Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Pekerja Migran dan Gelombang Kedua Pandemi

Pekerja migran rentan dikriminalkan karena dokumen keimigrasian dan visa kedaluwarsa. Diperlukan kebijakan pelonggaran aturan keimigrasian.

20 Mei 2021 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Ilustrasi: Kendra Paramita

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Kawasan Asia Tenggara dilanda gelombang kedua pandemi Covid-19.

  • Sebagian besar pekerja migran memutuskan untuk tidak cuti kerja atau mudik.

  • Dokumen keimigrasian dan visa kerja mereka tak bisa diperbarui karena kebijakan pembatasan pergerakan.

Wahyu Susilo
Direktur Eksekutif Migrant CARE

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seperti tahun lalu, momentum Lebaran biasanya selalu diikuti dengan pergerakan jutaan warga kota yang mudik ke kampung halaman. Peristiwa ini selalu ditanggapi dengan penuh kewaspadaan oleh pemerintah dalam upaya mencegah perluasan penularan Covid-19. Angka penularan Covid-19 sempat melandai, terutama pada Maret hingga Mei, dengan kasus aktif sudah berada di bawah angka 100 ribu. Berbagai upaya telah dilakukan oleh pemerintah, dari larangan mudik hingga penyekatan di pintu-pintu utama jalur mudik dan arus balik.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Namun pelanggaran atas kebijakan tersebut terjadi di mana-mana. Penyekatan jalur tidak mampu menahan laju keinginan puluhan ribu pemudik yang menggunakan kendaraan bermotor, meski ada juga yang berhasil digagalkan. Pada masa lebaran terjadi kerumunan ribuan pengunjung di berbagai tempat wisata. Bukan tidak mungkin dalam minggu-minggu ke depan akan terjadi ledakan kasus Covid-19 lagi.

Yang tak kalah pelik adalah munculnya gelombang kedua penularan Covid-19 di kawasan Asia Tenggara. Hal ini telah memaksa negara-negara tetangga dekat Indonesia, seperti Malaysia, Singapura, dan Thailand, memberlakukan penutupan wilayah sebagai langkah untuk mengerem laju penularan. Filipina, misalnya, masih berjuang mengendalikan laju penularan Covid-19. Sementara itu, Kamboja, Laos, dan Vietnam—yang selama ini dikabarkan aman dan "adem ayem" dari kecamuk pandemi Covid-19—juga telah melaporkan kasus baru dan peningkatan angka kematian akibat Covid-19. Ketertutupan informasi di Brunei Darussalam membuat situasi sebenarnya pandemi di sana tidak diketahui. Kondisi di Myanmar tentu lebih tidak terkendali lagi setelah militer mengkudeta pemerintah pada Februari lalu.

Kondisi lain yang juga bisa mempengaruhi eskalasi kasus Covid-19 di Asia Tenggara adalah semakin tidak terkendalinya pandemi di India. Varian-varian baru virus Covid-19 yang lebih mematikan bermunculan. Beberapa ahli menyatakan bahwa varian-varian baru inilah yang menjadi salah satu pemicu gelombang baru penularan Covid-19 di berbagai negara.

Kecamuk Covid-19 di Asia Tenggara dalam satu setengah tahun terakhir ini telah mempengaruhi migrasi tenaga kerja di kawasan ini. Di kawasan ini, migrasi tenaga kerja menjadi faktor penggerak pertumbuhan ekonomi yang signifikan. Hal ini juga didukung faktor kedekatan, yang bisa dijangkau melalui jalur darat, laut, dan udara dalam waktu yang singkat.

Kebijakan pembatasan mobilitas dan penutupan akses transportasi membawa dampak yang besar bagi pekerja migran. Ancaman terbesar bagi mereka adalah kehilangan pekerjaan. Hal ini sudah terjadi di Malaysia saat penerapan pembatasan pergerakan atau Movement Control Order sejak pertengahan Maret 2020.

Jutaan pekerja migran tak berdokumen di Malaysia otomatis kehilangan pekerjaan, terutama bagi pekerja upah harian atau mingguan. Pekerja rumah tangga migran juga rentan kehilangan pekerjaan jika majikannya kehilangan pekerjaan atau mengalami pemotongan upah akibat krisis ekonomi.

Karena itu, dengan atau tanpa imbauan agar pekerja migran tidak mengambil cuti mudik Lebaran, sebagian besar dari mereka yang masih memiliki kontrak kerja yang panjang mengambil keputusan untuk menunda mudik dan tetap bekerja. Bagi mereka, cuti dan pulang kampung sangatlah berisiko kehilangan pekerjaan.

Hal yang harus segera menjadi perhatian serius adalah semakin meningkatnya jumlah pekerja migran yang dokumen keimigrasian dan visa kerjanya memasuki masa kedaluwarsa. Pada saat yang sama, kebijakan karantina wilayah, pembatasan mobilitas, dan penutupan perbatasan semakin mempersulit mereka untuk pulang. Hal ini berpotensi membuat mereka berstatus tidak berdokumen atau menjadi overstayer. Status ini rentan dikriminalkan atas nama Undang-Undang Keimigrasian yang ketat di negara tersebut.

Hingga saat ini belum terlihat adanya langkah progresif pemerintah untuk melonggarkan aturan keimigrasian. Langkah yang direkomendasikan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) adalah mengedepankan aspek pemulihan kesehatan dan mengesampingkan aspek legalitas keimigrasian. Jika langkah ini diambil, ia sebenarnya juga bisa menjadi opsi dalam menjaga ketersediaan kebutuhan pekerja migran pada masa perlambatan migrasi tenaga kerja internasional.

ASEAN sebagai organisasi di kawasan Asia Tenggara harus mengambil langah aktif untuk mengatasi krisis ini agar kondisi pekerja migran tidak semakin rentan pada masa pandemi. Pada 2020, ASEAN telah menyelenggarakan pertemuan khusus untuk mengantisipasi pandemi Covid-19 dan melahirkan Deklarasi Konferensi Tingkat Tinggi Khusus ASEAN tentang Coronavirus Disease 2019. Tapi, dalam perjalanannya, deklarasi tersebut hanya menjadi dokumen di atas kertas dan bahkan sama sekali abai terhadap kerentanan pekerja migran.

ASEAN harus memperbarui komitmennya dalam penanganan Covid-19 dan dampaknya terhadap pekerja migran dan mendorong kebijakan pelonggaran aturan keimigrasian. Hal ini agar tidak terjadi kriminalisasi terhadap pekerja migran yang masih tertahan di suatu negara dan memegang dokumen keimigrasian dan visa kerja yang sudah lewat masa berlakunya. Mereka tidak bisa memperbarui dokumen keimigrasiannya akibat kebijakan pembatasan mobilitas dan penutupan perbatasan.

ASEAN juga harus mendorong agar pekerja migran yang berada di kawasan Asia Tenggara tanpa terkecuali mendapatkan hak dan akses yang sama terhadap layanan kesehatan, tes Covid-19, dan vaksinasi. Langkah ini menjadi bentuk pengakuan atas peran pekerja migran sebagai penggerak ekonomi di kawasan Asia Tenggara dan mengintegrasikan mereka sebagai bagian dari kekebalan komunitas global dalam menghadapi pandemi.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Wahyu Susilo

Wahyu Susilo

Direktur Eksekutif Migrant CARE

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus