Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MENGKAJI hukum korupsi melalui berjilid-jilid kitab klasik pesantren merupakan gagasan menarik, sekaligus berani. Apalagi hasilnya berupa buku fikih korupsi yang rasanya belum pernah diterbitkan siapa pun. Paling banter hanya berupa seruan, tausiyah, atau fatwa dengan sederet ayat yang terserak dalam selebaran, leaflet, dan belum terkompilasi secara utuh.
Prakarsa para penggiat antikorupsi di bawah asuhan Tuan Guru Hasanain Juani dari Pesantren Nurul Haramain, Mataram, Nusa Tenggara Barat, itu memang patut diapresiasi. Sebab, tindak pidana ini, terus terang saja, susah dicari padanannya di zaman Nabi dan para sahabatnya. Yurisprudensi hukum Islam ini biasanya menjadi ranah eksklusif para kiai sepuh yang dianggap mumpuni memahami "kitab kuning"—lembaran kertasnya memang rada kekuningan. Mereka biasanya susah dirangkul untuk menelurkan karya penting ini.
Gerakan Tuan Guru Hasanain hanyalah contoh betapa kini inisiatif dan kampanye memberantas korupsi tak cuma berkumandang di Ibu Kota. Kelompok antirasuah kini tumbuh subur di mana-mana. Mereka terfokus pada korupsi keuangan daerah sampai perusakan hutan, kantornya berbasis dari Aceh sampai Papua—dengan sokongan dana dari donor dan urunan kantong pribadi pengurusnya. Indonesia Corruption Watch alias ICW, pelopor gerakan ini di Tanah Air, tetaplah menjadi ikon utama yang spiritnya mengilhami lahirnya komunitas serupa.
Mereka tentulah satu perahu dengan kami dalam memerangi korupsi, yang masih sangat berbahaya di negeri ini. Kewajiban kita justru tak boleh membiarkan para aktivis ini berdiri sendiri di tengah kancah korupsi yang perkaranya—jika diungkap—berisiko sangat tinggi. Tak sedikit penggiat antikorupsi ini, sebagaimana juga jurnalis, menjadi korban teror, kriminalisasi menggunakan dalil pasal karet, ancaman pembunuhan, dan tindak kekerasan, bahkan santet, dari pihak-pihak yang tak mau diusik kejahatannya.
Kehadiran mereka tentu saja perlu disokong sepenuh hati. Keberanian mereka membongkar kejahatan yang disembunyikan haruslah dipandang sebagai niat baik untuk membersihkan negeri ini dari barah korupsi. Semangat ini mesti disemaikan—terutama oleh aparatur penegak hukum—lantaran tantangannya sangat berat. Yang mengagumkan justru respons publik di mal-mal dan supermarket. Mereka, termasuk anak-anak muda, rela memberikan donasinya bagi upaya pemberantasan korupsi.
Kalaulah ada kritik untuk para aktivis ini, barangkali cuma cara mengungkap kasus kejahatan yang harus dipertajam. Tak cukup berbekal keberanian membuka di depan umum, melalui konferensi pers, misalnya, dan asal main tembak menyebutkan nama-nama yang diduga pelaku korupsi. Mereka kudu diimbangi dengan bekal yang cukup untuk melakukan teknik investigasi. Namun, yang utama, integritas sang penggiat tak boleh ditawar-tawar, tak boleh terbeli iming-iming apa pun. Sebab, "ikhtiar" pemberantasan korupsi membutuhkan integritas agar bisa dipercaya publik.
Pembekalan sikap profesional ini sangat penting, mengingat tantangan pemberantasan korupsi masih berat. Coba perhatikan indeks persepsi korupsi di Indonesia. Meski peringkatnya tahun ini rada membaik, posisinya masih terjerembap di rank buntut. Indonesia, menurut Transparency International, berada satu kotak, di peringkat 100 dari 182 negara yang disurvei, bersama Jibouti, Burkina Faso, Gabon, dan Madagaskar. Singapura, Malaysia, Thailand, dan Brunei jauh lebih baik indeksnya.
Pesan yang terkandung di balik kabar buruk itu jelas: korupsi masih punya nyali dan menggerogoti negeri ini. Di tengah situasi darurat korupsi inilah kehadiran para aktivis harus disokong penuh. Kita tak cukup hanya mengandalkan instansi penegak hukum seperti kejaksaan, kepolisian, bahkan Komisi Pemberantasan Korupsi. Alarm bahaya itu kini kian gawat setelah pengadilan tindak pidana korupsi daerah begitu mudah membebaskan terdakwa korupsi, meski bukti dan saksinya kuat.
Belum lagi jika membahas sejumlah perkara kakap yang masih menganga—dan terancam menguap. Kasus rekening gendut para perwira polisi, meski sudah mendapat atensi Presiden Yudhoyono, toh masih saja digantung. Kasus rekening gendut serupa milik pejabat daerah, bahkan pegawai negeri, juga belum dituntaskan. Polah mafia hukum masih menggila di semua instansi—bahkan juga di pengadilan.
Semua perilaku bobrok ini tak akan dapat diatasi sendiri oleh institusi negara, tapi butuh kehadiran para aktivis penggiat antikorupsi tadi. Mereka tak boleh merasa letih membongkar korupsi dan mengawasi proses peradilannya, demi kepentingan publik.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo