JUAL kapling atau mobil boleh lewat iklan koran, tapi jual
makanan kucing? Tidak. Mesti lewat iklan komersiil TV. Kolumnis
Art Buchwald pada suatu waktu tidak menulis ihwal Presiden atau
Menteri, melainkan seekor kucing, bintang TV perusahaan makanan
kucing merek "Pussyfoot", yang mampu menyuap dengan kukunya. Ini
membuat Amerika gempar. Tidak ada satupun kucing, baik di negeri
maju atau sedang berkembang, industri atau agraris, di
rumahtangga kapitalis atau komunis, yang sanggup menyamainya.
Irving adalah Robert Redfordnya bangsa kucing. Seperti Idi Amin,
binatang ini jadi inceran. Betul juga! Irving lenyap. Para
penonton penggemar kucing meraung-raung. FBI dan CIA menjulurkan
lidahnya kian kemari. Presiden berikut keluarga berdoa siang
malam. Kissinger bersedia cekcok dengan RRT, asal saja si
penculik sudi mengembalikannya. Karena produksi merosot hilang
pasar, perusahaan "Pussyfoot" keluarkan ongkos besar, sewa
detektip binatang spesial dari Perancis yang tiada ada duanya di
dunia. Namanya Bernheim.
Reputasinya hebat. Dia pernah mencari dan menemukan garuda milik
Maharaja Klumpur sampai ke Himalaya. Nyonya bangsawan Sisilia
kehilangan anjing kesayangan berikut suaminva. Untuk
pengembalian anjing dapat upah besar, untuk sang suami tidak.
Tupai piaraan pangeran Charles yang minggat bisa dilacak,
sehingga Sri Ratu bukan main girangnya, nyaris Bernheim bergelar
ningrat kalau saja dia orang Inggeris. Pangeran Monaco menjadi
gundah gulana karena gajah buah hatinya lenyap. Di negeri yang
sekecil itu, di mana pula orang bisa menyembunyikan seekor
gajah? Rupanya dia disekap di kapal Yunani yang berlabuh, maka
pangeran pun murka, melarang semua kapal berbendera Yunani
merapat di Monaco sampai hari kiamat. Tentang Irving? Perkara
gampang. Sesudah tugas berhasil, Bernheim bekerja untuk
Pemerintah Inggeris, dikirim ke Skotlandia, mencari makhluk
raksasa Loch Ness. Sang kucing terus main TV, terus menanjak,
dan demi kepentingan bangsanya perusahaan mendirikan rumahsakit
kucing di New York, tanpa pungut bayaran.
Sampai Mata Berkunang
Lain Irving, lain Presiden Kennedy. Jika Irving muncul di layar
orang senang, jika Kennedy kebalikannya. Khusus di mata
wartawan-wartawan senior. Tatkala Presiden pilih wawancara lewat
TV, orang koran menganggap "gagasan paling tolol sesudah
hula-hoop". Tentu hikmahnya ada juga. Akibat tidak sering
ketemu, keakraban kurang. Rasa sungkan menipis. Tulisan dan
kritikus tidak kikuk. Seolah-olah Presiden berdiarn di planit
lain jauh di langit sana, duduk di korsi goyang, sekali-sekali
menjenguk bumi, kemudian terbang melayang lagi.
Tampaknya, selera tidak bisa dipukul rata. Jika di negeri orang
penontonnya cerewet banyak cingcong, berbeda dengan penonton TV
di negeri awak. Mereka siap menonton apa saja yang muncul di
layar sampai mata berkunang-kunang. Kucing atau bukan kucing,
tidak soal. Berwarna atau bukan berwarna, tidak soal Siaran
komersiil atau kebatinan, boleh-boleh saja. Ada sponsor atau
tanpa sponsor. Mereka bagaikan mulut yang senantiasa menganga,
siap menelan apa saja yang lewat.
Bagaimana kalau kampanye Pemilu? Apa bedanya. Jika kampanye bisa
lewat koran, bisa di lapangan sepakbola, bisa lewat bagi-bagi
kaos oblong, bahkan bisa lewat bisik-bisik dan dehem-dehem,
mengapa lewat TV atau Radio tidak? Pidato itu, seperti halnya
senam, bila pandai-pandai memawakannya, lagi pula jangan
sering-sering dan lama, punya penggemar juga. Maka dari itu,
mulai tanggal 24 Pebruari sampai 24 April 1977, TV dan Radio
sediakan acara kampanye. Ganti-berganti para tokoh kontestan
unjuk diri buka suara, mengetuk hati penonton dan pendengar,
supaya jangan ragu atau bimbang, takut atau waswas, menusuk
tanda gambar di tengahnya betul. Awas, jangan keliru tusuk.
Minat tentu besar. Gobel, yang biasa dagang pesawat, kali ini
masuk layar mewakili partainya. Agar segala sesuatunya berjalan
lancar, adil dan terarah, sana untung sini untung, Departemen
Penerangan bikin sejumlah aturan. Ada SK Menpen No. 208/76
perihal ketentuan siaran kampanye lewat TV. Ada SK Menpen No
209/76 buat yang lewat Radio Disusul oleh SK Dirjen RTF No.
05/77 lengkap dengan Lampiran I dan II-nya. Ditunjang pula oleh
Instruksi Direktur TV No. 01/77 dan Instruksi Direktur Radio No.
95/77 Jika dikumpulkan, kesemuanya berjumlah 20 lembar.
Naskah dibikin rangkap 5, ukuran kwarto. Pilih kertas yang
tebalan supaya gesekannya tidak berisik Setor 10 hari sebelumnya
buat diteliti Lembaga Pemilu. Buat TV, pakaian seyogianya
abu-abu, coklat muda, kuning tua, atau biru tua. Buat Radio,
sesuka di situlah, asal pakaian. Semua siaran lewat rekaman.
Buat TV, tersedia satu kamera buat ambil muka, dua kamera buat
ambil samping. Buat Radio, cukup mic dan tape. Lama pidato
maksimal 15 menit. Sebelumnya ada lagu "Pemilu" satu kuplet, di
ujungnya ada lagu "Satu Nusa Satu Bangsa" lengkap sampai habis.
Bagi para penonton dan pendengar, karena acara ini lain dari
yang lain, paling sedikit baru akan muncul 5 tahun lagi, berbeda
dengan film serial atau pilihan tangga lagu, haraplah sedikit
cermat, menyimak kata-kata yang terucap mulut, untuk jadi
pegangan di masa datang. Maklum, kampanye itu tak ubahnya
seperti janji, yang kalau tidak diingat-ingat suka lupa. Tidak
sedikit pidato kampanye tahun 1971 menguap begitu saja, tak
seorangpun acuh, baik yang bicara maupun yang dengar. Maklum,
kampanye itu seperti rayuan, manis boleh tapi bukti mesti ada.
Kalau tidak ada? Yah, itu soal nantilah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini