Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Menuju Perlindungan Sosial yang Inklusif

Kebijakan perlindungan sosial yang inklusif harus segera diwujudkan. Skema universal basic income dan universal child benefit bisa menjadi pilihan.

1 Februari 2021 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Ilustrasi: Imam Yunni

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Program bantuan sosial selama ini rentan dikorupsi dan tidak tepat guna.

  • Kebijakan perlindungan sosial yang inklusif harus segera diwujudkan.

  • Penerapan skema universal basic income dan universal child benefit bisa menjadi pilihan.

Wahyu Susilo
Direktur Eksekutif Migrant CARE

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Terbongkarnya kasus korupsi bantuan sosial Covid-19 pada saat ada peningkatan anggaran bantuan dan perlindungan sosial memang terasa menyakitkan. Apalagi, hingga saat ini, angka kasus penderita Covid-19 telah melewati satu juta dan kelompok marginal yang terkena dampak semakin luas.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Secara berseri, majalah Tempo dan Koran Tempo juga menginvestigasi ke mana saja aliran uang itu mengalir dan bagaimana korupsi ini mengabaikan kebutuhan-kebutuhan mendesak kelompok marginal pada masa pandemi ini. Koran Tempo sempat mengulas bagaimana kelompok penyandang disabilitas dan lanjut usia harus menerima bantuan sosial yang telah disunat.

Migrant Care menerima pengaduan sejak November 2020 bahwa Kementerian Sosial menghentikan skema bantuan sosial usaha kemandirian bagi korban trafficking. Penghentian ini mengatasnamakan pengalihan anggaran untuk Covid-19. Kebijakan ini tentu sangat merugikan mantan pekerja migran yang menjadi korban tindak pidana perdagangan orang, karena selama masa Covid-19 kerentanan yang mereka hadapi semakin berlipat.

Bantuan sosial non-tunai sebagai instrumen jaring pengaman sosial memang pernah menjadi andalan untuk mengatasi bencana ataupun krisis. Skema ini mulai berkembang sejak masa krisis moneter 1997-1998 dan bencana tsunami yang kemudian menjadi bantuan darurat bagi korban bencana alam. Secara permanen, sejak 1998 pemerintah juga pernah meluncurkan skema bantuan sosial Raskin (Beras untuk Rumah Tangga Miskin) yang kemudian berubah menjadi Rastra (Beras untuk Rakyat Sejahtera) dan diubah lagi menjadi Bantuan Non-Tunai Pangan dan akhirnya menjadi Kartu Sembako.

Dari berbagai evaluasi mengenai pelaksanaan bantuan sosial non-tunai, ditemukan masalah bahwa skema bantuan ini, selain rentan dikorupsi, sering kali tidak tepat guna dan bahkan kualitas komoditas bahan pangannya di bawah standar. Evaluasi tersebut merekomendasikan bahwa sebaiknya model bantuan sosial dialihkan dari bantuan non-tunai menjadi bantuan langsung tunai.

Skema cash for work yang diperkenalkan pada saat penanganan bencana tsunami Aceh kemudian banyak dilakukan sebagai model bantuan sosial langsung dalam bentuk proyek padat karya di masa rekonstruksi bencana alam. Sementara itu, model Program Keluarga Harapan adalah adopsi dari skema perlindungan sosial dari berbagai negara yang menerapkan program conditional cash transfer, yang berbasis pada rumah tangga berorientasi pada kesehatan perempuan dan anak.

Karut-marut bantuan sosial pada masa pandemi Covid-19 yang berpuncak pada korupsi Menteri Sosial ini juga telah membuka kotak pandora masalah-masalah yang terkandung dalam kebijakan perlindungan sosial di Indonesia. Kesimpangsiuran masalah distribusi bantuan sosial berakar dari ketidaktersediaan data yang akurat dan terbarui secara periodik. Pada saat itu terbukti banyak kelompok masyarakat dikecualikan dari bantuan sosial karena tidak terdaftar di Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DKTS). DTKS ini menjadi basis data untuk penyaluran bantuan, dan terungkap bahwa pembaruan data terakhir dilakukan pada 2015.

Selain itu, karena data ini mensyaratkan bahwa penerima bantuan harus memiliki nomor induk kependudukan (NIK), ada potensi untuk mengecualikan kelompok-kelompok marginal yang sering kali tidak bisa mendapatkan dokumen kependudukan karena berbagai sebab, seperti tidak diakui menurut agama dan kepercayaan resmi, orientasi seksual, atau karena terisolasi.

Di sepanjang 2020, Migrant Care memantau sekitar 176 ribu pekerja migran pulang ke Tanah Air karena dampak Covid-19 dan sebagian besar di antara mereka tidak menerima bantuan sosial karena tak terdaftar dalam DTKS. Selain itu, mereka kesulitan mengakses skema perlindungan sosial lainnya, seperti Kartu Prakerja ataupun proyek padat karya yang dijanjikan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat.

Melihat situasi tersebut, adalah hal yang mendesak untuk segera mewujudkan kebijakan perlindungan sosial yang inklusif. Apalagi diperkirakan, dalam dua tahun ke depan, alokasi dana perlindungan sosial akan mendapat porsi yang besar dalam APBN kita untuk mengantisipasi krisis jangka panjang karena pandemi. Kebijakan perlindungan sosial di Indonesia juga harus ditransformasi dari bersifat karitatif menuju perlindungan sosial transformatif.

Dalam asesmen awal mengenai situasi pembangunan manusia di masa pandemi, Program Pembangunan PBB (UNDP) merekomendasikan skema universal basic income (jaminan pendapatan dasar semesta) untuk tetap memastikan pemenuhan kebutuhan dasar pada masa krisis dan menjamin produktivitas untuk menggerakkan ekonomi produksi. Kesemestaan jaminan ini didasarkan pada meluasnya dampak pandemi di semua lapisan masyarakat. Varian lain dari skema ini adalah universal child benefit. Skema ini diperkenalkan oleh UNICEF untuk mengedepankan kepentingan terbaik anak dalam skema perlindungan sosial.

Apakah inisiatif ini bisa diimplementasikan di Indonesia? Baru-baru ini koalisi masyarakat sipil menggelar Kongres Jaminan Pendapatan Dasar Semesta (Jamesta) dan telah menginventarisasi beberapa inisiatif parsial di berbagai wilayah yang bisa menjadi titik pijak penerapan universal basic income. Perkumpulan Prakarsa bahkan telah melakukan simulasi penerapan universal basic income, kapasitas fiskal Indonesia, dan opsi-opsinya.

Migrant Care bersama Save The Children secara terbatas juga melakukan proyek uji coba penerapan universal child benefit di Indramayu sebagai daerah basis pekerja migran. Inisiatif ini diawali dengan asesmen akses bantuan sosial oleh pekerja migran yang pulang karena pandemi Covid-19 dan identifikasi pemenuhan kebutuhan dasar anak-anak di masa pandemi. Temuan yang didapat adalah terjadinya peningkatan kebutuhan anak, terutama gizi, layanan kesehatan, dan pendidikan, dihadapkan pada keterbatasan sumber daya dan bantuan sosial yang tidak berperspektif hak anak. Atas dasar temuan tersebut, dirumuskan skema bantuan yang berorientasi pada pemenuhan hak anak dengan mendengarkan langsung aspirasi anak.

Beberapa inisiatif tersebut bisa direplikasi oleh pemerintah dengan penerapan terbatas skema universal basic income dan universal child benefit pada sektor-sektor yang diprioritaskan, seperti petani, buruh, keluarga pekerja migran, masyarakat adat, perempuan miskin, dan kelompok marginal lainnya.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Wahyu Susilo

Wahyu Susilo

Direktur Eksekutif Migrant CARE

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus