Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Otonomi Paham Separatis

18 Desember 2006 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Indra J. Piliang

  • Analis Politik Centre for Strategic and International Studies dan Board of Advisor The Indonesian Institute

    Jakarta terperangah menyaksikan hasil pemilihan langsung kepala daerah di Provinsi Aceh. Tanpa diduga, pasangan calon independen dari Gerakan Aceh Merdeka (GAM) memenangi kursi gubernur-wakil gubernur, lalu sejumlah bupati-wakil bupati. Indikasi kemenangan itu diperlihatkan oleh quick count sejumlah lembaga tepercaya. Rapat kabinet terbatas digelar. Wakil Presiden, Panglima Tentara Nasional Indonesia, Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat, Ketua Dewan Perwakilan Rakyat, dan sejumlah politisi kawakan bersuara.

    Aceh adalah negeri yang terletak di sisi paling barat Indonesia. Namun, negeri itu sangatlah sulit ditembus oleh batas-batas pembaratan, sebagaimana Nusa Jawa. Ia bertahan lama dari serbuan peluru dan mesiu. Usai seratus tahun tunduk kepada marsose Belanda yang membunuh anak-anak dan kaum perempuan di meunasah-meunasah, lanun tsunami menggulung pantai-pantai indahnya.

    Dunia pun menangis. Tangan jutaan orang terulur. Hikayat perang Aceh yang ditutup-tutupi, tentang sejumlah manusia yang hendak membebaskan diri dari Republik Indonesia, menyembul. Para pencinta perdamaian meneriakkan perlunya penghentian perang. Pelan, namun pasti, suara itu disambut oleh petinggi GAM dan pemerintah RI.

    Dokumen-dokumen lama dibuka. Helai baru dijumput hati-hati. Senjata-senjata digergaji, peluru disimpan di laci. Pena dan kata-kata, sebagai simbol penting peradaban manusia, menari-nari dalam rangkaian panjang negosiasi. Dalam lembaran-lembaran itu tertulis lagi cita-cita, harga diri, kompensasi, dan kompromi matang di bidang ekonomi, politik, budaya, dan otonomi. Seperti Aceh yang teralienasi dari alam pikiran bangsa Indonesia sejak dulu, dokumen itu pun ditulis jauh di Finlandia, Helsinki.

    Orang-orang pun lalu sibuk menindaklanjuti isi dokumen. Undang-Undang No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh digagas dan disahkan. Mesiu dan peluru diganti kertas suara dan foto diri. Aceh menggelar pilkada pada 11 Desember 2006. Dunia menjadi saksi keberhasilan pilkada itu, baik dari keamanan pelaksanaan, jumlah pemilih yang signifikan, maupun angin perubahan yang diembuskan.

    ”Kami memilih Irwandi Yusuf dan Muhammad Nazar,” kata hampir 40 persen pemilih. Angka itu lebih dari cukup, tiga sampai empat kali lipat dari pasangan calon yang lain.

    Inilah suara rakyat Aceh, dari hati dan nurani anak-anak negeri yang selamat dari kekerasan dan tsunami. Suara itu menitipkan pesan: Aceh layak diurus oleh mereka yang berkeringat, berkeyakinan, dan berkorban. Apa rakyat menjadi massa yang ideologis dan fanatis? Belum tentu. Masyarakat yang kecewa, memprotes pada pemerintah dan politisi, lalu memberikan suaranya (protest votes), akan menjadikan protes itu sebagai pukulan balik apabila pemerintahan tidak becus dan salah urus.

    Kehadiran calon independen yang dimenangkan oleh rakyat layak membuka mata politisi mana pun. Era partai politik nasional barangkali di tubir jurang, ketika rakyat mengirimkan mosi tidak percaya dengan tidak memilih pasangan kandidat pilihan partai.

    Pesan tunggal itu menandakan betapa kinerja politisi dari partai-partai nasional begitu lemah di Aceh. Juga di Indonesia. Betapa tidak, kian banyak pemilih tidak datang ke kotak suara pada hari pencoblosan dalam pilkada. Di Banten, misalnya, pemegang hak pilih yang tidak menggunakan hak pilihnya mencapai angka 40 persen.

    Dari mana Irwandi-Nazar mendapat kekuatannya? Kalau diperhatikan, jaringan GAM masih tetap aktif, terutama di daerah-daerah rural. Sedangkan di daerah perkotaan, aktivis muda dari Sentral Informasi Referendum Aceh (SIRA) memiliki pengaruh. Tiga dekade menguasai daerah pedalaman bagi GAM dan sewindu membangun jaringan perkotaan bagi SIRA, termasuk hubungan dengan luar Aceh, adalah tahun-tahun yang penuh perjuangan. Kini, mereka memetik hasilnya.

    Bagi Irwandi-Nazar, bukan berarti bisa tertidur pulas. Mereka, walau belum resmi, adalah pemerintah dalam sebuah daerah paling otonom di Indonesia. Keduanya bukan lagi juru bicara pemberontak atau vokalis pembangkang sosial. Pemerintahan apa pun membutuhkan rust en orde. Mereka dituntut untuk pintar membagi dan mengalikan, bukan hanya mengurangi, angka-angka dalam anggaran publik.

    Tanpa kecakapan dan kedisiplinan, mustahil amanah bisa dipertahankan. Kegagalan Nur Misuari di Filipina Selatan memperlihatkan tidak mudahnya mengendalikan daerah otonom. Tidak juga mudah membangun kerja sama seperti dialami oleh Xanana Gusmao, Ramos Horta, dan Mari Al Katiri di Timor Leste yang memilih merdeka dari Indonesia. Para pemegang toa dan pemompa propaganda, sebagaimana Soekarno dan Sutan Syahrir, belum tentu mampu mengendalikan pemerintahan. Onak dan duri dalam perjalanan pemerintahan nanti sulit dihadapi dengan sekadar puisi dan nyali.

    l l l

    Dari semua rezim yang pernah berkuasa, Susilo Bambang Yudhoyono dan Jusuf Kalla paling membedakan kewenangan pemerintah pusat dengan pemerintah daerah. Hal ini terlihat dari pidato-pidato keduanya, secara resmi dalam forum DPR RI dan DPD RI, maupun dalam sejumlah seminar dan diskusi. Staf khusus presiden dan deputi bidang politik wakil presiden juga diisi oleh tokoh-tokoh kompeten di bidang otonomi, seperti Andi Alfian Mallarangeng dan Johermansyah Johan.

    Perhatian kepada Aceh—dan Papua—menjadi pijakan dalam pelaksanaan otonomi itu. Politik lokal menjadi penting, sementara pusat mengelola residu urusan pemerintahan, yakni di bidang pertahanan, keamanan, politik luar negeri, fiskal dan moneter nasional, yustisi dan agama. Bahkan urusan agama pun untuk Aceh diberikan, yakni pelaksanaan syariat Islam bagi penduduk muslim. Sementara masyarakat asli Papua dari ras Melanesia begitu dilindungi.

    Tantangan pemerintahan Irwandi-Nazar terletak pada pelaksanaan otonomi ini. Aktivis GAM dikenal sebagai kumpulan orang yang terbiasa berbicara menyangkut pemisahan diri sebagai sebuah negara. SIRA mendorong pilihan itu dengan memberi ruang otonomi. Dari segi ideologi, GAM dan SIRA termasuk sekuler. Pemberlakuan syariat Islam di Aceh adalah produk dari partai-partai politik nasional yang menang dalam pemilu semu 1999 dan 2004. Kenapa semu? Karena diadakan di tengah situasi darurat militer.

    Kepentingan Aceh ke depan yang disuarakan oleh para pemilih tidak terletak pada tipologi kepemimpinan politik GAM dan SIRA itu, begitu juga penyuntikan syariat oleh partai politik nasional. Berdasarkan sejumlah survei, masyarakat Aceh lebih menghendaki perbaikan bidang perekonomian. Pembangunan infrastruktur menjadi pilihan ketimbang terus melakukan politisasi, misalnya.

    Sebagai daerah kaya yang berpenduduk miskin, kesenjangan ekonomi akan memicu berbagai persoalan sosial lainnya. Ideologi GAM dan perlawanan rakyat Aceh lebih banyak dipupuk oleh cara Jakarta mengambil kekayaan alam Aceh tanpa menyebarkan pemerataan kesejahteraan. Fungsi intermediasi pemerintah gagal. Kini, sebagian besar hasil alam itu dikembalikan. Apabila pemulihan kondisi ekonomi ini berhasil, Aceh akan turut hadir di panggung-panggung nasional, termasuk menjadi kampiun pembangunan peradaban dari dunia timur.

    Separatisme berhasil di Timor Leste, tetapi tetangga mini Indonesia itu terlihat tertatih oleh tantangan internal yang berbuah konflik. Tentu Timor Leste belum menjadi negara gagal, melainkan berupaya menemukan kekuatan internalnya untuk bangkit walau disokong oleh bantuan luar negeri. Aceh, yang memilih otonomi luas, diharapkan mendapatkan hasil berbeda, yakni lebih cepat pulih dan berjaya.

    Keberhasilan kepemimpinan Irwandi-Nazar akan mempengaruhi Indonesia secara mendasar. Pada pundak keduanya—juga bupati/wali kota dari kalangan independen lainnya—dipertaruhkan kredibilitas dan karakter perseorangan dalam belenggu partai politik. Yang ditantang adalah partai-partai politik mapan berpikiran konservatif yang menenggelamkan individu. Apabila Irwandi-Nazar berhasil, bukan hanya lebih mudah memperjuangkan kehadiran calon independen di daerah-daerah lain, bahkan bisa jadi perubahan konstitusi dikehendaki, yakni dengan membolehkan calon independen dalam pemilihan presiden dan wakil presiden.

    Tentu Irwandi-Nazar punya tantangan, yakni anggota Dewan Perwakilan Rakyat Aceh yang seluruhnya partai politik nasional sampai 2009. Namun, dari segi pemerintahan daerah, sebetulnya peran eksekutif lebih kuat dari legislatif (executive-heavy) yang berbeda dengan legislative-heavy di tingkat pusat. Keberhasilan Irwandi-Nazar juga berpengaruh terhadap pilihan masyarakat kepada cikal-bakal partai politik lokal yang akan dilahirkan untuk maju dalam pemilu 2009.

    Separatisme, yang dulu berarti pemisahan Aceh menjadi sebuah negara, kini telah beranjak menjadi separatisme dalam bentuk ide. Ide-ide besar dipilah menjadi ide-ide kecil, lantas dilaksanakan sesegera mungkin. Lapangan otonomi luas membuka peluang bagi bentuk ide apa pun. Dari separatis ke otonomi adalah racikan baru yang dicoba dipraktekkan di Indonesia. Otonomisasi paham dan ide separatis. Hasilnya seperti apa? Mudah-mudahan bukan petaka.

  • Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    Image of Tempo
    Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
    • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
    • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
    • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
    • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
    • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
    Lihat Benefit Lainnya

    Image of Tempo

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    >
    Logo Tempo
    Unduh aplikasi Tempo
    download tempo from appstoredownload tempo from playstore
    Ikuti Media Sosial Kami
    © 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
    Beranda Harian Mingguan Tempo Plus