SEORANG penulis sejarah ekonomi membayangkan sebuah dialog.
Syahdan, katanya, ada seorang konsultan Barat yang memberi
nasihat kepada sejumlah pemimpin Afrika tentang bagaimana
caranya memecahkan problem ekonomi mereka. Nasihatnya ringkas:
aturlah masyarakat anda menurut ekonomi pasar.
"Baiklah," jawab orang-orang Afrika itu. "Lalu apa yang harus
kami suruhkan kepada rakyat? Bagaimana kami membagi-bagi tugas
mereka?"
"Lho," jawab si konsultan, "Tak usah disuruh-suruh segala. Dalam
ekonomi pasar, tak seorang pun diberi tugas. Gagasan inti dari
suatu masyarakat pasar ialah bahwa tiap orang punya kebebasan
untuk memutuskan tugasnya sendiri."
"Mana mungkin?", tanya para pemimpin Afrika itu, yang terbiasa
dengan masyarakat tradisional, di mana tiap orang diatur oleh
pemimpin adat. "Anda mau biarkan rakyat memutuskan soal demikian
sendiri saja? Bagaimana kalau mereka berbuat salah? Dan si Badu
tak mau bekerja di ladang dan si Gagu ogah jadi penjaga toko?"
"Ssst," sahut sang konsultan, "tenang. Dalam suatu masyarakat
pasar bebas, semua pekerjaan akan terisi, karena orang-orang itu
sendiri akan merasa lebih beruntung untuk bekerja di bidang ini
dan bidang itu."
Dengan kata lain, sang konsultan bicara tentang "Tangan Yang Tak
Terlihat" dalam gagasan Adam Smith--tangan yang mengatur dengan
sendirinya segala perilaku ekonomi orang-orang di masyarakat.
Pasar bebas dengan Tangan Yang Tak Terlihat? Orang Afrika dari
negeri berkembang itu percaya akan banyak hal, tapi bukan
takhyul yang satu ini.
Dan nampaknya mereka tak sepenuhnya salah. Sang konsultan Barat
mungkin ingin mengesankan bahwa dengan ekonomi pasar masyarakat
pun bebas dan demokratis. Bukankah di sana orang tak diatur-atur
oleh orang lain yang berkuasa?
Benar. Tapi memang terlalu tergesagesa untuk mempersamakan
sistem yang berorientasi pada pasar dengan demokrasi. Dorongan
demokratis bagaimanapun menghendaki persamaan. Tapi tuntutan
persamaan ini melongsorkan impian tentang suatu stabilitas, yang
sendi pokoknya ialah tetapnya perbedaan tempat (dan perbedaan
hasil), antara si buruh dengan si pemilik modal.
Karena itulah, untuk menyontek kata-kata seorang profesor yang
menulis Politics and Markets di tahun 1978, "sistem yang
berorientasi pada pasar, agar berhasil, mungkin memerlukan
begitu banyak pengaruh bisnis . . ." Karena itulah, kata
Profesor Charles E. Lindblom pula, "perusahaan swasta yang besar
ganjil cocknya dengan teori demokrasi. Bahkan, memang tidak
cocok."
Di satu pihak sistem pasar bebas itu punya struktur otoritas
politik. Di lain pihak, suatu sistem bisnis, dengan
nilai-nilainya, syarat-syaratnya dan tingkah lakunya yang
menyaingi (serta juga melengkapi) otoritas pemerintahan. Siapa
yang unggul, tak bisa ditentukan secara pasti dan secara tetap.
Tapi orang memang bisa bicara tentang suatu kekuatan lain, yang
tak nampak bagaikan gempa laut yang melontarkan gelombang:
kekuatan gairah manusia untuk memperoleh tambahan kekayaan tak
putus-putusnya.
Kita tahu bahwa sistem yang berorientasi pada pasar menganggap
sah dan sehat gairah seperti itu. Kita pun tahu bahwa sistem
yang lebih mau mengatur ekonomi dengan komando-seperti di negeri
sosialis--ingin mengendalikannya, dan tak berhasil. Yang sering
kita tak tahu ialah bahwa gairah yang bisa disebut hasrat
kemajuan, atau juga keserakahan itu, ternyata tak juga bisa
diatur oleh Tangan yang Tak Terlihat.
Filosof Bertrand Russel pernah mengatakan, bahwa seandainya
orang digerakkan oleh kepentingan diri sendiri, "seluruh umat
manusia akan bekerjasama." Repotnya, menurut Russel, manusia tak
didorong oleh kepentingan diri sendiri, "kecuali dalam kasus
beberapa orang suci." Aneh atau tak aneh ucapan ini, anggapan
dasarnya ialah: kepentingan diri sendiri manusia niscaya
rasional tiap pamrih niscaya masuk di akal.
Tapi benarkah? Bumi toh jadi rusak, kemiskinan tak terpedulikan,
dan Reagan dan lain-lain menghitung-hitung persenjataan. Manusia
tidak jelek, memang. Tapi ketidakpastian dan keserakahannya bisa
mengerikan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini