Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Marginalia

Pasar bebas

Masyarakat pasar intinya setiap orang bebas untuk memutuskan tugasnya sendiri. sistem pasar bebas punya struktur otoritas politik, juga suatu sistem bisnis yang menyaingi otoritas pemerintahan.

14 November 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEORANG penulis sejarah ekonomi membayangkan sebuah dialog. Syahdan, katanya, ada seorang konsultan Barat yang memberi nasihat kepada sejumlah pemimpin Afrika tentang bagaimana caranya memecahkan problem ekonomi mereka. Nasihatnya ringkas: aturlah masyarakat anda menurut ekonomi pasar. "Baiklah," jawab orang-orang Afrika itu. "Lalu apa yang harus kami suruhkan kepada rakyat? Bagaimana kami membagi-bagi tugas mereka?" "Lho," jawab si konsultan, "Tak usah disuruh-suruh segala. Dalam ekonomi pasar, tak seorang pun diberi tugas. Gagasan inti dari suatu masyarakat pasar ialah bahwa tiap orang punya kebebasan untuk memutuskan tugasnya sendiri." "Mana mungkin?", tanya para pemimpin Afrika itu, yang terbiasa dengan masyarakat tradisional, di mana tiap orang diatur oleh pemimpin adat. "Anda mau biarkan rakyat memutuskan soal demikian sendiri saja? Bagaimana kalau mereka berbuat salah? Dan si Badu tak mau bekerja di ladang dan si Gagu ogah jadi penjaga toko?" "Ssst," sahut sang konsultan, "tenang. Dalam suatu masyarakat pasar bebas, semua pekerjaan akan terisi, karena orang-orang itu sendiri akan merasa lebih beruntung untuk bekerja di bidang ini dan bidang itu." Dengan kata lain, sang konsultan bicara tentang "Tangan Yang Tak Terlihat" dalam gagasan Adam Smith--tangan yang mengatur dengan sendirinya segala perilaku ekonomi orang-orang di masyarakat. Pasar bebas dengan Tangan Yang Tak Terlihat? Orang Afrika dari negeri berkembang itu percaya akan banyak hal, tapi bukan takhyul yang satu ini. Dan nampaknya mereka tak sepenuhnya salah. Sang konsultan Barat mungkin ingin mengesankan bahwa dengan ekonomi pasar masyarakat pun bebas dan demokratis. Bukankah di sana orang tak diatur-atur oleh orang lain yang berkuasa? Benar. Tapi memang terlalu tergesagesa untuk mempersamakan sistem yang berorientasi pada pasar dengan demokrasi. Dorongan demokratis bagaimanapun menghendaki persamaan. Tapi tuntutan persamaan ini melongsorkan impian tentang suatu stabilitas, yang sendi pokoknya ialah tetapnya perbedaan tempat (dan perbedaan hasil), antara si buruh dengan si pemilik modal. Karena itulah, untuk menyontek kata-kata seorang profesor yang menulis Politics and Markets di tahun 1978, "sistem yang berorientasi pada pasar, agar berhasil, mungkin memerlukan begitu banyak pengaruh bisnis . . ." Karena itulah, kata Profesor Charles E. Lindblom pula, "perusahaan swasta yang besar ganjil cocknya dengan teori demokrasi. Bahkan, memang tidak cocok." Di satu pihak sistem pasar bebas itu punya struktur otoritas politik. Di lain pihak, suatu sistem bisnis, dengan nilai-nilainya, syarat-syaratnya dan tingkah lakunya yang menyaingi (serta juga melengkapi) otoritas pemerintahan. Siapa yang unggul, tak bisa ditentukan secara pasti dan secara tetap. Tapi orang memang bisa bicara tentang suatu kekuatan lain, yang tak nampak bagaikan gempa laut yang melontarkan gelombang: kekuatan gairah manusia untuk memperoleh tambahan kekayaan tak putus-putusnya. Kita tahu bahwa sistem yang berorientasi pada pasar menganggap sah dan sehat gairah seperti itu. Kita pun tahu bahwa sistem yang lebih mau mengatur ekonomi dengan komando-seperti di negeri sosialis--ingin mengendalikannya, dan tak berhasil. Yang sering kita tak tahu ialah bahwa gairah yang bisa disebut hasrat kemajuan, atau juga keserakahan itu, ternyata tak juga bisa diatur oleh Tangan yang Tak Terlihat. Filosof Bertrand Russel pernah mengatakan, bahwa seandainya orang digerakkan oleh kepentingan diri sendiri, "seluruh umat manusia akan bekerjasama." Repotnya, menurut Russel, manusia tak didorong oleh kepentingan diri sendiri, "kecuali dalam kasus beberapa orang suci." Aneh atau tak aneh ucapan ini, anggapan dasarnya ialah: kepentingan diri sendiri manusia niscaya rasional tiap pamrih niscaya masuk di akal. Tapi benarkah? Bumi toh jadi rusak, kemiskinan tak terpedulikan, dan Reagan dan lain-lain menghitung-hitung persenjataan. Manusia tidak jelek, memang. Tapi ketidakpastian dan keserakahannya bisa mengerikan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus