Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DALIH apa pun tak akan menghapus fakta bahwa Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Setya Novanto telah mengkhianati negara dan orang ramai. Setya telah menjual kepercayaan publik—setidaknya pemilihnya dalam pemilu legislatif 2014—karena mengutamakan kepentingan diri sendiri dan kelompoknya. Dia berperan sebagai mitra dalam satu perkoncoan korup dengan satu tujuan: merampok negara.
Terungkapnya rekaman percakapan Setya ketika membahas upeti saham PT Freeport Indonesia adalah bukti nyata yang sulit dibantah. Di depan pengusaha minyak yang diduga kuat Muhammad Riza Chalid dan Presiden Direktur PT Freeport Maroef Sjamsoeddin, Setya menyebutkan Presiden dan Wakil Presiden perlu diberi jatah saham agar perusahaan tambang asal Amerika Serikat itu bisa memperpanjang kontrak operasi yang akan berakhir pada 2021. Riza selama ini dikenal sebagai pengusaha yang kerap mendapat proyek pengadaan minyak Pertamina. Setya sendiri menghendaki 49 persen saham pembangkit listrik di Paniai, Papua, sebagai imbalan atas jasa memuluskan jalan Freeport.
Setya tampaknya ingin mengulang modus operandi yang berujung pada "hadiah" saham untuk Aburizal Bakrie pada 1991, saat Menteri Pertambangan dan Energi dijabat Ginandjar Kartasasmita. Sebanyak 10 persen saham, waktu itu, dipindahtangankan melalui transaksi jual-beli, dengan dana pembelian sebagian berupa pinjaman yang dijamin Freeport, sebagai imbalan atas persetujuan kontrak pertambangan baru. Setahun kemudian, Bakrie menjual 4,9 persen saham itu kepada Freeport senilai harga pembelian seluruh saham, US$ 212,5 juta.
Pencatutan nama Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla harus diusut. Upaya pemerasan merupakan tindak pidana. Menjual nama Presiden dan wakilnya juga kejahatan yang punya konsekuensi hukum. Polisi tak boleh tinggal diam. Presiden tak selayaknya bersikap pasif—hanya mengharapkan penyelesaian politik dan sanksi administratif kepada pemimpin DPR tersebut. Tak perlu terlalu jauh mencemaskan hubungan buruk pemerintah dan DPR jika kasus Setya diusut. Menegakkan hukum adalah tugas pemerintah yang tak perlu direcoki tetek-bengek politik.
Persoalan belakangan bertambah keruh setelah Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Luhut Binsar Pandjaitan—nama lain yang disebut dalam transkrip itu—menyerang Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Sudirman Said. Luhut menuding Sudirman tak minta izin Presiden ketika melaporkan Setya ke Majelis Kehormatan Dewan. Kepada publik, Sudirman mengaku sudah mengantongi restu.
Telah lama hubungan Luhut dan Sudirman tak mesra. Beberapa insiden pergesekan Luhut—sebelumnya Kepala Staf Kepresidenan—dengan Sudirman dalam urusan tambang dan energi telah pula diungkap media massa. Analisis tentang perkubuan politik orang-orang pemerintahan tak terhindarkan. Sudirman dianggap satu kutub dengan Wakil Presiden Jusuf Kalla—pejabat yang berkali-kali membela Menteri Energi itu. Luhut berada di kutub yang lain. Dalam beberapa kasus, Luhut memang kerap bersimpang jalan dengan Wakil Presiden.
Silang sengkarut ini harus dibereskan. Perkubuan, betapapun keberadaannya tak bisa ditolak, harus diabaikan. Penegak hukum harus kembali ke pokok persoalan: pencatutan nama dan upaya pemerasan. Tudingan bahwa Sudirman membuka transkrip rekaman agar selamat dari gelombang kedua perombakan kabinet harus dianggap sebagai bunga-bunga cerita yang tak relevan.
Anak buah berseteru, Presiden sepatutnya turun tangan. Jangan membiarkan gesekan ini berlarut-larut. Yang keruh harus dijernihkan, yang bengkok sepatutnya diluruskan. Presiden mesti menjalankan kewajiban politik, hukum, dan moralnya untuk membuka seterang-terangnya apa yang terjadi.
Secara politik, Presiden wajib membuktikan diri memang sebersih yang diyakini para pemilihnya. Secara hukum, ia mesti bertindak karena perkara itu merupakan penyalahgunaan wewenang. Secara moral, ia tak boleh menoleransi praktek kotor di pusat kekuasaan. Pelaksanaan kewajiban itu pun mesti diikuti langkah pembersihan orang-orang dekat di sekitarnya.
Seraya Presiden memastikan hal itu, pemerintah sebaiknya membentuk sebuah komisi independen untuk mengkaji ihwal Freeport. Komisi inilah, dengan bantuan konsultan dan penasihat keuangan internasional, yang mesti mencari hasil optimal untuk negara dari operasi Freeport.
Langkah ini diharapkan dapat menutup celah bagi Setya Novanto dan pemain lain untuk ambil kesempatan: para memburu rente yang mengejar sebesar-besarnya keuntungan untuk diri sendiri dan segelintir kecil handai tolan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo