Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Dari Imlek Yang Sepi Ke Mana Lagi ? Masalah Non-Pri

Pembauran pribumi tidak keturunan cina belum berhasil karena adanya keengganan & diskriminasi. pembauran di belanda thn 50-an ketika chung hua hui (chh) melebur dalam persatuan pelajar indonesia (ppi). (nas)

18 Februari 1978 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KELENTENG-KELENTENG sejak Minggu malam 5 Pebruari sudah dibanjiri masyarakat yang beragama Kong Hu Cu dan Buddha. Sementara itu di depan meja abu leluhur di rumah masing-masing, setiap keluarga membakar hio (lidi dupa) sambil mengucapkan syukur atas rezeki yang telah dilimpahkan Thian, dewa langit pencipta bumi, selama tahun silam. Sekalian mohon hokki (rezeki) dan peng an (keselamatan) untuk tahun mendatang. Di Jakarta, sepanjang jalan menuju rumah ibadah Wihara Dharma Bhakti milik tiga agama Tri Dharma (Kong Hu Cu, Taoisme, dan Buddhisme) di malam tahun baru itu pun penuh mobil, motor dan becak. Engko-engko dan enci-enci dengan pakaian yang masih berbau toko antri untuk masuk kelenteng di Petak Sembilan, Jakarta Kota. Setelah membeli sebungkal hio serta lilin merah mereka berdoa di muka patung Dewi Kwan Im (dewi welas asih), Jenderal Kwan Te Kun yang jujur, Dewa Hok Tek Tjeng Sin (dewa kesuburan) dan Dewa Hian Tan Kong (dewa pengobatan). Kebanyakan pengunjung kelenteng basah matanya. Asap dupa yang mengepul-ngepul memang memedihkan. Beberapa bahan makanan yang biasanya digunakan dalam sembahyangan Shincia, juga tercatat naik harga di Jakarta. Para penjual blmga, buah-buahan dan kue juga panen. Setangkai sedap malam harganya naik 5 x lipat. Seaang kue keranjang--yang hanya muncul pada waktu Shincia--tahun ini harganya sampai Rp 650 sekilo. Namun sementara itu, penduduk Jakarta yang hari Senin dan Selasa itu mau ke pasar justru jadi kapiran. Toko-toko yang biasanya berdagang tanpa mengenal hari libur awal minggu lalu tutup. Di Pusat perdagangan lodok dan Senen, Jakarta, suasana sepi seperti tanpa manusia. Seperti halnya Jakarta, Medan, yang punya masyarakat keturunan Cina lebih dari 200 ribu (dri 1,2 juta penduduk) juga senyap. "Pribumi" yang buka toko boleh dihitung dengan jari. Ada beberapa bank milik "non-pribumi" yang buka, tapi kerjanya aplusan. Bahkan ikan asin pun nyaris tak ada yang menjualnya. Toh abang-abang becak tak begitu beruntung, sebab banyak yang berimlek ke Parapat di tepi Danau Toba, atau tempat-tempat peristirahatan lainnya. PERAYAAN Imlek di Medan sendiri tak menyolok, sebab, barongsay dan liong tak lagi diarak keliling kota. Tapi ada satu panitia yang tak kalah akal. Dengan biaya Rp 8 juta, mereka mendatangkan penari barong dari Bali. Hanya dalam iklan mereka sebutkan "barong berikut barongsay." Sampai akhir minggu lalu, rombongan barong Bali itu sudah keliling beberapa tempat di Sumatera iJtara. Termasuk beberapa malam main di Medan. Barongsay (singa Cina) dan liong (naga) itu memang sudah lama dilarang dipertunjukkan di Medan karena dianggap "tak berkepribadian Indonesia." Begitu pula di Cirebon. Sejak meletusnya G-30-S/PKI, hari raya Imlek alias Shincia yang menandai mulainya musim seni di Tiongkok maupun hari raya Cap Go Meh (15 hari sesudah Shincia) dilarang diramaikan dengan barongsy dan liong, maupun arak-arakan toa pekong (patung-patung di kelenteng). Namun walaupun diizinkan, masyarakat keturunan Cina di sana memilih suasana sederhana saja. Kata seorang sesepuh Kong Hu Cu Cirebon, Suryanatadiredja: "Situasi tahun ini kurang menguntungkan bagi perayaan semacam itu. Sedapat mungkin menjelang sidang umum MPR, suasananya harus stabil." Selain itu, dia berpendapat "situasi Cirebon berbeda dengan kota-kota lain." Menurut kepercayaan masyarakat Cirebon, sebagai pusat pengembangan agama Islam--setidak-tidaknya bagi Jawa Barat--kota Cirebon dianggap merupakan "puser"nya bumi. Jadi "kalau puser (pusat) ini merasa sakit, seluruh anggota tubuh akan sakit," ujar Surya. Sebagai ontoh disebutnya bentroka antara pemuda pribumi dengan keturunan Cina di Cirebon, 7 Maret 1963 "yang meluas hampir ke seluruh Indonesia." Di Pontianak, suasana Imlek jauh lebih terasa. Sejak subuh 7 Pebruari, jantung kota Pontianak tiba-tiba berhenti berdenyut. Meskipun hari itu perana non-pribumi tiba-tiba diambil oper oleh pedagang pribumi, masyarakat agak dengan membeli dari "tauke" pribumi. Soalnya, mereka main genjot harga. Cabe yang sebelum Imlek cuma Rp 700, 5 hari sebelum Imlek sudah naik 2 x lipat. Makanya beberapa toko di tempat ia yang ikut buka di hari kedua dan ketiga hanya menguakkan pintunya selebar dua jari tangan. "Tak sampai hati mendengar langganan mengetok pintu terus-menerus," kata seorang di antaranya. Berarti formilnya, toko masih tetap tutup guna menghormati datangnya musim semi (di Tiongkok, tentunya). Shincia di Semarang terasa paling sepi tahun ini. Pasar malam Imlek yang sudah tradisi di Gang Baru, hanya dibanjiri orang-orang tua yang membeli benda sesaji sembahyangan. Tak ada pertunjukan liang-liong. "Larangannya memang belum dicabut," kata I. Soeparjo Kepala Kantor P & K Semarang. Meskipun harus dicatat, bahwa Juli 1977 pernah berlangsung festival liang-liong se Jawa di depan kelenteng Gedung Batu-kabarnya dengan izin langsung dari Jakarta. Sekolah-sekolah Katolik yang banyak siswa peranakan Cina, tak ada yang libur. Kata Buntoro, seorang pengusaha Tionghoa yang punya nama di sana kepada Hamid S. Darminto dari TEMPO: "Tak ada undangan makan-makan buat saya. Saya pun tak mengundang para sejawat seperti Shincia tahun-tahun lalu." Sejumlah tokoh peranakan lainnya yang dihubungi, umumnya menyatakan "scdang prihatin". Prihatin apa? Suasana ekonomi? Atau politik? Rata-rata menjawab: "prihatin suasana politik". ,da semacam was-was menyelubungi mereka. Apakah semua itu tanda, bahwa usaha pembauran antara "pribumi" dengan masyarakat keturunan Cina belum seluruhnya berhasil? Mungkin itu pula sebabnya, sejak sebelum Pemilu 1977 kabarnya sudah terkandung niat di kalangan pemerintah menghidupkan kembali gerakan asimilasi, yang agak melempem setelah Orde Baru. Toh rencana itu -- yang jadi tugas Departemen Dalam Negeri--baru dapat diwujudkan, setelah Pemilu usai. Bertempat di Hotel Sahid Jaya, Jakarta, minggu ketiga Juli 1977 Dirjen Sospol Depdagri mengundang para tokoh keturunan Cina dari 26 propinsi untuk berdialog dengan tokoh-tokoh pribumi dalam Pekan Komunikasi Penghayatan Kesatuan Bangsa. GAYUNG bersambut, kata berù jawab. Di Jakarta, ide asimilasi itu sudah lama tetap membara dalam para tokoh peranakan Cina eks-LPKB, ditambah sejumlah cendekiawan pribumi yang tergabung dalam Badan Pembina Kesatuan Bangsa-DKI. Para tokoh swasta itu terus mengejar gagasan pemerintah itu, sehingga terbentuklah Badan Komunikasi Penghayatan Kesatuan Bangsa (Bakom-PKB) yang berlingkup nasional, dengan ketua drs K. Sindhunatha, veteran LPKB (lihat: Gong Kedua Telah Berbunyi). Apa yang merisaukan para veteran LPKB ini bukan cuma keengganan sebagian masyarakat keturunan Cina larut dalam kehidupan masyarakat pribumi. Tapi juga, seperti dikeluhkan seorang anggota pengurus Bakom-PKB kepada TEMPO: "diskriminasi masih berjalan terhadap golongan minoritas ini, walaupun mereka sudah lama menjadi warganegara Indonesia sekalipun." Di bidang perbankan misalnya, non-pribumi kabarnya paling top dapat menjabat posisi Direktur Muda di bank-bank pemerintah. Akibatnya, banyak yang lari ke bank swasta asing dan nasional. Di bidang pendidikan, mahasiswa pribumi dikenakan semacam "jatah", sehingga mereka lari ke perguruan tinggi swasta. Itu semua mengurangi ide pembauran. Di bidang ekonomi, khususnya yang menyangkut perkreditan, tak ada policy yang tegas. Kadang-kadang digunakan istilah ekonomi kuat versus ekonomi lemah, kadang-kadang "pribumi dan nonpribumi." Sementara kalangan "nonpribumi," biasanya otomatis dimasukkan dalam kotak "ekonomi kuat." Alasan "diskriminasi" itu tentu ada. Posisi ekonomi kaangan keturunan Cina sudah kuat sejak abad-abad yang lalu (lihat: halaman 10). Meskipun tak semua keturunan Cina punya kesempatan itu tapi posisi "pribumi" perlu diperbaiki. Tentu saja harus dicatat bahwa "diskriminasi" itu bisa berlanjut terlalu jauh. Pernah dalam sidang perampokan di jalan Kereta Api, Medan, terjadi perdebatan yang sengit dalam ruang pengadilan gara-gara sebutan "Cina". Korban perampokan, Paulus Marjuni Cukrono wartawan koran Analisa di Medan, sampai naik pitam dan berteriak: "Saya bukan Cina. Saya orang Indonesia. Saya besar di sini, makan juga di sini." Protes Paulus timbul, karena sebelumnya hakim bertanya kepada si perampok: "Kenapa kau rampok dia?" Dijawab oleh siperampok: "Karena dia Cina." Di Medan memang prasangka ras terhadap golongan Cina menonjol sekali. Mungkin lebih dari keadaan di Jawa atau di Sumatera Barat. Barangkali karena banyak yang lebih suka berbahasa Tionghoa daripada bahasa Indonesia. Sampai-sampai banyak orang pribumi bertanya-tanya: "Kenapa keturunan Tionghoa di Jawa bisa lebih lugas bergaul dan malah tak tahu berbahasa Tionghoa?" Kendati demikian, prasangka yang diawetkan melalui kecenderungan generalisasi itu memang sangat menghambat penyempitan jurang "pribumi-non-pribumi." Seperti dikemukakan dr KS Gani, rektor Atma Jaya Jakarta yang punya ibu Nias dan ayah Tionghoa: "Orang mungkin sudah lupa, bahwa Rudy Hartono atau peloncat indah Lanny Gumulya adalah keturunan Cina. Tapi kalau ada penyelundup yang namanya Cina, di bawah sadar pun orang kemudian akan menggeneralisir persoalan." Walhasil, tantangan yang dihadapi Bakom PKB begitu kompleks. Lantas apa sasaran yang paling dekat? Salah satu sasaran itu menurut drs Lo S.H. Ginting, sekretaris umum badan itu: "Mendesak Mendagri, yang merupakan pelindung kami, untuk menghapuskan kewajiban mengisi kolom 'keturunan' dalam formulir sensus penduduk bulan depan." Di Jakarta, formulir sensus penduduk yang tadinya sudah beredar, ada mencantumkan kolom 'WNA/WNI' itu. Namun setelah Ketua Bidang Kenegaraan & Hukum Bakom PKB, drs Ridwan Saidi bertemu dengan Gubernur untuk mnanyakan masalah itu, minggu lalu formulir itu dicabut dari peredaran. BOKS OEI TJOE TAT Bekas Menteri di Zaman Orde Lama dan tokoh Baperkini umurnya sudah 15 tahun. Meski lama ditahan di penjara Nirbaya (dia dibebaskan hampir berbarengan dengan Hariman, setelah melewati proses peradilan), wajahnya tetap kelihatan tegar dengan rambutnya yang ubanan. Tapi badannya nampak kurus ketika dijumpai oleh wartawan TEMPO minggu lalu. Oei Tjoe Tat lahir di Sala. Isterinya di Salatiga. Ibu-bapaknya juga kelahiran Sala. Malah "salah seorang nenek moyang saya puteri bupati Mageiang," kata Tjoe Tat. Itulah sebabnya dia tak enam merasa sebagai keturunan Cina. antas, kenapa tak ganti nama? "Apa sih artinya nama?", tanyanya kembali, meniru Shakespeare. Baginya, nama itu pemberian orang tua, habis perkara. "Yang penting jiwa patriotnya," katanya. Waktu diangkat Bung Karno menjadi Menteri, dia iseng-iseng tanya, apa perlu ganti nama. Jawab Bung Karno: "Buat apa? Salah satu sebab kamu saya pakai, justru karena tidak ganti nama." Pengetahuan Oei Tjoe Tat tentang bahasa Cina terbatas mengartikan namanya saja. Tjoe itu sendiri, Tapi artinya mencapai. Jadi "saya disuruh berdikari," katanya. Di Sala, ia memang besar dalam lingkungan Jawa. Ibunya yang buta huruf itu tiap malam Jumat kliwon selalu hanya memakai kemben, dengan rambut terurai. Lalu dengan tungku kecil berisi dupa, keliling rumah. Kalau Tjoe Tat sakit, ibunya menanggap wayang klitik di klenteng. "Apa ini bukan gado-gado?" katanya sambil ketawa. Ahli hukum itu tampaknya gembira sekali mengingat masa kecilnya. Mungkin memang gado-gado Jawa berbumbu Cina. Sebab pada waktu orangtuanya masih hidup. pada hari raya Imlek ia sowan kepada orangtuanya untuk soja. Setelah orangtuanya meninggal ia soja di depan potret ibubapanya di rumah kakaknya yang jadi dokter. "Tapi sekarang sudah tidak lagi. Hari Raya saya sekarang, ya Tahun Baru 1 Januari," katanya. Kawan anak-anaknya sendiri 90% pribumi. "Padahal saya tak pernah menyuruh mereka berbuat itu. Saya tak pernah peduli siapa kawan mereka," tuturnya. Tapi omong-omong, kenapa dulu masuk Baperki? Karena menurut keyakinan Tjoe Tat, "dengan Baperki itu pengindonesiaan orang Cina akan berhasil." Paling tidak, dia benar-benar merasakan itu pada tahun 1963. NAKIM "Owe sih pengin ngikut Shincia, tapi kalo nggak punya duit yah mau ape?" Itu komentar Nakim, 32 tahun, yang dulunya bernama Oei Tek Lim. Lahir Dari keluarga petani Tionghoa miskin di daerah Bekasi, umur 12 tahun sudah bekerja sebagai kernet kopelet milik salah seorang tetangganya. Ketika berumur 18 tahun, bekerja jadi centeng (penjaga malam) pada anemer Asnawi, di mana dia juga menumpang tinggal. "Rupanya Pak Asnawi ngeliat owe kerja bener, dikawinin ame anaknye yang bernama Enin," kata Nakim yang belum pernah merasakan pendidikan resmi, dengan logat Betawinya yang tebal. Menikah secara Islam, sekarang Enin yang baru 27 tahun itu telah punya lima anak. Yang terbesar 12 tahun. Kenapa tidak ikut KB? Sahut Nakim: "Bini owe takut. Kata orang kalo nggak cocok nanti sakit. Kalo sakit kan repot biaya lagi buat dokter." lumahnya berukuran 2 x 2 meter, disewa Rp 200 per bulan. Terbuat dari papan dan dibagi dua tingkat, bagian baah dijadikan dapur merangkap ruang tamu yang hanya bensi dua kurs panjang dari papan. Di bagian atas, suami isteri itu tidur dengan kelima anaknya. Letaknya di daerah Gunung Sahari XI. Tek Lim yang sekarang kerjanya jadi tukang cat, dulu pernah menarik becak. Kalau lagi ada kerja, sehari bisa dapat seribu perak. "Tapi kalau kayak sekarang, ya nganggur," kata Tek Lim. Menjelang Imlek, dia ketiban durian runtuh. Seorang dermawan yang baik hati meminjamkan uang Rp 10 ribu untuk modal dagang ayam goreng dan nasi uduk. "Malamnya nggak bisa tidur mikirin utang sebesar itu, gimana gantinya," kata Oei Tek Lim alias Nakim. Soalnya, setelah dibelikan kompor, petromaks dan beberapa peralatan lainnya, modalnya habis sehingga niat tersebut batal di tengah jalan. MULIA TAN Di kampungnya di Desa Gerendang Karawaci, Tangerang, dia dikenal dengan julukan "encek letnan." Dan memang, Mulia Tan alias Yohannes Fransiscus Tan Bun Tjao, 52 tahun seorang pumawirawan Kesatuan Angkutan Kodam VI/Siliwangi dengan pangkat terakhir Pembantu Letnan Satu (Peltu). Nrp: 248082. Dengan uang pensiun Rp 26 ribu sebulan dia menghidupi seorang isteri dengan 7 anaknya. Orangtua kakeknya berasal dari propinsi Hok-kian, Tiongkok Selatan, tetapi Tan lebih merasa Indonesia sebagai tanah airnya sendiri. "Habis, kita kan dilahirkan anak-beranak di sini," katanya. Kendati demikian, sebagai Tionghoa Peranakan dia masih memakai tatacara Cina seperti memuja abu leluhur. Ikut perayaan Shincia, Ceng Beng, Tang Ce. Tan pernah mendapat Satya Lencana Penegak Kemerdekaan tahun 1967. Tentang ganti nama, dia berpendapat: "Biar bagaimana kita disebut Cina juga. Mana bisa kita ganti kulit mata-mata sipit? Tapi bagi owe, soal ganti nama sih boleh aja. Yang penting hati orang yang bersangkutan." Dia juga sangat setuju pernikahan campuran. Asal suka sama suka. Tinggal di rumah beratap rumbia berlantai tanah dan berdinding bilik bambu, untuk menambah penghasilannya seminggu 2 x dia mengajar reparasi mobil di Tangerang. ABDUL KARIM Ketua PITI (Pembina Iman Tauhid Islam d/h Persatuan Islam Tionghoa Indonesia) ini, terlahir sebagai Oei Tjeng Hien. Asalnya dari Sumatera Barat, di mana dia lama berdakwah sebagai tokoh Muhammadiah. Menurut dia, "Islam dapat mempercepat proses asimilasi." Tapi repotnya, orang Tionghoa memandang Islam sebagai milik suatu bangsa dengan kebudayaan dan peradaban yang dipantulkannya. Sehingga pekerjaan mengislamkan orang Tionghoa tak gampang. Di zaman Jepang, dia pernah berhasil mendamaikan golongan pribumi dengan golongan keturunan Cina di Padang. Soalnya, dulunya Cina dimanjakan oleh Belanda di sana. Sehingga ada rasa kurang senang terhadap orang Cina. Datang Jepang, orang Cina digencet oleh musuhnya yang sama-sama kulit kuning. Nah, memasuki periode perebutan kemerdekaan, timbul bentrokan antara pribumi dan non-pribumi di sana. Toko-toko Cina dibakar dan dirampok. Untung Abdul Karim sendiri keturunan Cina, tapi tokoh Muhammadiah. Sehingga kedua golongan masyarakat yang sedang berseteru itu sama-sama punya rasa hormat terhadapnya. Menyinggung soal pengusaha Cina yang mendapat fasilitas berlebihan, dia menganggapnya lebih "soal kepribadian, soal watak seseorang." Pengusaha yang berdagang secara tak wajar itu, "jangankan Cina, yang non-Cina pun ada." Yang penting menurut dia, "kita harus sama-sama memperkecil jurang antara pri dan non-pri, agar tak membuat si pribumi tersinggung karena si non-pri mendapat uang secara tak wajar." Dia juga menyebutkan, bahwa ada Rp 60 juta dana yang terkumpul dari tokoh-tokoh semacam Liem Sioe Liong, Njoo Han Siang dan beberapa tokoh Cina lainnya, untuk membantu pribumi yang lemah. Dari tiga anaknya yang sudah kawin, dua di antaranya kawin dengan pribumi. Abdul Karim sendiri masuk ke Jakarta tahun 1952. Seperti juga dalam perubahan kepanjangan organisasi yang dipimpinnya, Abdul Karim memang lebih menyukai nama Indonesia daripada nama Cina, karena "identitas nasionalnya menjadi jelas." Dia sendiri menyebut dirinya, "orang Indonesia yang beragama Islam." TJIAM DJOE KIAM Tahun 1960, Tjiam Djoe Kiam adaah orang pertama yang mendapat surat kewarganegaraan Indonesia. Waktu itu, dia nyaris dilangkahi oleh Oyong P.K., wartawan yang sekarang jadi pe mimpin umum Kompas. Oyong P.K., minta kepada hakim agar ia diberi nomer 1. Tapi karena yang paling lengkap keterangannya adalah Tjiam, maka Tjiam-lah yang diberi nomer 1. Sedang Oyong mendapat nomer 3. Pengacara terkenal ini, agaknya anti ganti-nama. "Mengapa harus ganti nama? Toh itu hanya anjuran," katanya. Ganti nama, tak menjamin seorang keturunan menjadi warganera yang baik. Malah "banyak orang ganti nama cuma untuk melakukan kejahatan," kata Tjiam. Berdasarkan pengalamannya di pengadilan, ia sering melihat orang yang ganti nama hanya untuk melakukan kejahatan. Termasuk Robby Cahyadi yang pernah dibela Tjiam. Tjiam merasa masih ada diskriminasi tentang penyebutan "WNI". "Mengapa WNI keturunan Indonesia, Belanda atau asing lainnya tidak disebut? WNI selalu berarti keturunan Cina," ujarnya dengan jengkel. Dia juga punya seorang kemanakan yang gagal masuk UI. Padahal anak itu bintang pelajar dari Semarang. Kerikilnya hanyalah karena waktu itu (1960), setiap calon mahasiswa harus membawa kartu kewarganegaraannya yang menyebutkan nama Cina dan Indonesia. Dan si kemanakan itu rupanya tak lagi punya dua nama. Untunglah bernilai-nilai ujian akhir SMA-nya yang begitu menyolok, tanpa ditest kenalkan Tjiam itu berhasil masuk ITB. Bhkan dalam setahun langsung menjadi sekretaris profesor atom. Saya sih sudah tujuh turunan di Indonesia. Nggak tahu apa ada famili di RRT " tutur Tjiam. Leluhur Tjiam datang ke Indonesia, tutur Tjiam. Leluhur Tjiam datang ke Indonesia, mendarat di Lasem, Jawa Tengah. Langsung saja kawin dengan wanita Indonesia, karena di tahun 1700-an itu orang Cina yang datang ke Indonesia umumnya tak membawa isteri. SURYANATADIREJA "Kenapa asimilasi baru digembargemborican sekarang? Sejak nenek moyang saya, asimilasi sudah dijalankan. Dan bukan hanya terbatas pada perkawinan antara keturunan Tionghoa dengan ibumi." Yang bilang begini, orangnya sudah 74 tahun. Tampak awet muda berkat kemahirannya berolahraga kuntao, Suryanatadiredja (d/h Kho Sin Swan) adalah bekas "Lurah Cina" (Chineesche Wijkmeester) di Cirebon, antara 1948-1951. Sekarang dia sesepuh agama Kong Hu Cu di sana. Menurut Surya, asimilasi sudah dan masih tetap harus dijalankan di segala bidang. Suatu contoh, penduduk pribumi kini mengenal upacara tiga hari, tujuh malam, 40 hari dan seterusnya tatkala memperingati arwah yang baru meninggal. Konon itu asalnya dari tradisi Cina. Lalu. "anda kan kenal mi bakso, tahu, dan lain-lain Inasakan Tionghoa apa itu bukan asimilasi?" tanyanya kepada Aris Amiris dari TEMPO. Meski demikian Surya juga kurang menyenangi oknum-oknum pribumi yang menutup masuknya keturunan Cina dalam lingkungan mereka. Juga masih banyak keturunan Cina di negeri ini yang menganggap dirinya "superior", lebih tinggi dari pribumi. Menyangkut yang ganti narna, Surya mengecam keenganan menghilangkan nama she (marga). Seperti she Tan diteruskan menjadi Tanuwijaya. "Ini nggak benar," ujar Surya. Suryanatadireja sudah keturunan kelima sejak nenek moyangnya 300 tahun lalu menetap di Cirebon. "Saya bukan orang Cina tapi bangsa Indonesia asli. Nama Suryanatadireja adalah pemberian Raden Partasudjana tahun 1951, sebelum ada anjuran pemerintah untuk ganti nama," katanya. NYOO HAN SIANG Lahir dari ibu-bapak berdarah Cina asli di Yogya, 48 tahun silam, Nyoo Han Siang mendapatkan pendidikan dasar di sekolah Cina di Yogya pula. Tahun 1946, melanjutkan pelajaran di Amoy, Cina Selatan. Tapi hanya tiga tahun berada di daratan Tiongkok, Nyoo terpaksa angkat kaki karena Komunis merebut kekuasaan di negeri itu (1949). Hampir setahun mampir di Hongkong tahun 1950 dia kembali ke Indonesia. Karenakesulitan bahasa dan macam macam, Nyoo cuma dapat melanjutkan pelajaran di Akademi Wartawan pimpinan Parada Harahap. Setanun belajar jurnalistik, dia kemudian bekerja sebagai wartawan foto pada majalah Sunday Couner. Hanya dua tahun menjadi wartawan, dia kemudian pindah lagi bekerja di perusahaan perkapalan. Tak betah, ia kembali ke Semarang "menunggui" perusahaan kakaknya. Setelah itu ia mulai mapan sebagai pedagang hasil bumi, ternak. Bisnis bank mulai dimasukinya tahun 1968 setelan hijrah ke Jakarta, yakni dengan mengambil oper Bank Umum Nasional yang dulunya dipegang orang-orang PNI. Tapi Bunas yang dipimpinnya, tampaknya kalah bersaing dengan bank Tenglang (keturunan Cina) seperti Panin Bank serta bank asing dan bank pemerintah. Setiap Imlek, Nyoo selalu pulang berkumpul dengan keluarganya di Semarang. Meskipun menolak ganti nama, dia sangat setuju pembauran. Di Semarang, dia mempelopori pengalihan bekas sekolah Cina yang diduduki tentara menjadi sekolah umum di mana siswa pri dan non-pri dapat belajar bersama. Namun dalam soal pembauran itu, Nyoo masih menyayangkan ketidaktegasan pemerintah. "Kita sudah pegang paspor Indonesia, tapi segala macam dipersoalkan," katanya. Banyak anak yang sejak lahir sudah tak punya nama Cina, tapi di sekolah masih juga ditanyai nama aslinya sebelum ganti nama. "Kan repot?" tanya Nyoo. Anak-anak yang tadinya tak sadar lagi bahwa ia keturunan Cina, jadi bertanya-tanya kepada orangtuanya. "Dalam posisi terdesak seperti itu, anakanak itu akhirnya ingin tahu banyak mengenai orang Cina. Orangtuanya terpaksa mengajarkannya," tutur Nyoo. Nyoo juga membenarkan kesan umum, bahwa pengusaha Cina di sini selalu dekat dengan yang berkuasa. "Tapi harus dilihat sejarahnya," kata dia. Orang Cina yang datang ke mari kebanyakan berasal dari suku Hok-kian dan Kanton. Mereka lari dari negerinya karena mau dipaksa jadi tentara oleh para warlord. Mereka lari meninggalkan orangtua mereka di sana. Saking rindunya pada orangtua, di sini mereka selalu mencari orangtua angkat. "Dan pemerintah mereka anggap sebagai semacam orangtua angkat yang bisa memberikan perlindungan pada mereka," begitu argumentasi Nyoo.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus