Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
BIMA tak akan berdarah bila sejak awal pemerintah daerah berpihak kepada rakyat. Apalagi, jauh sebelum tragedi itu meletus, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia telah merekomendasikan kepada Bupati Ferry Zulkarnain dan Kepala Kepolisian Daerah Nusa Tenggara Barat Brigadir Jenderal Arif Wachyunadi agar berdialog lebih serius dengan masyarakat. Sayang, keduanya mengabaikan rekomendasi itu.
Sekarang semua telunjuk menuding polisi, yang telah mengepung, menyerang, kemudian menembaki rakyat yang memprotes izin bupati atas usaha pertambangan PT Sumber Mineral Nusantara dan PT Indo Mineral Persada. Dua perusahaan ini mencemari sumber air di lingkungan mereka. Akibat serangan di pagi buta, Sabtu dua pekan lalu itu, menurut versi DPRD Bima, empat pengunjuk rasa tewas dan beberapa terluka (menurut versi lain, dua tewas).
Harus diakui, para pengunjuk rasa yang memblokade Pelabuhan Sape telah mengganggu ketertiban di fasilitas publik. Namun rakyat melakukan itu karena frustrasi yang panjang setelah melihat Bupati Bima lebih memihak perusahaan ketimbang rakyat. Akhirnya, di permukaan, tidak ada sosok yang lebih bertanggung jawab atas peristiwa yang mencoreng reputasi hak asasi manusia Indonesia di pengujung 2011 itu selain polisi.
Semua tampak dalam perundang-undangan. Penembakan itu jelas melanggar Prosedur Tetap Nomor I/X/2010 tentang Penanggulangan Anarki. Tindakan represif dengan senjata api hanya dibenarkan bila ada anggota masyarakat atau polisi yang terancam jiwanya gara-gara unjuk rasa itu.
Rakyat muak atas berulangnya kekerasan: dari Tanjung Priok, Aceh, sampai Sampang, yang merupakan peninggalan represif Orde Baru. Kini masih ada Mesuji, kemudian Bima. Malapetaka Bima menunjukkan polisi gagal menjaga keamanan dan ketertiban serta tak mengayomi rakyat sebagaimana diamanatkan Undang-Undang Dasar 1945. Namun menyalahkan kepolisian semata-mata sama saja dengan membuka kemungkinan akan terulangnya insiden yang sama di kemudian hari.
Pemerintah perlu membentuk tim independen yang melakukan investigasi menyeluruh atas insiden tersebut. Hasil investigasi itu harus sampai pada menghukum yang bersalah dan membebaskan yang tak berdosa. Bima berdarah tak akan terjadi bila sejak awal pemerintah daerah berpihak kepada rakyat. Sayangnya, tak seperti itu kenyataannya.
Kita menyaksikan, setahun setelah pemilihan kepala daerah di Kabupaten Bima, jarak yang membentang antara pemerintah daerah (bupati) dan rakyat semakin lebar. Pada saat yang sama, hubungan bupati dengan PT Sumber Mineral semakin akrab. Bupati menerbitkan izin usaha penambangan untuk perusahaan tersebut, tapi menolak ajakan publik untuk berdialog.
Kini, transparansi merupakan syarat yang dimutlakkan. Perlu dibuktikan bahwa terpilihnya sang bupati tidak berkaitan dengan terbitnya izin usaha di atas. Sudah menjadi rahasia umum, pemilihan kepala daerah yang berbiaya tinggi membuat para calon menggandeng pemodal besar. Jasa pemilik modal tadi akan dikembalikan dalam bentuk kemudahan melanggengkan kepentingan bisnisnya.
Sejak 2008, masyarakat setempat menolak penambangan oleh perusahaan tersebut. Kini, nyawa penduduk yang melayang sia-sia itu sudah cukup untuk dijadikan pelajaran bahwa dialog, termasuk membuktikan kemungkinan penyimpangan prosedur pemberian izin usaha penambangan, perlu segera dilakukan. Pemerintah daerah jangan segan mencabut izin usaha itu demi masa depan, keamanan masyarakat, dan lingkungan yang lebih baik.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo