Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Hampir bisa dipastikan bahwa angka kemiskinan tahun ini bakal bertambah.
Stabilitas harga pangan masih jauh dari selesai dan makin menekan masyarakat miskin.
Dalam lima tahun terakhir, beras menjadi salah satu penyumbang inflasi terbesar.
Khudori
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pegiat Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI) dan Komite Pendayagunaan Pertanian (KPP), Penulis Buku Ironi Negeri Beras
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Angka kemiskinan September 2020 semestinya sudah dirilis Badan Pusat Statistik (BPS) pada 15 Januari 2021. Karena pandemi, BPS ada kemungkinan baru merilis pada Februari nanti. Namun hampir bisa dipastikan bahwa angka kemiskinan bakal bertambah. Pada awal masa pandemi, Maret 2020, kemiskinan sudah melonjak menjadi 9,6 persen (enam bulan sebelumnya 9,1 persen) dan pengangguran per Agustus 2020 melonjak menjadi 7,07 persen (setahun sebelumnya 5,23 persen). Angka kemiskinan kini berpeluang melompat ke atas 10 persen setelah pada 2018 untuk pertama kalinya bisa ditekan di bawah satu digit.
Meskipun ada optimisme bahwa tahun ini keadaan dapat membaik, ekonomi belum sepenuhnya akan pulih. Mesin ekonomi belum panas. Seluruh perkara ini disebabkan oleh penanganan pandemi yang belum jelas ujungnya. Ini membuat sebagian pabrik tutup, usaha berhenti, pariwisata lumpuh, logistik tersendat, kantor sepi, dan perdagangan lesu. Ekonomi pun lunglai. Akibatnya, pendapatan menyusut dan orang yang dipecat atau kehilangan pekerjaan semakin bejibun. Ujung dari semua ini adalah barisan orang miskin dan penganggur semakin panjang.
Resesi dan krisis, termasuk pandemi kali ini, membawa hikmah tak terduga. Salah satunya, orang dipaksa bersikap realistis: memprioritaskan kebutuhan primer-hakiki. Mengacu pada piramida Abraham Maslow, tatkala pandemi, manusia saat ini sukarela menggeser kebutuhan dari puncak (aktualisasi diri dan esteem) ke dasar piramida: makan, kesehatan, dan keamanan jiwa-raga. Agar terlindungi dari sengatan virus Covid-19, imunitas tubuh harus terjaga. Asupan makanan bergizi menjadi penting.
Masalahnya, bagi warga miskin, akses pada asupan makanan bergizi tidak selalu terjangkau oleh kantong. Warga miskin, juga mereka yang masuk kelompok 40 persen berpenghasilan terbawah dan kategori hampir atau rentan miskin, mengeluarkan mayoritas uangnya untuk pangan. Ini terpotret dari sumbangan garis kemiskinan makanan yang porsinya sebesar 73,86 persen dari pengeluaran rumah tangga pada Maret 2020. Hanya 26,14 persen pengeluaran mereka untuk non-makanan. Implikasinya, stabilitas harga pangan menjadi kebutuhan mutlak. Harga pangan naik atau turun bakal berpengaruh langsung pada jumlah warga miskin.
Celakanya, stabilitas harga pangan masih jauh dari selesai. Ini tampak dari porsi inflasi pangan dalam inflasi total masih besar. Sebetulnya, kinerja pengendalian inflasi pemerintah semakin baik. Indonesia juga kian terbiasa memitigasi fluktuasi ekonomi global. Selama 2014-2020, inflasi terus turun, dari 8,36 persen (2014) menjadi 3,35 persen (2015), 3,02 persen (2016), 3,61 persen (2017), 3,13 persen (2018), 2,72 persen (2019), dan 1,68 persen (2020). Kecuali pada 2017, bila dilihat dari sumbernya, pengendalian inflasi masih menyisakan masalah.
Selama tujuh tahun itu, inflasi rendah karena kelompok harga yang diatur pemerintah (administered prices) dan inflasi inti terkendali. Sebaliknya, inflasi didorong oleh harga pangan (volatile foods). Pada 2014, andil pangan (bahan pangan, pangan olahan, dan tembakau) baru menyumbang 40,31 persen dari inflasi sebesar 8,36 persen. Namun, pada 2015, andil pangan pada inflasi naik menjadi 61,19 persen dari total inflasi sebesar 3,35 persen dan naik lagi menjadi 70,1 persen dari total inflasi 3,01 persen pada 2016. Khusus 2017, andil pangan hanya 26 persen dari inflasi yang 3,61 persen. Tapi dalam tiga tahun terakhir sumbangan inflasi pangan kembali naik: 43 persen dari 3,13 persen (2018), 56 persen dari 2,72 persen (2019), dan 54 persen dari 1,68 persen (2020). Ini pertanda instabilitas harga pangan masih terjadi.
Jika ditilik dari komoditas pangan penyumbang inflasi, dua tahun terakhir mulai terjadi pergeseran. Selama 2014-2018, posisi beras sebagai penyumbang inflasi mendominasi. Dari 11 komoditas pangan dalam lima tahun itu, beras bersama daging ayam ras, ikan segar, dan mi menjadi penyumbang inflasi empat kali; disusul telur ayam dan bawang merah (tiga kali); cabai merah, cabai rawit, minyak goreng, dan gula pasir (dua kali); serta bawang putih (sekali). Posisi beras pun di urutan penting: 1-3 kontributor inflasi terbesar.
Dalam dua tahun terakhir (2019-2020), hanya pada 2020 beras menjadi penyumbang inflasi pangan. Itu pun di posisi minor: 15 dari 20 komoditas. Sebaliknya, peran cabai (merah dan rawit), minyak goreng, bawang (merah dan putih), dan telur serta daging ayam semakin mendominasi. Di satu sisi, ini patut disyukuri. Dari 13 komoditas penyumbang garis kemiskinan makanan, posisi beras amat dominan, yakni 22,76 persen dari pengeluaran rumah tangga miskin. Kala harga beras naik tinggi, hampir pasti kemiskinan akan naik juga. Di sisi lain, pergeseran peran ini menandakan masalah inflasi pangan masih jauh dari selesai.
Fluktuasi harga pangan, harga pangan yang stabil tinggi, dan inflasi akan menekan daya beli konsumen. Bagi rakyat, terutama yang miskin, inflasi akan menggerogoti daya beli mereka. Inflasi akibat instabilitas harga pangan akan mengekspose warga miskin pada posisi rentan. Karena itu, para ekonom menyebut inflasi sebagai "perampok uang rakyat". Jumlah warga miskin tidak kunjung turun secara signifikan dalam satu dekade terakhir karena instabilitas harga pangan dan harga pangan yang tinggi masih menjadi rutinitas berulang. Tatkala pandemi belum reda, instabilitas harga pangan kian memperdalam luka rakyat. [*]
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo