Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
WAKIL Gubernur DKI Jakarta Prijanto punya setumpuk alasan pembenar mengapa dia memilih mundur. Salah satu yang mengemuka, dia mengeluh lantaran pembagian tugasnya dengan Gubernur Fauzi Bowo serba tak jelas. Dia pernah mengaku kecewa berat lantaran bosnya itu belakangan sama sekali tak memberinya kesempatan "bersentuhan" dengan warga Ibu Kota—walau cuma memberi kata sambutan acara festival lenong.
Boleh jadi sikap Gubernur Foke keterlaluan ketika "mengunci" sama sekali wakilnya itu alias emoh mendelegasikan tugas-tugasnya sebagai pemimpin daerah. Namun tugas dan wewenang wakil kepala daerah selama ini memang tak jelas. Wakil gubernur, wakil bupati, atau wakil wali kota faktanya memang tak ubahnya ban serep. Ia baru akan memerintah manakala atasannya wafat atau terpaksa lengser, misalnya terlibat perkara pidana. Pejabat nomor dua itu bisa juga sedikit berperan jika bosnya berbaik hati berbagi kewenangan.
Undang-Undang Pemerintahan Daerah tidak tegas mengatur pembagian kewenangan pemimpin daerah. Konsekuensinya, pembagian alokasi anggaran untuk kedua pejabat juga tidak jelas. Di situ disebutkan tugas wakil adalah "membantu kepala daerah dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah". Aturan ini sangat cair, karena tidak semua kepala daerah mau "dibantu" wakilnya—barangkali karena persaingan atau perbedaan kepentingan partai pendukung keduanya.
Sumirnya pembagian peran inilah yang, sekali lagi, dijadikan alasan Prijanto mundur. Walau, melihat pemilihan waktunya, kita bisa menduga langkah politik ini berkaitan dengan persiapan menuju Jakarta Satu. Pemilihan Gubernur Jakarta memang dijadwalkan berlangsung pertengahan tahun depan. Purnawirawan jenderal bintang dua itu telah mendaftar jadi calon gubernur melalui Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan.
Kabar tak sedap ini bisa menjadi rapor buruk bagi keduanya. Prijanto dinilai kurang bertanggung jawab, karena ia dipilih konstituennya secara langsung satu paket dengan Fauzi. Bagi rakyat pemilih, keduanya mesti menjabat sampai kelar, hingga Oktober tahun depan, dan kudu kompak. Terlebih bagi Foke, yang hendak maju ke periode kedua. Ia selama empat tahun ini bisa dinilai gagal membangun kerja sama yang solid dengan wakilnya.
Partai-partai penyokong pasangan ini tak bisa lepas tanggung jawab. Melalui para wakilnya di Dewan Perwakilan Rakyat, para politikus bersama pemerintah seharusnya membenahi aturan posisi wakil kepala daerah. Apalagi, menurut Kementerian Dalam Negeri, 94 persen pasangan pemimpin daerah bercerai di tengah jalan. Sebagian karena persaingan atau merasa tidak memperoleh wewenang cukup. Maka yang perlu dipikirkan: perlukah ada wakil kepala daerah yang berduet dengan kandidat kepala daerah?
Rasanya tak perlu. Sebaiknya pemilihan langsung kepala daerah cukup memilih gubernur, bupati, dan wali kota, sonder wakilnya. Buat apa posisi itu dibikin kalau akhirnya tak jelas tugasnya dan cuma menjadi ban cadangan? Toh, fungsi wakil bisa dijalankan sekretaris daerah, walau dengan sejumlah keterbatasan politik. Adapun posisi wakil kepala daerah ditentukan oleh kepala daerah terpilih yang kita beri mandat memilih pembantunya itu dari pejabat karier setempat.
Model ini dipakai di sejumlah kota besar, seperti London dan New York. Pemerintah, dalam rancangan perubahan Undang-Undang Pemerintahan Daerah yang akan segera diajukan ke Dewan, tak usah ragu memakai pola pemilihan seperti ini. Selain memperjelas tugas pembantu kepala daerah, model ini memperkecil risiko perceraian politik. Kejadian itu jelas berdampak buruk bagi birokrasi. Rakyat juga dirugikan, selain kerap disuguhi pemandangan tak elok: pemimpinnya gontok-gontokan demi kekuasaan semata.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo