Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Terbentuknya Kapitalisme Di ...

Terbentuknya usahawan kaya di kalangan wni keturunan tionghoa berawal sejak adanya voc. yang kemudian dikembangkan menjadi golongan pedagang. golongan tionghoa juga mendapat hak monopoli.

18 Februari 1978 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SERING dikatakan bahwa sukses orang Tionghoa di Indonesia, para WNI keturunan Tionghoa sekarang, disebabkan karena kerja keras dan hidup hemat mereka. Lalu diberikan contoh bagaimana seorang emigran Tionghoa miskin, dengan membanting tulang dan mengikat erat pinggang menjadi jutawan yang mewariskan kekayaannya sampai keturunan ketujuh. Memang ada karier demikian. Namun bukan kerja-keras dan hidup hemat yang jadi dasar sukses itu. Itu hanya mitos dari lakon sukses yang diperalat oleh golongan usahawan untuk membujuk orang-orang lain kerja-keras dan hidup hemat. Sebab kalau benar bahwa kerja-keras dan hidup hemat akan dapat menimbulkan kapitalis, maka dari kalangan petani yang bekerja secara lebih keras dan hidup lebih hemat daripada usahawan kota, terang akan timbul banyak jutawan. Namun sayangnya ini tidak terjadi. Apa sebenarnya yang memungkinkan timbulnya usahawan kaya di kalangan WNI? Tulisan ini akan meninjau timbulnya kapitalisme ini dari pranata yang berkembang, atau dikembangkan di kalangan orang Tionghoa khususnya di Jawa. Kondisi apa yang ada untuk menumbuhkan kapitalisme itu? Partnership VOC Fakta pertama yang menonjol mengenai kedudukan orang Tionghoa ini, sejak adanya Belanda (VOC) di Indonesia, adalah bahwa golongan itu dikembangkan sebagai golongan pedagang. Kedua bangsa asing, Belanda dan Cina, datang untuk usaha di Indonesia. Partnership antara keduanya sejak mula dibentuk. VOC umpamanya menuntut jurisdiksi atas orang Tionghoa di Jawa, biarpun mereka tinggal di daerah kerajaan Jawa. Artinya penguasa Belanda memberikan dukungan atas perkembangan pranata kapitalis di kalangan orang Tionghoa di Indonesia. Pranata itu erat sekali hubungannya dengan modal dan penciptaan kepercayaan dagang. Dalam permulaan aman VOC (awal abad ke-17) orang Tionghoa sebenarnya tetap merupakan bangsa asing bagi Belanda. Belanda tidak tahu apa-apa mengenai mereka. Yang kemudian dilakukan adalah mengangkat seorang pedagang Tionghoa yang terkaya di Batavia sebagai Kapitan Cina, artinya kepala golongan Tionghoa. Para kepala golongan Tionghoa ini disebut para Opsir. Sampai abad ke-19 mereka terdiri dari seorang Kapitan, beberapa letnan dan kepala-kampung (wijkmeesters). Dalam abad ke-19 pangkat opsir untuk kota besar ditambah dengan seorang mayor. Para opsir ini tidak ada hubungannya sama sekali dengan kemiliteran kecuali dalam hal gelar. Mereka adalah pedagang terkaya di kalangan Tionghoa-peranakan. Nakhoda Jung Pada permulaan abad ke-17 sampai pertengahan abad ke-18 para opsir Cina di Batavia biasanya diambil dari kalangan nakhoda kapal jung yang menetap di sana, sebab mereka pedagang terkaya. Para opsir ini berfungsi sebagai penjamin hutang yang diberikan oleh Belanda pada orang Tionghoa. Dengan demikian para opsir Cina ini sedikit banyak menentukan siapa di kalangan Tionghoa yang akan diberi porsekot dan pinjaman dagang. Kontrol mereka ekonomi dan khususnya perdagangan orang lionghoa pun besar sekali. Ini memperkuat kedudukan ekonomis dan politis mereka juga. Sejak sekitar pertenganan abad ke-18 masyarakat pranakan Tionghoa menstabilkan diri. Mereka benar-benar jadi masyarakat tersendiri. Mereka tidak lagi terganggu oleh hasrat kembali ke Tiongkok. Juga mereka tak bergaul dengan pendatang baru. Orang Tionphoa -peranakan memperkembangkan gaya dan kebudayaan sendiri, suatu kebudayaan campuran Cina-Jawa-Belanda. Sejak itu juga terdapat elite keluarga peranakan Tionghoa. Mereka terbentuk umumnya dari keturunan nakhoda atau usahawan kaya lain. Dari elite peranakan inilah selanjutnya diangkat opsir Cina, suatu kedudukan yang sedikit banyak jadi turun-temurun. Adapun salah suatu sumber keuangan yang penting sejak zaman VOC sampai ke pemerintahan Hindia Belanda adalah sistim pacht. Pacht adalah suatu sistim di mana monopoli atau hak pajak penguasa politik, Belanda maupun Jawa, dijual pada para pedagang (orang Tionghoa) dalam lelangan umum. Dengan demikian penarikan pajak, bea-cukai, penjualan candu penggadaian, pengangkutan, penyeberangan melalui sungai, pengambilan sarang burung, pajak pasar, pembuatan garam dan lain-lain, yang dianggap monopoli pemerintah, dijual untuk satu tahun atau lebih pada pedagang-pedagang Tionghoa dan dilaksanakan oleh mereka. Pacht Candu Sampai pertengahan abad ke-19 pemerintah Hindia Belanda masih menjual monopoli itu pada orang Tionghoa, sementara penarikan pajak dan bea cukai sudah diambil alih oleh Hindia Belanda sendiri sejak 1830. Setelah kira-kira 1850, hanya ada dua pacht penting di tangan golongan Tionghoa. Yakni pacht candu dan pacht gadai. Ini berlangsung sampai permulaan abad ke-20. Pacht itu bukan saja sumber keuangan yang penting bagi pemerintah, tapi juga merupakan sumber kekayaan bagi golongan peranakan Tionghoa. Tapi jumlah mereka yang mendapat hanya sedikit, sementara kaum peranakan lainnya dibatasi. Misalnya, sejak pertengahan abad ke-18 Belanda mengadakan restriksi bagi gerak-bebas orang Tionghoa di Jawa. Tempat tinggal mereka harus dalam kampung Cina di kota-kota, dan harus ada izin perjalanan bagi mereka. Peraturan ini diperketat dalam abad ke-19. Sementara itu para pemegang pacht dan agen mereka bebas dari peraturan ini, sebab mereka menjalankan kepentingan pemerintah. Kesempatan ini dipakai oleh para pemegang pacht untuk berdagang, menjual barang impor ke desa dan membeli hasil-hasil dari desa. Juga untuk memberi hutang dengan bunga yang tinggi. Dengan singkat para pemeani Pacht jadi usahawan penting di kalangan orang Tionghoa. Para opsir dapat memperoleh pacht dengan harga lebin murah daripada pedagang lain umpamanya. Karena kedudukan opsir ini secara turun-temurun di tangan hanya beberapa keluarga, sumber kekayaan terpenting pun berada di tangan sekelompok kaum peranakan. Dan jadilah keluarga opsir ini penimbun modal, para kapitalis dan selain itu "pelindung (patron) yang besar di kalangan masyarakat Tionghoa. Untuk mengawetkan modal besar ini para keluarga opsir sering mempraktekkan sistim warisan pada hanya anak lelaki dan tidak mewariskan apa-apa pada anak perempuan, sebab mereka dianggap akan membawa ke luar kebudayaan keluarga. Anak perempuan sering hanya diberi mas-kawin saja atau peninggalan tertentu. Selain itu sebanyak mungkin perkawinan keluarga opsir diadakan di antara mereka sendiri. Sampai sekarang usaha khas kalangan WNI adalah usaha keluarga. Orang luar, meskipun orang WNI, tidak bisa jadi orang penting dari usaha tersebut, betapapun bakatnya. Kecuali kalau dia mengawini anak-perempuan keluarga itu. Dan ini sering agak sukar. Keluarga-keluarga opsir ini tidak saja menanamkan uang mereka ke dalam pacht atau perdagangan, tetapi juga dalam perkebunan, pabrik gula, penggilingan beras dan lain-lain. Usaha lain ini terutama berkembang sejak dihapuskannya sistim pacht sekitar awal 1900-an. Bersama itu juga lambat laun dihapuskan restriksi terhadap gerak bebas golongan Tionghoa. Walhasil, penimbunan modal di tangan beberapa keluarga opsir ini juga menguntungkan dan menimbulkan aktivitas ekonomi besar di masyarakat Tionghoa pada umumnya. Para keluarga opsir menanamkan modalnya di kampung Cina dan mendorong aktivitas ekonomi di dalamnya sebelum acara resmi kampung-kampung Cina itu dibebaskan dari restriksi-restriksi. Tak Sedikit Yang Miskin Tentu saja orang-orang kaya Tionghoa mencari jaminan yang sama dari kalangan mereka sendiri. Dengan singkat struktur masyarakat masyarakat kapitalis terbentuk dikalangan mereka. Dari sinilah kini timbul julukan "ekonomi kuat" bagi mereka, biarpun tidak semua mereka memiliki modal, bahkan tak sedikit yang miskin. Keluarga kaya juga bisa jadi kurang punya dalam proses waktu. Banyak keluarga opsir Cina misalnya jatuh sejak pertengahan pertama abad ke-20. Diambilnya penjualan candu dan gadai oleh Hindia Belanda menghilangkan sumber penghasilan utama mereka. Betul bahwa kekayaan mereka disalurkan ke bidang lain, tetapi krisis ekonomi tahun 1923 dan khususnya 1929 mengakibatkan kerugian besar. Banyak pabrik gula dan usaha lain keluarga kaya Tionghoa bangkrut. Pukulan lain terhadap orang kaya lama ini datang dari zaman pendudukan Jepang, revolusi dan zaman sesudahnya. Tapi zaman penuh kegoncangan ini juga menciptakan golongan orang kaya baru yang menggantikan kedudukan orang kaya lama. Dengan singkat struktur usaha kapitalis yang diciptakan dalam abad yang lampau, khususnya abad ke-19, tetap berlaku sampai sekarang. Hak milik, warisan, kepercayaan dagang yang menyebabkan mobilitas modal masih tetap ada. Pemiliknya bisa berganti, tetapi struktur tetap. Para Priyayi Ada baiknya mungkin untuk membandingkan perkembangan di atas dengan yang terjadi di masyarakat Jawa. Elite Jawa, yaknl para priyayi, kehilangan tanah mereka, diganti dengan gaji iari pemerintah Hindia Belanda. Artinya para priyayi tidak dapat memakai kesempatan ekonomis yang terbuka waktu perkebunan dan harga tanah meningkat, dengan makin padatnya penduduk. Tanah memang sejak dahulu di Jawa secara teoretis dimiliki Raja. Hindia Belanda sebagai pengganti raja Jawa lalu menyatakan bahwa negara kolonial jadi pemilik tanah tunggal. Ini dilaksanakan pada tingkat desa dalam lembaga bahwa tanah adalah milik desa dan bukan pribadi. Dengan demikian kepastian milik dan hak atas sumber kekayaan utama dari masyarakat agraris, yakni tanah, tidak ada dalam masyarakat Jawa. Ini berarti tidak mungkin tumbuh kepercayaan dagang dan, lebih penting lagi, mobilitas modal. Dalam masyarakat Jawa, negara dan alat-alatnya tetap jadi pusat untuk mengeksploitasi masyarakat - hukum adat dan bukan hukum Eropa misalnya yang berlaku. Ketengan dan harmoni kerja menjadi patokan dan bukan dinamika. Minangkabau Sukses dalam perdagangan yang sering dicapai oleh orang Minangkabau atau tapanuli mungkin juga erat sekali hubungannya dengan adanya kepastian warisan dan milik dalam masyarakat tersebut, berhubung dengan struktur klan mereka. Itu berbeda dengan masyarakat Jawa, di mana tidak ada sistim Klan yang memastikan milik dan waris. Tulisan ini tidak menganjurkan diperkembangkannya pranata kapitalis bagi masyarakat Indonesia. Sebab perkembangan masyarakat kita baik ke arah kapitalisme ataupun sosialisme tergantung dari arus di masyarakat sendiri. Tulisan ini hanya menyinggung persoalan masyarakat majemuk (beraneka-ragam) yang jadi ciri masyarakat Indonesia, sebagai akibat dari pada perbedaan struktur hukum dan pranata berbagai golongan penduduk, Persoalan Indonesia kemudian ialah bagaimana memecahkan persoalan di mana seakan ada golongan tertentu di dalam masyarakat yang memiliki fasilitas lebih baik dari pada golongan-golongan yang lain.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus