Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Penetapan Nurhayati, pelapor kasus korupsi, sebagai tersangka mencederai rasa keadilan.
Penetapan status tersangka juga cacat hukum karena menimbulkan kesan dipaksakan.
Kasus ini harus dihentikan karena menjadi preseden buruk bagi upaya pemberantasan korupsi.
Penetapan Nurhayati, pelapor kasus korupsi di Desa Citemu, Cirebon, Jawa Barat, sebagai tersangka atas perkara yang dilaporkannya tak hanya mencederai rasa keadilan, tapi juga cacat secara hukum. Pelapor kasus semestinya mendapat perlindungan hukum seperti yang dijamin dalam Undang-Undang Perlindungan Saksi dan Korban. Jika kasus ini tak segera dihentikan, apa yang menimpa Nurhayati akan menjadi preseden buruk bagi upaya pemberantasan korupsi karena orang jeri menjadi pelapor kasus atau whistleblower.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Nurhayati mulai membongkar dugaan korupsi ini pada 2019 saat menjadi Kepala Urusan Keuangan Desa Citemu. Ia melaporkan adanya dugaan penyelewengan dana yang dilakukan atasannya, Supriyadi, Kepala Desa Citemu, kepada Badan Permusyawaratan Desa (BPD). Tahun berikutnya, Nurhayati melaporkan hal serupa kepada BPD. Baru kemudian, pada 2020, bersama pejabat BPD Citemu, Nurhayati melaporkan dugaan korupsi sang kepala desa ke Unit Tindak Pidana Korupsi Kepolisian Resor Cirebon. Polisi kemudian menetapkan Supriyadi, sang kuwu, sebagai tersangka karena diduga menilap uang desa sepanjang 2018-2020 sehingga merugikan negara Rp 800 juta.
Alih-alih mendapat penghargaan atau perlindungan hukum, Nurhayati malah dikalungi status tersangka oleh penyidik Polres Cirebon. Dalih polisi bahwa penetapan status tersangka merupakan petunjuk jaksa menimbulkan kesan itu hanya alasan yang dicari-cari. Apalagi belakangan jaksa juga berkelit bahwa mereka hanya meminta polisi mendalami peran Nurhayati, bukan menetapkan dia sebagai tersangka. Polisi juga seharusnya tidak mengabaikan status Nurhayati sebagai pelapor, sehingga tak serampangan menetapkan dia sebagai tersangka.
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 sebagaimana diubah dengan UU Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perlindungan Saksi dan Korban sudah jelas mengatur perlindungan untuk pelapor kasus. Undang-undang tersebut mengatur pelapor tidak dapat dituntut secara hukum, baik pidana maupun perdata, atas laporan yang akan, sedang, atau telah diberikannya. Kalaupun ada tuntutan hukum, hal tersebut wajib ditunda hingga kasus yang dilaporkan sudah diputuskan oleh pengadilan dan berkekuatan hukum tetap. Bahkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2018 disebutkan bahwa masyarakat yang memberikan informasi dugaan korupsi ke penegak hukum akan mendapat piagam dan premi maksimal Rp 200 juta.
Apa yang terjadi pada Nurhayati justru sebaliknya. Ia malah ikut-ikutan ditetapkan sebagai tersangka dengan tuduhan yang serampangan. Polisi menjadikan Nurhayati sebagai tersangka karena dia menyerahkan dana Rp 800 juta itu kepada kepala desa, Supriyadi, hingga akhirnya berujung korupsi. Padahal apa yang dilakukan Nurhayati itu merupakan tugas sebagai kepala urusan keuangan. Pencairan dana tersebut juga sesuai dengan rekomendasi camat setempat dan dinas pemberdayaan masyarakat desa. Mengacu pada Pasal 51 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Nurhayati tidak selayaknya dipidana karena dia melaksanakan perintah jabatan yang diberikan pihak berwenang. Polisi juga sejauh ini belum menemukan bukti Nurhayati menikmati uang korupsi itu.
Karena kasusnya ada kesan dipaksakan, Markas Besar Kepolisian RI harus turun tangan menelisik kejanggalan penetapan status tersangka Nurhayati. Mabes Polri harus segera meluruskan kekeliruan jajarannya bahwa pelapor korupsi selayaknya mendapat perlindungan hukum, bukan malah diseret dalam pusaran kasus. Karena berkas perkara masih di penyidik, belum terlambat bagi polisi menghentikan penyidikan kasus yang menjerat Nurhayati. Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban juga harus bergerak meyakinkan kepolisian bahwa penetapan status tersangka atas pelapor kasus bertentangan dengan Undang-Undang Perlindungan Saksi dan Korban.
Selain itu, rencana Nurhayati dan pengacaranya untuk mengajukan gugatan praperadilan atas penetapan status tersangka perlu didukung. Hakim praperadilan harus memenangkan gugatan tersebut agar kelak lahir orang-orang yang berani membongkar dan melaporkan kasus korupsi seperti Nurhayati.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo