Berita berjudul "Jurus Baru Menggugat Koruptor" (TEMPO, 16 Juli, Hukum) sangat menarik. Di antara sekian banyak gagasan pakar hukum yang diberitakan TEMPO, belum ada yang memberikan kesimpulan bagaimana mengembalikan uang negara yang dikorup. Namun, kita patut mengacungkan jempol bagi pakar hukum yang optimistis dalam memberantas korupsi. Sebaliknya, kita harus mengecam keras pakar hukum yang seolah-olah "memberi angin" kepada koruptor dan ahli warisnya. Seperti juga pendapat lain, menurut saya, UU Nomor 3 Tahun 1971 sudah tak sesuai dengan perkembangan zaman. Kelemahan-kelemahan UU itu antara lain tentang pidana, pembuktian, prosedur (penyidikan, penuntutan, dan peradilan). Mengenai pidana, misalnya, terlalu ringan. Sedangkan tentang pembuktian, sangat sulit. Dan perihal prosedur (acara), berbelit-belit. Pendeknya, kurang lengkap. Lantas, haruskah kita mandek dan kapok menghadapi korupsi? Tentu tidak. Dalam usaha mencegah, memberantas korupsi di Indonesia, menurut saya, ada dua alternatif langkah yang harus ditempuh. Yakni merombak atau menerapkan secara konsekuen perundang-undangan yang sudah ada sekarang. Alternatif pertama tidak mudah dan memakan waktu lama, sedangkan yang kedua dapat segera dilaksanakan. Bagi saya, tak ada alasan menunda-nunda atau terus membiarkan merajalelanya korupsi di negara kita. Apalagi "memberi angin", menghalang-halangi usaha pemerintah ke arah follow-up mengatasi kesulitan selama ini. Itu cara tidak benar. Sebab, kita tak semata-mata memikirkan kepentingan perorangan atau kelompok tertentu, seperti koruptor dan keluarganya. Kepentingan umum, pembangunan, dan seluruh rakyat Indonesialah yang harus lebih diutamakan. Bila alternatif kedua yang harus kita pilih, saya sependapat dengan Prof. J.E. Sahetapy dari FH Unair ". . . sebaiknya kejaksaan tetap mendasarkan upayanya pada undang-undang korupsi. Jaksa selaku penyidik . . ." dan seterusnya. Mengapa saya sependapat dengan Prof. Sahetapy? Saya akan mencoba menguraikan itu. Beberapa perundang-undangan memungkinkan kejaksaan menuntut koruptor, baik secara pidana maupun menggugat secara perdata. Bahkan memungkinkan koruptor dituntut dan digugat sekaligus atau bersamaan secara pidana dan perdata. Terobosan dan revolusi hukum perlu dipikirkan sebagai alternatif mencegah dan memberantas korupsi itu. Selain prosedur atau acara yang sudah tercantum dalam UU Nomor 3 Tahun 1971 atau kemungkinan menggugat koruptor secara perdata tersendiri, menurut saya, kita dapat menempuh cara penggabungan perkara gugatan ganti kerugian. Itu diatur pada Bab XIII Pasal 98 dan seterusnya KUHAP, dan UU Nomor 8 Tahun 1981. Pemerintah melalui Kejaksaan incasu Direktorat Perdata dan Bantuan Hukum dapat meminta kepada ketua sidang pengadilan agar ditetapkan menggabungkan perkara gugatan ganti kerugian kepada perkara (pidana) korupsi yang sedang diperiksa itu sebagai pihak (pemerintah) yang dirugikan koruptor. Sehingga, diharapkan penggabungan perkara gugatan pada perkara (pidana) korupsi dapat diperiksa serta diputus sekaligus. Kejaksaan/pemerintah di sini merupakan orang (pihak) lain yang dirugikan dan korban korupsi. Saya merasa, pendapat saya itu tidak umum dan merupakan penyimpangan dari asas lex specialis derogat legi generali. Itu mungkin mengundang polemik. Interpretasi atas asas ini ialah peraturan atau UU khusus "diutamakan" atau "didahulukan" dari peraturan atau UU umum. Jadi, bukan peraturan atau UU khusus "mengesampingkan" atau "meniadakan" peraturan atau UU umum. Karena itu, seharusnya baik pengacara, jaksa, maupun hakim dalam orientasi kepada pembangunan nasional dan pembangunan hukum pun demikian juga. Suatu hal yang salah kaprah selama ini, pakar hukum cenderung menunjukkan kelemahan peraturan atau UU yang berlaku. Namun, sangat sedikit yang dapat memberikan jalan keluar dari kelemahan dan kekurangan tersebut. Itu sama artinya bisa membuat permasalahan tapi tidak bisa membuat pemecahannya. Kalau mau bicara soal kelemahan dan ketidaksempurnaan peraturan atau UU identik membicarakan kelemahan dan ketidakasempurnaan manusia yang membuat peraturan UU itu. Ini, menurut saya, masih belum disadari dan dihayati kita, termasuk saya. Padahal, kita sudah belajar (ilmu) filsafat, bukan? Pendapat saya di atas bertujuan menyederhanakan prosedur (acara) yang tak lengkap dalam UU Pidana Khusus sekaligus mencoba melangkah mewujukdan asas peradilan: sederhana, cepat, dan biaya murah. Sebab, prosedur dengan menuntut koruptor secara pidana, kemudian menggugat secara perdata tersendiri, pasti lebih berbelit-belit. Belum lagi ditambah birokrasi (sistem) peradilan kita yang masih ruwet. TJIWIE SJAMSUDDIN Jalan Gajah Mada 11 Palangkaraya 73111
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini