Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Marginalia

Pancasila sebagai ideologi

Banyak yang melihat pancasila sebagai contoh baik sebagai ideologi penyembuhan. ia selalu dikaitkan dengan kepekaan kita akan ragamnya manusia untuk mencapai harmoni. pancasila menghargai adanya konflik.

11 Oktober 1980 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

INILAH saat-saat yang terindah, inilah saat-saat yang terburuk." Seorang novelis pernah menuliskan kata-kata itu tentang Revolusi Perancis 1789, ketika rakyat yang marah jadi beringas, bui besar digempur, dan raja bersama ratusan bekas penguasa dipenggal. Saat-saat terindah, saat-saat terburuk -- benar. Juga untuk soal yang lain. Kemeriahan kemenangan revolusi melahirkan semacam karnaval ideologi-ideologi. Dari yang ekstim konservatif sampai dengan yang ekstrim revolusioner bersemburan, berseru-seru. Dan bila hal yang mirip terjadi di Indonesia 1945, (atau sebentar di Iran 1979), apa sebenarnya yang terjadi? Bukan hanya karena hari-hari revolusi adalah hari-hari pesta kemerdekaan berfikir. Tapi terutama karena dasar budaya yang tadinya mengatur kehidupan politik baru saja runtuh mendadak dan orang banyak kehilangan sumber pembenaran yang sebelumnya mereka kenal. Pegangan pun kacau dan arah pun rancu. Maka ideologi-ideologi muncul. Mereka berusaha menawarkan penjelasan tentang pengalaman yang gemuruh itu. Mereka menawarkan program ke masa depan. Dan tak ketinggalan, mereka menjanjikan solidaritas. Jika kita tengok kembali sejarah (alangkah menyedihkannya orang yang mengetahui tapi tak merenungkan sejarah!, hal seperti itu wajar saja sebenarnya. Justru hiruk-pikuk yang berlangsung sampai beberapa puluh tahun setelah kemerdekaan itu menyebabkan kita kian sadar: kalau kita mau survive sebagai bangsa, kita butuh lambang milik bersama. Semacam pelabuhan, semacam rumah asal, ke mana kita bisa pulang bersama -- setelah saling bertengkar. Kita beruntung, bahwa di tahun 1945 itu ada sebuah dokumen penting pidato yang kemudian dianggap menandai lahirnya Pancasila. Dengan kata lain, sejak awal kemerdekaan itu kita punya simbol tempat kita menambatkan diri sebagai satu kaum, karena para perumus dasar negara 35 tahun yang silam itu sadar: yang merintis kemerdekaan bukan cuma satu golongan, juga yang harus mempertahankannya. MEMANG ada yang menganggap ideologl sebagal topeng dan sebagai senjata. Dalam "teori senjata" ini, ideologi adalah wajah lain dan alat dari perjuangan manusia ke arah kemenangan kepentingannya. Marxisme jelas menganut teoriini - juga untuk dirinya sendiri. Tapi Marxisme tak selamanya memadai untuk menjelaskan hal ihwal. Ada satu penjelasan lain tentang peranan ideologi di masyarakat sebagai pengobatan. "Teori penyembuhan" ini melihat ideologi dalam fungsinya untuk mengoreksi terus-menerus rusaknya harmoni sosio-psikologis. Ideologi menyediakan saluran simbolis bagi guncangan-guncangan emosional masyarakat, di tengah terganggunya keseimbangan sosial setiap kali. Kiranya banyak yang akan melihat Pancasila sebagai contoh yang baik ideologi sebagai penyembuhan: ia selalu dikaitkan dengan kepekaan kita akan aneka ragamnya manusia, kelompok dan lapisan sosial di negeri ini -- dan ia selalu dilekatkan ke hasrat menemukan harmoni. Dengan kata lain -- apa pun yang dihatakan para penganut Marxisme (termasuk yang tak sadar dan diam-diam) -- Pancasila bukanlah senjata. Bayangan tentang masyarakat dalam ideologi ini bukanlah sebuah medan perang kepentingan, tapi lebih damai dari itu. Meskipun, tak berarti Pancasila membayang kan masyarakat sebagai taman Firdaus. Justru karena ia selalu dilekatkan ke hasrat menemukan harmoni, justru karena ia juga religius, masyarakat bagi pandangan Pancasila adalah masyarakat manusia yang tak sempurna. Konflik, misalnya, bukanlah sesuatu yang mustahil. Masalahnya ialah bagaimana menyelesaikan serta mengelolanya. ** KARENA itu agaknya menarik untuk merenungkan, bagaimana pandangan Pancasila dalam mengelola konflik. Haruskah pihak yang berkonflik -- "kita" vs "mereka" -- saling mengucilkan bahkan menghabisi? Ataukah perlu selalu disediakan jembatan - antara "kita" dan "mereka", sebagai kemungkinan, biar kecil, ke arah berbaik kembali?

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus