BAGI Yang mengira bahwa "politik itu kotor", bacalah Gandhi.
Bagi yang berdalih bahwa politik adalah muslihat bacalah Gandhi.
"Dengan segala kerendahan hati, saya dapat berkata bahwa mereka
yang menganggap agama itu tak ada sangkutpautnya dengan politik
sebenarnya tidak mengetahui apa artinya agama tersebut."
Jika ia yang mengatakan itu, tak akan ada Yang berkesimpulan
bahwa pengertian "agama" di situ mirip dengan fanatisme. Politik
malah seakan terdengar sebagai pengadian--tanpa permusuhan.
Ia memang pembaca Bhagawat Gita yang terkesan, terutama oleh
seloka yang membicarakan kemungkinan keji dari hasrat. Ia juga
pembaca Injil di bagian ketika Almasih berkhotbah di bukit. "Aku
berkata Padamu," seru Jesus, "janganlah kamu melawan orang yang
berbuat jahat kepadamu."
Itu tidak berarti gerak Gandhi sama sekali tanpa perlawanan. Di
tahun 1916, berpidato di pembukaan Universitas Benares Hindu ia
mengucapkan sesuatu yang menyebabkan Annie Besant, pendiri
gerakan theosofi itu, berseru kepadanya: "Tolong, jangan
teruskan." Seorang pejabat tinggi pemerintah kolonial Inggeris
bahkan bergumam: "Kita harus hentikan orang ini dari omongannya
yang begitu jorok."
Jorok Yang diomongkan Gandhi adalah keberanian menghadapi para
feodal setempat, menghadapi para detektif, bahkan Raja Inggeris,
yang menunjang suatu sistim di mana para petani begitu lapar dan
para pangeran bertatahkan intan berlian.
Tapi tetap saja ia Gandhi. Ia memang menyatakan diri menolak
kerjasama dengan pemerintah kolonial, dan 15 Desember 3921
bahkan menyatakan "perang", serta "pemberontakan"-nya. Ia
mengadakan gerakan massa untuk itu. Namun seperti dikatakan oleh
seorang penulis biografinya, ia tetap sangat human dan bahkan
nyaris sentimentil, juga dalam Politik di suatu zaman ketika
sentimentalitas dicemoohkan. Gandhi, jauh di dalam hatinya,
tetap mempercayai ada sesuatu yang baik Pada pemerintahan
kolonial Inggeris.
Tentu, di akhir tahun 1921 sebuah tulisannya dalam Young India
berkata: "Lembaga-lembaga yang nampaknya pemurah dari pemerintah
Inggeris sebenarnya adalah seperti ular dalam dongeng:
bermahkotakan berlian cemerlang di kepalanya, tapi penuh racun
di taringnya." Tentu, di akhir tahun 1921 itu ia tak lagi bicara
seperti di tahun 1915, tatkala ia menyatakan loyalitasnya kepada
Imperium Inggeris. Namun Gandhi toh tetaP masih menyatakan: "tak
ada negara yang . . . samasekali tak ada segi baiknya."
Dan barangkali dia benar. Dilihat kembali di zaman sekarang,
pemerintah penjajahan Inggeris di India waktu itu memiliki satu
hal yang baik--Yang ternyata sering hilang dalam pemerintahan
bekas jajahannya. Satu hal itu adalah ideal untuk mernberi
keleluasaan besar bagi kawulanya: keleluasaan untuk mencurahkan
tena.anya, menampilkan kehormatannya dan, dalam kata-kata
Gandhi, "apa saja yang ianggapnya layak bagi hati nuraninya."
Gandhi adalah orang yang jatuh cinta kepaa ideal seperti itu.
Seorang penulis resensi tentang buku biografi Gandhi oleh Ved
Mehta yang terit tahun lalu,pun mengatakan, bahwa metode
perjuangan Gandhi--satyagraha, 3npa kekerasan, puasa dan
sebagainya itu--hanya bisa berhasil dalam masyarakatasyarakat
seperti Imperium Inggeris dan Amerika Serikat. Yakni masyarakat
ang Punya kemerdekaan menerhitkan dan berbicara, di mana ada
opini publik,dan i mana menerima pengaruh fikiran bukanlah
dosa. Juga di mana kekuasaan yang emerintah dikendalikan oleh
kemutlakan moral --hingga rasa bersalah timbul ada setiap
langkah menindas yang terjadi.
Adakah dengan demikian metode Gandhi tidak universil, dan
kebohongan, kekeasan serta kasak-kusuk bisa dihalalkan bagi
politik? "Ratusan orang seperti saya oleh enyah, tetapi biarlah
Kebenaran bertakhta," kata Gandhi di pengantar otobiografinya.
"Saya harus merendahkan diri sampai nol."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini