatakan penilaian "unggul" (excellence) dari PISA penuh ilusi karena tiga faktor. Pertama, hasil PISA adalah klaim. Kedua, PISA merupakan pandangan monolitik atas pendidikan. Ketiga, PISA hanya menghasilkan distorsi dalam dunia pendidikan. Di Indonesia, soal PISA justru segera diadaptasi ke dalam soal AKM, yang merupakan bagian dari penyelenggaraan asesmen nasional.
Koloni PISA
Teknik baru dari pembuatan soal dan pengerjaannya membuat AN tampak berbeda dengan UN. Namun, secara teknis, AN akan berakhir seperti UN karena baru-baru ini Badan Akreditasi Nasional Sekolah/Madrasah (BAN-S/M) menyatakan akan menggunakan hasil AN sebagai data indikator akreditasi sekolah/madrasah (Tempo, 16 Oktober 2020).
Dalam penyelenggaraan AN, terdapat tiga komponen, yaitu survei karakter, survei lingkungan belajar, dan AKM. Padahal survei karakter dan survei lingkungan belajar merupakan serangkaian survei yang biasa dilakukan BAN-S/M. Artinya, satu-satunya yang berbeda dari asesmen nasional hanyalah bentuk soal AKM.
Inti dari AKM adalah penilaian berdasarkan literasi dan numerasi. AKM menjadi instrumen penting dalam Peta Jalan Pendidikan Indonesia (PJPI) 2020-2035. Bentuk soal AKM tergolong baru bagi kebanyakan guru. Namun, pada dasarnya, bentuk soal AKM tetap merupakan serangkaian tes dengan perolehan nilai kuantitatif, sehingga proses standardisasi yang selama ini dikritik dalam penyelenggaraan UN justru dilahirkan kembali oleh AN.
Penyelenggaraan AN di tengah pandemi Covid-19 telah kehilangan urgensinya. Keputusan Menteri Pendidikan untuk menundanya merupakan keputusan bijak. Namun upaya mempertahankan dan tetap akan menyelenggarakan AN merupakan bukti kegagalan kita dalam melihat masa depan pendidikan. Ada beberapa alasan mengenai hal ini. Pertama, AN mengadaptasi PISA yang bermasalah. Kedua, AN akan menciptakan kembali ekosistem UN, seperti tekanan psikologis pada siswa dan potensi komersialisasi. Ketiga, survei karakter dan lingkungan belajar dalam AN merupakan kegiatan yang rutin dilakukan BAN-S/M. Jika tetap dipaksakan, AN tidak hanya berpotensi menambah kluster Covid-19 di dunia pendidikan, tapi juga menghilangkan kesempatan bangsa ini untuk merdeka dari standar global.
Dalam PJPI 2020-2035, Indonesia tidak hanya bersandar pada standar global, tapi juga menjadikan tren global sebagai mercusuar pendidikan nasional. Tren global yang dimaksud adalah hasil PISA. Schleicher menyebutkan, dengan serangkaian tes tersebut, kita bisa meniru beberapa negara yang sukses dalam literasi atau numerasi. Pada 2018, dalam acara School and Academies Show di Birmingham, Inggris, Yong Zhao membantahnya. Menurut dia, jika yang dimaksud adalah kita meniru negara yang "unggul" dalam peringkat PISA, itu artinya kita meniru masa lalu negara tersebut (past-oriented).
Dengan demikian, usaha jalan pendidikan nasional dalam memetakan masa depan melalui hasil PISA justru membuat kita makin tertinggal karena sibuk mengejar masa lalu negara lain. UN dihapus dengan harapan bahwa setiap anak di negeri ini memiliki kesempatan yang sama, bukan kesempatan yang seragam. Namun datanglah AN dengan format berbeda tapi cerita yang sama.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo