Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Pemolisian Humanis : Transformasi Penegakan Hukum yang Berkeadilan (2)

Penegakan hukum adalah langkah terakhir, apabila penyelesain masalah melalui upaya-upaya restoratif justice tidak dapat dilakukan.

26 Juli 2022 | 09.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Petugas kepolisian mengarahkan pengendara motor untuk mendapatkan vaksin COVID-19 saat razia vaksin di jalur wisata Puncak, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, Minggu, 26 Desember 2021. Polisi juga memberlakukan vaksin di tempat bagi wisatawan di kawasan Puncak yang kedapatan belum melakukan vaksinasi. ANTARA FOTO/Yulius Satria Wijaya

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dengan semakin berkembangnya tuntutan masyarakat seturut dinamisnya perubahan sosial, kepolisian harus mampu beranjak untuk tidak hanya bekerja sebagai institusi, tetapi turun langsung melindungi dan mengayomi (to protect and serve). Dalam konteks inilah, penulis mendefinisikan policing sebagai pemolisian. Kendati dalam banyak literatur juga masih ditemukan perdebatan tentang konsep policing sebagai perpolisian. Dalam pemaknaan ini, perpolisian meliputi segala hal ihwal kepolisian baik itu organisasinya, pemolisiannya, maupun masyarakatnya serta banyak hal ihwal lainnya tentang kepolisian.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendefinisian policing sebagai perpolisian menurut penulis kurang tepat karena perpolisian adalah kata benda, sehingga ia lebih tepat merujuk pada pranata atau lembaga; sementara policing adalah kata kerja berimbuhan (verb-gerund) yang merujuk pada makna model atau cara. Sebab itu, pemolisian mengacu pada segenap pengerahan struktur dan sumber daya kepolisian untuk menyelenggarakan tugas-tugas pokok dalam rangka mewujudkan keteraturan sosial di tengah-tengah masyarakat.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Guna melaksanakan tugas-tugas itu, pemolisian harus dilakukan dengan mengedepankan nilai-nilai humanis. Pemolisian humanis sebenarnya telah ada dalam DNA Polri sejak awal institusi ini berdiri. Poin kedua dan ketiga 10 Tri Brata menunjukan hal itu. Brata ke-2, “Menjunjung tinggi kebenaran, keadilan, dan kemanusiaan dalam menegakkan hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945” dan Brata ke-3, “Polisi Indonesia senantiasa melindungi, mengayomi, dan melayani masyarakat dengan keikhlasan untuk mewujudkan keamanan dan ketertiban.”

Dalam konteks masyarakat Indonesia, terdapat pengakuan terhadap adanya hukum adat, hukum agama, hukum pidana, dan hukum perdata. Hal ini sesungguhnya telah memberi ruang bagi pelaksanaan pemolisian humanis dalam konteks penegakan hukum yang berkaitan dengan penyelesaian masalah. Hal itu kemudian mendorong dicanangkannya Grand Strategy Polri 2005 - 2025 yang menitikberatkan pada reformasi kultural, struktural, dan instrumental untuk mewujudkan Polri yang semakin profesional, Polri yang mampu memberikan pelayanan publik yang terintegrasi, modern, murah, dan cepat, juga menghadirkan pemeliharaan kamtibmas dan penegakan hukum yang prediktif, bertanggung jawab, transparan, serta menjamin rasa keadilan masyarakat. Inti dari pemolisian masyarakat terletak pada dua ide besar, yakni kemitraan dan penyelesaian masalah (problem solving).

Melalui strategi kemitraan, polisi diharapkan mampu memberi respons tepat sesuai dengan apa yang diharapkan masyarakat dan apa yang dipersepsikan masyarakat sebagai jalan terbaik yang dapat dilakukan polisi untuk menjawab harapan itu. Kemitraan ini juga menekankan pada kesetaraan, di mana polisi dan masyarakat bukan lagi diposisikan sebagai subjek dan objek keamanan, tetapi sama-sama sebagai subjek yang bergandengan tangan dengan masyarakat mewujudkan keamanan.

Kemitraan juga diarahkan secara konstruktif untuk pemecahan masalah sosial, pencegahan, serta penanggulangan gangguan keamanan, dan ketertiban sosial. Inilah yang menjadi pendorong fungsi pemolisian berikutnya, yaitu penyelesaian masalah. Penyelesaian masalah dimaksudkan sebagai penguatan masyarakat untuk bekerja sama dengan polisi dalam mengidentifikasi dan merespons keamanan masyarakat, dengan menghadirkan pencegahan kejahatan, maupun penyelesaian masalah-masalah hukum yang muncul di tengah masyarakat, serta menetapkan prioritas respons terhadap sumber atau akar masalah.

Dalam konteks penegakan hukum, Polri terus melakukan transformasi Presisi. Transformasi tersebut dilakukan melalui empat pilar, yakni:

  1. Transformasi organisasi, yang meliputi pengembangan polres-polres, rencana pembentukan Direktorat PPA dan Direktorat Siber di kepolisian daerah, penghapusan kewenangan penyidikan di 1.062 Polsek 12 dengan memaksimalkan upaya problem solving dan kemitraan dari Bhabinkamtibmas, pembangunan zona integritas melalui pencapaian predikat Wilayah Bebas Korupsi (WBK) dan Wilayah Birokrasi Bersih dan Melayani (WBBM) di seluruh satuan kerja dan satuan wilayah Polri secara bertahap
  2. Transformasi operasional, meliputi optimalisasi E-Manajemen Penyidikan, penerapan restorative justice dan penegakan hukum yang berkeadilan, program virtual police, pemanfaatan teknologi kepolisian (SP2HP Online, E-PPNS, E-TLE dsb,) pengembangan scientific crime investigation, dst.
  3. Transformasi pelayanan, meliputi pelayanan yang ramah anak, perempuan, dan disabilitas, serta pemanfaatan aplikasi untuk pelayanan digital Polri sehingga mempermudah dan mempercepat proses pelayanan;
  4. Transformasi pengawasan. Melalui sistem pengawasan berbasis teknologi yang mudah dan cepat untuk dimanfaatkan masyarakat seperti, EDumas dan E-Propam Presisi, penerbitan Perkap Nomor 2 Tahun 2022 tentang pengawasan melekat, adanya pengawasan hingga tingkat anggota dan keluarga, serta optimalisasi peran Biro Wassidik. Seluruh transformasi tersebut bermuara pada tekad kuat Polri untuk menghadirkan keadilan di tengah-tengah masyarakat.

Adil bukan saja tentang memproses hukum 13 pelaku kejahatan, tetapi –dan ini yang lebih penting— memberikan pemenuhan hak-hak dasar seluruh anggota masyarakat. Itu sebabnya, Polri harus selalu mengedepankan pendekatan humanis yang berisi penghormatan terhadap nilai-nilai kemanusiaan; dan institusi ini melakukan hal itu dalam beberapa kebijakan dan praktik penegakan hukum.

Kita patut bersyukur bahwa Kepolisian Republik Indonesia terus menunjukkan prestasi yang membanggakan. Survei yang dilakukan oleh Litbang Kompas hingga Juni 2022 ini masih menempatkan Polri sebagai salah satu lembaga penegak hukum dengan citra positif tertinggi. Salah satu faktor yang memainkan peran besar dalam pencapaian ini adalah konsep Transformasi menuju Polri yang Presisi (Prediktif, Responsibilitas, dan Transparansi berkeadilan) yang diusung Kapolri Jenderal Pol. Drs. Listyo Sigit Prabowo M.Si dan jajaran. Hanya dalam waktu tiga bulan setelah konsep itu diperkenalkan, citra positif Polri melesat menjadi 78,7 persen setelah sebelumnya bertengger di skor 71 persen. Capaian ini sekaligus mengantarkan Polri sebagai lembaga penegak hukum dengan citra terbaik kedua setelah TNI.

Namun, harus diakui bahwa terdapat sejumlah hal yang masih harus diperbaiki dalam penyidikan tindak pidana yang menjadi sorotan publik, dan berujung sebagai pengaduan masyarakat. Akan tetapi, dengan berbagai kebijakan dan 14 inovasi yang terus dikembangkan di tubuh Polri, kendala tersebut dapat diminimalisir.

Terkait itu, penulis ingin menyampaikan beberapa rekomendasi:

  1. Transformasi menuju Polri yang Presisi (Prediktif, Responsibilitas, dan Transparansi berkeadilan) yang diusung Kapolri Jenderal Pol Drs. Listyo Sigit Prabowo, M.Si. dan jajaran, perlu terus didukung agar dapat memainkan peran penting dalam pelaksanaan tugas dan fungsi kepolisian.
  2. Kepolisian tidak akan pernah puas dan berhenti dengan pencapaian yang telah diperoleh saat ini, tetapi akan terus adaptif dan inovatif dalam menghadapi dinamika perubahan sosial masyarakat.
  3. Setiap anggota Polri harus memahami dan mengimplementasikan nilai-nilai demokratis, yang meliputi; (1) mewujudkan supremasi hukum, (2) memberikan jaminan dan perlindungan HAM, (3) transparan, (4) akuntabilitas publik, dan (5) berorientasi pada peningkatan kualitas hidup masyarakat, dalam mewujudkan paradigma democratic policing;
  4. Tanamkan kepada seluruh anggota Polri bahwa semangat utama dalam penegakan hukum bukanlah pemberian hukuman, namun agar bagaimana masyarakat tidak menjadi korban kejahatan atau sebagai pelaku kejahatan.
  5. Penegakan hukum adalah langkah terakhir (the last resort), apabila penyelesain masalah melalui upaya-upaya restoratif justice tidak dapat dilakukan.
  6. Kajian terkait kepolisian terus berkembang, sehingga perlu dibentuk lembaga kajian kepolisian dan pemolisian, dibawah naungan Lemdiklat Polri, sebagai upaya mewujudkan pemolisian yang humanis dan transformatif dalam penegakan hukum yang berkeadilan.

Sebagai penutup, penulis ingin membuat kesimpulan, bahwa “Pemolisian humanis dan penegakan Hukum yang berkeadilan adalah dua sisi koin mata uang yang saling melengkapi satu dengan lainnya. Keduanya adalah keseimbangan dari suatu wajah pemolisian yang benar-benar bernilai untuk tegaknya supremasi hukum serta keadilan masyarakat. Keadilan yang abadi harus terus diperjuangkan, setidak-tidaknya kita tidak pernah berhenti menjaga nilai-nilai yang paling mendekatinya. Keadilan itulah juga akan menjaga peradaban kita”

Keterangan:

Tulisan ini bagian terakhir dari dua tulisan, yang diambil dari orasi ilmiah Pengukuhan Guru Besar Kehormatan Komisaris Jenderal Prof. Dr. Gatot Eddy Pramono M.Si di Universitas Riau, pada Rabu 20 Juli 2022.

 

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus