Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SENAPAN menyalak berulang-ulang. Di tengah rimba sawit Sritanjung, Mesuji, Lampung, yang senyap, suara itu terdengar oleh Mamat dari jarak satu kilometer. Pria 46 tahun itu segera menghambur ke luar rumah. Menyalakan sepeda motor, ia lantas memacunya menuju muasal suara: palang pintu pertama blok O kebun sawit PT Barat Selatan Makmur Investindo.
Menjelang zuhur pada Kamis, 10 November, itu tak cuma Mamat yang menunggang sepeda motor menuju sumber suara. Di tengah jalan, ia disalip Zaelani, sepupunya, yang menunggang Honda Revo. Zaelani sempat melambaikan tangan. "Dia bilang mau mencari anaknya," kata Mamat ketika ditemui dua pekan lalu. Ia juga ingat, ketika itu jalanan licin sisa hujan semalam. "Tapi Zaelani naik motor mengebut. Wuss…."
Itulah terakhir kali Mamat berjumpa dengan Zaelani hidup-hidup. Sesampai di pintu PT Barat Selatan, Mamat melihat Zaelani terkapar dengan batok kepala pecah ditembus peluru. Di sana ia melihat pula puluhan polisi dan marinir bersitegang dengan penduduk tiga desa, yakni Sritanjung, Kagungan Dalam, dan Nipah Kuning. Warga meminta aparat menyerahkan dua pemuda Sritanjung bernama Gani dan Yanto yang disangka disandera.
Aparat berkeras tak menahan kedua pemuda itu. Tiba-tiba… dor! Zaelani terjengkang. Saksi mata dari warga mengatakan Zaelani tewas di atas sepeda motornya ketika hendak berputar arah menuju jalan pulang. Menurut Kepala Kepolisian Daerah Lampung Brigadir Jenderal Jodie Rooseto, polisi menembak karena penduduk hendak menyerang petugas dan merusak bangunan perusahaan.
Belakangan, Gani dan Yanto diketahui berada di tengah kebun sawit ketika bentrokan terjadi. Sepeda motor Gani yang diseret petugas keamanan dari tepi kebun sawit ke pos Brigade Mobil yang tak jauh dari kantor perusahaan memancing kecurigaan warga. Mereka menduga Gani dan Yanto ditahan setelah memanen sawit di lahan yang diklaim perusahaan. Padahal, kata Mamat, kebun itu merupakan lahan penduduk karena PT Barat Selatan tak tuntas membayar ganti rugi sejak 1994. Sengketa panjang klaim kepemilikan pun terbuka kembali.
Lima belas tahun lalu, PT Barat Selatan mengantongi izin Badan Pertanahan Nasional Lampung Utara (dimekarkan menjadi Tulang Bawang pada 1997, lalu disapih lagi menjadi Mesuji pada 2008) untuk membuka lahan sawit sekitar 17 ribu hektare di tiga desa sekaligus: Sritanjung, Kagungan Dalam, dan Nipah Kuning. Dalam surat bernomor PLU.22/46-IL/1994 itu disebutkan, dari lahan seluas 17 ribu hektare ini, 10 ribu hektare akan dimanfaatkan untuk kebun inti yang dikelola perusahaan. Sisanya, 7.000 hektare, untuk kebun plasma yang diurus rakyat.
Menurut Ajar Etikana, warga Sritanjung, perusahaan baru membayar ganti rugi separuh dari lahan kebun inti seluas 10 ribu hektare. "Artinya, sisanya masih milik masyarakat," ujarnya. Persoalan makin rumit karena, setelah kebun inti diukur ulang, ada kelebihan lahan seluas 2.455 hektare. Perusahaan, kata Ajar, tak pernah menebus kelebihan lahan ini kepada masyarakat. Ajar juga menuding PT Barat Selatan hingga kini tak pernah membangun kebun plasma di lahan 7.000 hektare.
Di sisi lain, pada 1995, Badan Pertanahan menerbitkan izin lokasi perkebunan seluas 6.628 hektare untuk PT Lampung Inter Pertiwi, yang lahannya juga terletak di ketiga desa itu. Perusahaan ini dimiliki secara patungan oleh pengusaha Tjandra Lumenta dan Global Formation, perusahaan Malaysia. Bukan kebetulan, pemilik PT Lampung Inter Pertiwi dan PT Barat Selatan orang yang sama. Tjandra Lumenta ditambah Hentje Lumenta serta Global Formation tercatat sebagai pemilik dalam akta PT Barat Selatan.
PT Lampung Inter Pertiwi tak mengeluarkan duit banyak untuk menebus lahan warga. Musababnya, Bupati Tulang Bawang saat itu, Santori Hasan, menerbitkan surat bupati bernomor 310/500/01/TB/1997 yang ditujukan kepada PT Lampung. Dalam suratnya, Santori mengatakan PT Lampung tak perlu membayar seluruh ganti rugi karena, dari 6.268 hektare itu, 3.467,75 hektare merupakan tanah rekognisi atau tanah negara.
Santori hanya meminta PT Lampung menyetor Rp 20 ribu ke kas negara untuk setiap hektare lahan. Perusahaan lantas menyetor Rp 69,35 juta untuk 3.467,75 hektare lahan ke Bank Pembangunan Daerah Lampung pada 18 September 1997. Dua tahun sebelumnya, Desa Fajar Baru, tak jauh dari Sritanjung, juga melepaskan 800 hektare lahan. Fajar Baru merupakan desa transmigrasi yang lahannya semestinya tak boleh dilepas untuk perusahaan.
Di sinilah kejanggalan yang lain. Dalam dokumen daftar penerima ganti rugi di wilayah Kagungan Dalam, nomor urut 47 hingga 56 diisi pejabat Lampung Utara ketika itu. Nama Santori Hasan tertera di nomor 56. Dokumen itu tak bertanggal, tapi diperkirakan dibikin pada 1994-1996, ketika Santori masih menjabat Sekretaris Daerah Lampung Utara—ia ditunjuk menjadi Bupati Tulang Bawang pada 1997. Meski di urutan 56, Santori menerima ganti rugi terbesar, yakni Rp 3,077 miliar, setelah melepas lahan seluas 2.897,985 hektare.
Di atas Santori, dari nomor 47 hingga 55, secara berturut-turut terdapat nama M. Syaifullah A., Mulki Adewie, Suhatman, Ismail Yazid, Mulyadi, Saleh Mulyono, Dahri Djayaputra, Maderoni, dan Sukarlan H.S. Berdasarkan penelusuran, M. Syaifullah A. atau M. Syaifullah Achry adalah Kepala Kantor Pertanahan Lampung Utara ketika itu. Saleh Mulyono menjabat Camat Mesuji. Maderoni adalah Kepala Desa Kagungan Dalam. Sedangkan Sukarlan H.S. menjabat Asisten I Sekretaris Wilayah Kabupaten Lampung Utara.
Secara berturut-turut pula mereka masing-masing menerima ganti rugi yang besarnya sama: Rp 181,6 juta. Duit itu mereka terima setelah melepas lahan yang luasnya persis sama pula, 171,035 hektare. Dijumlahkan dengan luas lahan yang dilepas Santori, luas lahan penerima ganti rugi nomor urut 47 hingga 56 mencapai 4.268,785 hektare. Angka itu berbeda tipis dengan total luas lahan rekognisi ditambah lahan di Fajar Baru yang 4.267,75 hektare.
Kepala Departemen Advokasi dan Kampanye Wahana Lingkungan Hidup Indonesia Mukri Priatna menduga di sanalah patgulipat terjadi. Menyatakan seolah-olah lahan penduduk tak bertuan sehingga perusahaan membayar ganti rugi lebih sedikit di satu bidang lahan, pejabat Lampung Utara mengambil keuntungan di bidang lahan sebelahnya. Tak jauh berbedanya angka lahan rekognisi plus lahan di Fajar Baru dengan luas lahan yang dibebaskan Santori dan kawan-kawan, kata Mukri, "Adalah indikasi persekongÂkolan."
PT Barat Selatan membantah masih ada persoalan dalam pembebasan lahan di tiga desa tadi. Menurut Mayor Jenderal Purnawirawan Ali Fathan, yang mengaku sebagai penasihat di PT Barat Selatan sejak insiden Sritanjung terjadi pada November lalu, perusahaan telah membayar seluruh ganti rugi kepada masyarakat dan pemerintah daerah saat itu. "Kalau ada markup dan sebagainya, itu urusan mereka. Semua disetor melalui bank ke rekening pemerintah," kata anggota Dewan Perwakilan Rakyat periode 1999-2004 dari Fraksi TNI/Polri itu.
Adapun Santori Hasan mengatakan tak terlibat secara aktif dalam penyelesaian sengketa antara warga dan perusahaan ketika itu. Soal uang ganti rugi, ia juga menyangkal pernah menerimanya. "Dana itu langsung disetor ke pemerintah daerah. Demi Allah, saya tidak pernah menerima dan tidak pernah tahu," kata Santori, yang menjabat anggota Dewan Perwakilan Daerah periode 2004-2009.
Ia meminta Tempo menanyakan hal ini kepada pejabat Badan Pertanahan Nasional Lampung ketika itu. Tapi sebagian besar pejabat sudah pensiun dan ada yang meninggal. M. Syaifullah Achry, bekas Kepala Badan Pertanahan Nasional Lampung Utara yang aktif terlibat pembebasan tanah ulayat di tiga desa itu, tak lagi berkantor.
Anton Septian (Jakarta), Nurochman Arrazie (Mesuji, Bandar Lampung)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo