Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Pemerintah membuka keran pengiriman pekerja migran.
Covid-19 di masih berkecamuk di berbagai negara.
Pengiriman pekerja migran ke luar negeri akan menjadi kelinci percobaan pada masa krisis kesehatan.
Wahyu Susilo
Direktur Eksekutif Migrant CARE
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pekan lalu tersebar berita mengenai para pekerja migran Indonesia yang terjangkit Covid-19 ketika baru mendarat di dua negara tujuan bekerjanya, Taiwan dan Jepang. Mereka diduga terjangkit virus ini menjelang pemberangkatan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kabar ini tentu menyedihkan. Apalagi selama ini para pekerja migran sering diberi stigma sebagai pembawa virus. Stigma yang diskriminatif ini terbukti keliru ketika gelombang pemulangan 166 ribu pekerja migran sepanjang Maret hingga Agustus 2020 ke kampung halaman tidak menimbulkan kluster baru Covid-19. Dengan pola penapisan yang ketat, mereka yang terdeteksi terjangkit virus ini berhasil diidentifikasi di gerbang pertama kedatangan, sehingga sebagian besar bisa langsung dikarantina di Wisma Atlet dan akhirnya sembuh.
Sejak awal, Migrant CARE sudah mengungkapkan kekhawatiran ketika pemerintah, dalam hal ini Kementerian Ketenagakerjaan dan Badan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI), berencana membuka kesempatan penempatan kembali pekerja migran ke luar negeri. Rencana ini mengikuti euforia “kenormalan baru” yang diintroduksi pemerintah dengan dalih menggerakkan perekonomian yang lesu.
Rencana itu diimplementasikan dalam Keputusan Menteri Tenaga Kerja Nomor 294 Tahun 2020. Langkah yang terburu-buru ini memperlihatkan kembali bahwa orientasi ekonomi kebijakan penempatan pekerja migran mengalahkan dimensi perlindungan dan keselamatan mereka pada masa pandemi.
Hingga saat ini, kurva penularan Covid-19 di Indonesia belum menunjukkan tanda-tanda penurunan, bahkan makin menjulang hampir menembus angka setengah juta kasus. Di luar negeri, beberapa negara yang sebelumnya mendeklarasikan penurunan jumlah kasus juga mengalami gelombang kedua penularan Covid-19. Data Kementerian Luar Negeri per 22 November 2020 memperlihatkan 158 warga negara Indonesia, yang sebagian besar pekerja migran, meninggal di berbagai negara, 437 orang dirawat, dan 1.377 orang sembuh.
Melihat kecamuk Covid-19 di berbagai negara yang masih belum menunjukkan tanda-tanda mereda, keputusan untuk membuka kembali pintu penempatan pekerja migran ke luar negeri akan membuat mereka menjadi “kelinci percobaan” pada masa krisis kesehatan.
Sejak keputusan menteri itu berlaku, Migrant CARE memantau dampaknya di daerah-daerah basis pekerja migran. Kebijakan ini telah mendorong kembali proses perekrutan yang berpotensi menyebabkan terjadinya praktik perdagangan manusia. Walau kebijakan ini menyatakan bahwa penempatan hanya ditujukan ke 14 negara dan melalui proses yang ketat, tetap saja perekrutan yang berlangsung tidak menginformasikan syarat dan ketentuan yang berlaku serta seolah-olah tidak ada pembatasan ke negara-negara tertentu.
Tidak mengherankan bila pada semester kedua tahun ini terjadi peningkatan angka perekrutan dan penempatan non-prosedural. Hal ini tentu merugikan calon pekerja migran. Kepala BP2MI sendiri kerap melakukan razia dan menemukan modus yang sudah mengarah ke perdagangan manusia. Bahkan, akibat informasi yang sesat tentang pembukaan penempatan pekerja migran ke Malaysia, pada September lalu terjadi kecelakaan kapal yang mengangkut para calon pekerja melalui jalur gelap. Kecelakaan ini mengakibatkan lima orang meninggal.
Berulang kali Menteri Ketenagakerjaan menyatakan bahwa langkah ini dilakukan demi memperbaiki kondisi perekonomian. Pernyataan itu mengacu pada kemerosotan volume remitansi sepanjang tahun ini. Namun kemerosotan ini juga dialami oleh semua negara pengirim pekerja migran. Hal tersebut juga tidak bisa menjadi pembenaran untuk menggenjot kembali pengiriman pekerja ke luar negeri.
Berbagai laporan mengenai krisis pada masa pandemi serta dampak sosial-ekonominya yang dikeluarkan ILO, UN Women, IOM, UNDP, dan lembaga-lembaga internasional lainnya berkesimpulan bahwa krisis ini merupakan krisis kesehatan yang berdampak luas. Semuanya merekomendasikan agar pemulihan kesehatan dan perlindungan sosial menjadi prioritas kebijakan. Tidak ada salahnya bila Kementerian Ketenagakerjaan dan BP2MI membatalkan kebijakan ini dan mengutamakan keselamatan para calon pekerja migran.
Masa jeda penempatan kemudian dimaksimalkan untuk mempersiapkan tata kelola migrasi baru yang berorientasi pada pelayanan publik dan melibatkan penuh pemerintah daerah hingga desa. Hal yang mutlak segera dilakukan adalah mengevaluasi total kinerja perusahaan perekrut yang selama ini mengambil keuntungan sebagai perantara. Pemerintah juga harus mengevaluasi dan memperbarui semua perjanjian bilateral dengan negara tujuan bekerja sebagai bentuk kehadiran negara dalam melindungi pekerja migran.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo