Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KENDATI sejak 2010 Benediktus XVI sudah menyatakan akan mundur jika merasa tak sanggup memikul tugas kepausannya, pengumuman dua pekan lalu itu tetap saja mengejutkan. Dengan alasan "kemunduran spiritual dan jasmani", Benediktus XVI memutuskan turun dari Takhta Suci pada akhir bulan iniāsesuatu yang sesungguhnya sulit dibayangkan.
Takrif itu semakin terasa menyentak karena datang dari seorang imam yang selama ini dikenal sebagai pengawal doktrin Gereja Katolik, yang diberi julukan "Rottweiler Tuhan", dan yang menghabiskan seperempat abad masa hidupnya sebagai Prefek Kongregasi untuk Ajaran Iman. Langkah revolusioner dan radikal seyogianyalah tak diharapkan dari Benediktus XVI, yang dikenal sebagai penegak identitas Katolik tradisional.
Zaman bergerak, begitu pula ternyata Gereja Katolik. Selama 598 tahun Takhta Suci tak mengenal pengunduran diri Uskup Roma, sejak Paus Gregorius XII melakukannya pada 1415. Tapi situasi ketika itu memang krusial: Gereja Katolik sedang gonjang-ganjing diguncang Skisma Barat, konflik yang melahirkan satu paus dan dua anti-paus. Gereja terbelah ke dalam tiga kutub: Roma dan Pisa di Italia serta Avignon di Prancis. Gregorius XII mundur demi membuka jalan bagi terpilihnya paus baru, sekaligus mengakhiri Skisma.
Untuk Benediktus XVI, ada dua hal yang kurang menguntungkan. Pertama, ketika ia terpilih pada April 2005, usianya sudah 78 tahun. Ia menjadi penerus Yohanes Paulus II, paus dengan masa pontifikasi 27 tahun dan yang dikenal sebagai Paus Agung. "Kebesaran" pendahulunya merupakan beban tersendiri bagi Benediktus XVI, yang ketika masih dikenal sebagai Joseph Aloisius Ratzinger pernah menyatakan tidak berkeinginan menjadi paus.
Kedua, dunia yang "diwariskan" Yohanes Paulus II kepada Benediktus XVI bukan pula dunia yang teduh dan takzim. Suasana internal Gereja bergerak dalam dinamika yang sering menyentuh ambang toleransi. Dalam masa jabatannya terungkap skandal perundungan seksual di lingkungan Gereja. Menjelang pengumuman pengunduran dirinya, terjadi beberapa tindakan kriminal di antara karyawan Vatikan, bahkan melibatkan para pembantu dekatnya. Dengan beban seberat itu, sulit membayangkan paus uzur yang punya masalah jantung serius itu bisa bertahan.
Pertanyaannya: apa yang akan terjadi pada seorang "paus-emeritus"? Bagaimana umat akan memanggilnya? Apakah, misalnya, ia harus mencium "cincin nelayan" di tangan paus yang baru, cincin yang dulu tersemat di jari tangannya sendiri? Vatikan tentu punya seperangkat kanon dan tradisi untuk membereskan masalah tetek-bengek ini. Tapi, setelah berlalu hampir enam abad, tetap saja terasa "absurd" membayangkan hadirnya seorang paus purnawirawan.
Menjelang konklaf, yakni sidang Kolese Kardinal untuk memilih paus baru, telah beredar sejumlah spekulasi tentang beberapa "calon kuat" paus yang akan datang. Patut diingat: konklaf bukanlah "pesta demokrasi" yang riuh-rendah. Makin banyak "calon kuat", akan makin panjang masa sidang konklaf, karena perolehan suara terbagi hampir merata sehingga sulit mengumpulkan dua pertiga suara untuk seorang kandidat. Itulah yang dulu terjadi pada 1958, ketika konklaf memilih pengganti Pius XII.
Apa pun yang terjadi, dengan memutuskan mundur, Paus Benediktus XVI telah mengambil langkah maju yang meletakkan penanda signifikan dalam sejarah modern Gereja Katolik. Ia meninggalkan semacam pesan akan kenafian takhtaāyang hendaknya juga membekas di hati para pemimpin duniawi yang memberhalakan kekuasaan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo