SERING dikatakan bahwa sukses orang Tionghoa di Indonesia, para
WNI keturunan Tionghoa sekarang, disebabkan karena kerja keras
dan hidup hemat mereka. Lalu diberikan contoh bagaimana seorang
emigran Tionghoa miskin, dengan membanting tulang dan mengikat
erat pinggang menjadi jutawan yang mewariskan kekayaannya sampai
keturunan ketujuh.
Memang ada karier demikian. Namun bukan kerja-keras dan hidup
hemat yang jadi dasar sukses itu. Itu hanya mitos dari lakon
sukses yang diperalat oleh golongan usahawan untuk membujuk
orang-orang lain kerja-keras dan hidup hemat. Sebab kalau benar
bahwa kerja-keras dan hidup hemat akan dapat menimbulkan
kapitalis, maka dari kalangan petani yang bekerja secara lebih
keras dan hidup lebih hemat daripada usahawan kota, terang akan
timbul banyak jutawan. Namun sayangnya ini tidak terjadi.
Apa sebenarnya yang memungkinkan timbulnya usahawan kaya di
kalangan WNI? Tulisan ini akan meninjau timbulnya kapitalisme
ini dari pranata yang berkembang, atau dikembangkan di kalangan
orang Tionghoa khususnya di Jawa. Kondisi apa yang ada untuk
menumbuhkan kapitalisme itu?
Partnership VOC
Fakta pertama yang menonjol mengenai kedudukan orang Tionghoa
ini, sejak adanya Belanda (VOC) di Indonesia, adalah bahwa
golongan itu dikembangkan sebagai golongan pedagang. Kedua
bangsa asing, Belanda dan Cina, datang untuk usaha di Indonesia.
Partnership antara keduanya sejak mula dibentuk.
VOC umpamanya menuntut jurisdiksi atas orang Tionghoa di Jawa,
biarpun mereka tinggal di daerah kerajaan Jawa. Artinya penguasa
Belanda memberikan dukungan atas perkembangan pranata kapitalis
di kalangan orang Tionghoa di Indonesia.
Pranata itu erat sekali hubungannya dengan modal dan penciptaan
kepercayaan dagang.
Dalam permulaan aman VOC (awal abad ke-17) orang Tionghoa
sebenarnya tetap merupakan bangsa asing bagi Belanda. Belanda
tidak tahu apa-apa mengenai mereka. Yang kemudian dilakukan
adalah mengangkat seorang pedagang Tionghoa yang terkaya di
Batavia sebagai Kapitan Cina, artinya kepala golongan Tionghoa.
Para kepala golongan Tionghoa ini disebut para Opsir. Sampai
abad ke-19 mereka terdiri dari seorang Kapitan, beberapa letnan
dan kepala-kampung (wijkmeesters). Dalam abad ke-19 pangkat
opsir untuk kota besar ditambah dengan seorang mayor. Para opsir
ini tidak ada hubungannya sama sekali dengan kemiliteran kecuali
dalam hal gelar. Mereka adalah pedagang terkaya di kalangan
Tionghoa-peranakan.
Nakhoda Jung
Pada permulaan abad ke-17 sampai pertengahan abad ke-18 para
opsir Cina di Batavia biasanya diambil dari kalangan nakhoda
kapal jung yang menetap di sana, sebab mereka pedagang terkaya.
Para opsir ini berfungsi sebagai penjamin hutang yang diberikan
oleh Belanda pada orang Tionghoa.
Dengan demikian para opsir Cina ini sedikit banyak menentukan
siapa di kalangan Tionghoa yang akan diberi porsekot dan
pinjaman dagang. Kontrol mereka ekonomi dan khususnya
perdagangan orang lionghoa pun besar sekali. Ini memperkuat
kedudukan ekonomis dan politis mereka juga.
Sejak sekitar pertenganan abad ke-18 masyarakat pranakan
Tionghoa menstabilkan diri. Mereka benar-benar jadi masyarakat
tersendiri. Mereka tidak lagi terganggu oleh hasrat kembali ke
Tiongkok. Juga mereka tak bergaul dengan pendatang baru. Orang
Tionphoa -peranakan memperkembangkan gaya dan kebudayaan
sendiri, suatu kebudayaan campuran Cina-Jawa-Belanda.
Sejak itu juga terdapat elite keluarga peranakan Tionghoa.
Mereka terbentuk umumnya dari keturunan nakhoda atau usahawan
kaya lain. Dari elite peranakan inilah selanjutnya diangkat
opsir Cina, suatu kedudukan yang sedikit banyak jadi
turun-temurun.
Adapun salah suatu sumber keuangan yang penting sejak zaman VOC
sampai ke pemerintahan Hindia Belanda adalah sistim pacht. Pacht
adalah suatu sistim di mana monopoli atau hak pajak penguasa
politik, Belanda maupun Jawa, dijual pada para pedagang (orang
Tionghoa) dalam lelangan umum. Dengan demikian penarikan pajak,
bea-cukai, penjualan candu penggadaian, pengangkutan,
penyeberangan melalui sungai, pengambilan sarang burung, pajak
pasar, pembuatan garam dan lain-lain, yang dianggap monopoli
pemerintah, dijual untuk satu tahun atau lebih pada
pedagang-pedagang Tionghoa dan dilaksanakan oleh mereka.
Pacht Candu
Sampai pertengahan abad ke-19 pemerintah Hindia Belanda masih
menjual monopoli itu pada orang Tionghoa, sementara penarikan
pajak dan bea cukai sudah diambil alih oleh Hindia Belanda
sendiri sejak 1830. Setelah kira-kira 1850, hanya ada dua pacht
penting di tangan golongan Tionghoa. Yakni pacht candu dan pacht
gadai. Ini berlangsung sampai permulaan abad ke-20.
Pacht itu bukan saja sumber keuangan yang penting bagi
pemerintah, tapi juga merupakan sumber kekayaan bagi golongan
peranakan Tionghoa. Tapi jumlah mereka yang mendapat hanya
sedikit, sementara kaum peranakan lainnya dibatasi. Misalnya,
sejak pertengahan abad ke-18 Belanda mengadakan restriksi bagi
gerak-bebas orang Tionghoa di Jawa. Tempat tinggal mereka harus
dalam kampung Cina di kota-kota, dan harus ada izin perjalanan
bagi mereka. Peraturan ini diperketat dalam abad ke-19.
Sementara itu para pemegang pacht dan agen mereka bebas dari
peraturan ini, sebab mereka menjalankan kepentingan pemerintah.
Kesempatan ini dipakai oleh para pemegang pacht untuk berdagang,
menjual barang impor ke desa dan membeli hasil-hasil dari desa.
Juga untuk memberi hutang dengan bunga yang tinggi. Dengan
singkat para pemeani Pacht jadi usahawan penting di kalangan
orang Tionghoa.
Para opsir dapat memperoleh pacht dengan harga lebin murah
daripada pedagang lain umpamanya. Karena kedudukan opsir ini
secara turun-temurun di tangan hanya beberapa keluarga, sumber
kekayaan terpenting pun berada di tangan sekelompok kaum
peranakan. Dan jadilah keluarga opsir ini penimbun modal, para
kapitalis dan selain itu "pelindung (patron) yang besar di
kalangan masyarakat Tionghoa.
Untuk mengawetkan modal besar ini para keluarga opsir sering
mempraktekkan sistim warisan pada hanya anak lelaki dan tidak
mewariskan apa-apa pada anak perempuan, sebab mereka dianggap
akan membawa ke luar kebudayaan keluarga. Anak perempuan sering
hanya diberi mas-kawin saja atau peninggalan tertentu. Selain
itu sebanyak mungkin perkawinan keluarga opsir diadakan di
antara mereka sendiri.
Sampai sekarang usaha khas kalangan WNI adalah usaha keluarga.
Orang luar, meskipun orang WNI, tidak bisa jadi orang penting
dari usaha tersebut, betapapun bakatnya. Kecuali kalau dia
mengawini anak-perempuan keluarga itu. Dan ini sering agak
sukar.
Keluarga-keluarga opsir ini tidak saja menanamkan uang mereka ke
dalam pacht atau perdagangan, tetapi juga dalam perkebunan,
pabrik gula, penggilingan beras dan lain-lain. Usaha lain ini
terutama berkembang sejak dihapuskannya sistim pacht sekitar
awal 1900-an. Bersama itu juga lambat laun dihapuskan restriksi
terhadap gerak bebas golongan Tionghoa.
Walhasil, penimbunan modal di tangan beberapa keluarga opsir ini
juga menguntungkan dan menimbulkan aktivitas ekonomi besar di
masyarakat Tionghoa pada umumnya. Para keluarga opsir menanamkan
modalnya di kampung Cina dan mendorong aktivitas ekonomi di
dalamnya sebelum acara resmi kampung-kampung Cina itu dibebaskan
dari restriksi-restriksi.
Tak Sedikit Yang Miskin
Tentu saja orang-orang kaya Tionghoa mencari jaminan yang sama
dari kalangan mereka sendiri. Dengan singkat struktur masyarakat
masyarakat kapitalis terbentuk dikalangan mereka. Dari sinilah
kini timbul julukan "ekonomi kuat" bagi mereka, biarpun tidak
semua mereka memiliki modal, bahkan tak sedikit yang miskin.
Keluarga kaya juga bisa jadi kurang punya dalam proses waktu.
Banyak keluarga opsir Cina misalnya jatuh sejak pertengahan
pertama abad ke-20. Diambilnya penjualan candu dan gadai oleh
Hindia Belanda menghilangkan sumber penghasilan utama mereka.
Betul bahwa kekayaan mereka disalurkan ke bidang lain, tetapi
krisis ekonomi tahun 1923 dan khususnya 1929 mengakibatkan
kerugian besar. Banyak pabrik gula dan usaha lain keluarga kaya
Tionghoa bangkrut.
Pukulan lain terhadap orang kaya lama ini datang dari zaman
pendudukan Jepang, revolusi dan zaman sesudahnya. Tapi zaman
penuh kegoncangan ini juga menciptakan golongan orang kaya baru
yang menggantikan kedudukan orang kaya lama. Dengan singkat
struktur usaha kapitalis yang diciptakan dalam abad yang lampau,
khususnya abad ke-19, tetap berlaku sampai sekarang. Hak milik,
warisan, kepercayaan dagang yang menyebabkan mobilitas modal
masih tetap ada. Pemiliknya bisa berganti, tetapi struktur
tetap.
Para Priyayi
Ada baiknya mungkin untuk membandingkan perkembangan di atas
dengan yang terjadi di masyarakat Jawa. Elite Jawa, yaknl para
priyayi, kehilangan tanah mereka, diganti dengan gaji iari
pemerintah Hindia Belanda. Artinya para priyayi tidak dapat
memakai kesempatan ekonomis yang terbuka waktu perkebunan dan
harga tanah meningkat, dengan makin padatnya penduduk.
Tanah memang sejak dahulu di Jawa secara teoretis dimiliki Raja.
Hindia Belanda sebagai pengganti raja Jawa lalu menyatakan bahwa
negara kolonial jadi pemilik tanah tunggal. Ini dilaksanakan
pada tingkat desa dalam lembaga bahwa tanah adalah milik desa
dan bukan pribadi.
Dengan demikian kepastian milik dan hak atas sumber kekayaan
utama dari masyarakat agraris, yakni tanah, tidak ada dalam
masyarakat Jawa. Ini berarti tidak mungkin tumbuh kepercayaan
dagang dan, lebih penting lagi, mobilitas modal.
Dalam masyarakat Jawa, negara dan alat-alatnya tetap jadi pusat
untuk mengeksploitasi masyarakat - hukum adat dan bukan hukum
Eropa misalnya yang berlaku. Ketengan dan harmoni kerja menjadi
patokan dan bukan dinamika.
Minangkabau
Sukses dalam perdagangan yang sering dicapai oleh orang
Minangkabau atau tapanuli mungkin juga erat sekali hubungannya
dengan adanya kepastian warisan dan milik dalam masyarakat
tersebut, berhubung dengan struktur klan mereka. Itu berbeda
dengan masyarakat Jawa, di mana tidak ada sistim Klan yang
memastikan milik dan waris.
Tulisan ini tidak menganjurkan diperkembangkannya pranata
kapitalis bagi masyarakat Indonesia. Sebab perkembangan
masyarakat kita baik ke arah kapitalisme ataupun sosialisme
tergantung dari arus di masyarakat sendiri. Tulisan ini hanya
menyinggung persoalan masyarakat majemuk (beraneka-ragam) yang
jadi ciri masyarakat Indonesia, sebagai akibat dari pada
perbedaan struktur hukum dan pranata berbagai golongan penduduk,
Persoalan Indonesia kemudian ialah bagaimana memecahkan
persoalan di mana seakan ada golongan tertentu di dalam
masyarakat yang memiliki fasilitas lebih baik dari pada
golongan-golongan yang lain.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini