Pande Radja Silalahi
Perkembangan yang diperlihatkan berbagai indikator ekonomi makro segera sesudah penyelenggaraan pemilu sungguh menarik perhatian. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di Bursa Efek Jakarta (BEJ) melonjak tajam. Nilai tukar rupiah terhadap dolar AS menguat secara berarti. Dan penguatan ini terjadi bersamaan dengan penurunan suku bunga Sertifikat Bank Indonesia (SBI). Perkembangan tersebut seakan mengisyaratkan bahwa faktor non-ekonomi yang selama ini membebani ekonomi Indonesia setidaknya telah mengecil, kendati belum bisa dikatakan sirna.
Sementara itu, dari hasil penghitungan suara, bisa disimpulkan bahwa tidak mungkin ada partai yang mampu memperoleh suara atau kursi di DPR lebih dari setengah bagian. Karena itu, demi terbentuknya pemerintahan baru, perlu digalang strategic alliance atau koalisi.
Perkembangan semacam ini tampaknya mendapat perhatian serius dari Dana Moneter Internasional (IMF). Di luar jadwal yang ditentukan sebelumnya, pejabat IMF, Stanley Fischer dan Hubert Neiss, secara khusus datang ke Indonesia untuk bertukar pikiran dengan pemimpin lima partai terbesar atau calon pembuat keputusan di masa yang akan datang. Tapi, sebelum acara tukar pikiran itu berlangsung, berbagai pendapat sempat terlontar. Ada yang mengatakan bahwa pemerintah yang akan datang akan mengubah berbagai program yang disusun pemerintah bersama IMF. Disebut-sebut pula bahwa pemerintah baru akan menerapkan fixed exchange rate sebagai pengganti floating exchange rate yang berlaku dewasa ini. Rumor mengenai pergantian sistem nilai tukar tersebut sangat menarik perhatian masyarakat, termasuk pejabat IMF, karena perubahan sistem nilai tukar pernah dianjurkan oleh salah seorang fungsionaris dari partai pemenang pemilu.
Di tengah rumor dan silang pendapat itu, tampaknya hasil tukar pikiran antara pejabat IMF dan pemimpin partai terbesar telah menghasilkan kesepakatan dan keadaan saling mengerti. Kesepakatan yang paling menonjol adalah usaha pemulihan ekonomi yang selama ini telah dilaksanakan akan terus dilanjutkan. Sistem nilai tukar yang sekarang berlaku akan terus dipertahankan. Dan kalaupun hendak diubah, hal itu akan dilaksanakan pada waktu dan kondisi yang tepat.
Terciptanya keadaan saling mengerti ini rupanya telah meningkatkan optimisme, khususnya di kalangan pelaku pasar. Sehari setelah pertemuan tersebut, indikator ekonomi menunjukkan perkembangan yang sangat mencengangkan. IHSG meningkat tajam, sementara nilai tukar rupiah menguat dengan cepat. Penguatan rupiah ini membuat banyak orang terperangah, bahkan hal itu dianggap berbahaya karena terlalu cepat.
Para ekonom, termasuk pejabat IMF, tampaknya sependapat bahwa nilai tukar rupiah seharusnya berkisar antara Rp 6.000 dan Rp 6.500 per dolar AS. Walau demikian, agar tidak menimbulkan masalah yang tak diinginkan, penguatan rupiah harus sejalan dengan kemampuan para pelaku ekonomi dalam menyesuaikan diri dengan perkembangan yang terjadi. Dan yang lebih penting, penguatan rupiah harus ditopang oleh keadaan fundamental ekonomi.
Harus diakui, kecepatan penguatan rupiah tersebut belum bisa diimbangi dengan kemampuan para pelaku ekonomi untuk menyesuaikan diri. Banyak eksportir yang membeli bahan baku yang dibutuhkannya pada saat nilai tukar sekitar Rp 9.000 per dolar AS merasa terancam dengan adanya kemungkinan peningkatan impor produk yang menjadi saingan, hanya karena penguatan rupiah terjadi begitu cepat.
Di sisi lain, mungkin saja ada yang berpendapat bahwa penguatan rupiah tidak perlu menunggu para pelaku ekonomi menyesuaikan diri, dan penguatan rupiah secara cepat juga tidak perlu dirisaukan. Namun, tak dapat dimungkiri, sampai saat ini masalah fundamental pada ekonomi Indonesia belum bisa diatasi secara baik. Sektor perbankan, yang menjadi jantung perekonomian, masih berada pada situasi yang sangat sulit. Walau otoritas moneter telah melakukan berbagai rintisan ke arah penyehatan bank, keadaan sektor ini masih sangat memprihatinkan. Ekuitas semua bank umum sampai akhir April 1999 masih minus sekitar Rp 241 triliun, padahal sampai saat ini jumlah kredit bermasalah atau non-performing loan (NPL) masih sangat tinggi.
Walaupun otoritas moneter berhasil menurunkan tingkat suku bunga dan sejak minggu keempat bulan Juni 1999 bunga SBI turun hingga sedikit di atas 20 persen, raihan ini menjadi kurang berarti karena bank-bank belum mampu menyalurkan kredit yang dibutuhkan oleh sektor riil. Padahal, saat ini sektor riil sangat memerlukan kucuran dana. Tapi, karena bank masih berada dalam kesulitan besar, kebutuhan tersebut tidak akan terpenuhi. Dan akibatnya, penguatan nilai tukar rupiah tidak mendapat topangan yang mantap. Disimak dari perkembangan seperti ini, mungkin sekali nilai tukar rupiah akan berfluktuasi. Kemungkinan terjadinya fluktuasi nilai tukar rupiah kian hari kian membesar, seiring dengan semakin meningkatnya ketidakpastian di bidang politik.
Terlepas dari kerawanan fundamental ekonomi itu, perlu dicatat pula bahwa pemerintahan baru akan mulai melaksanakan tugasnya pada tahun 2000. Ironisnya, kita juga menyadari, kian lama kian tidak pasti siapa yang akan menjadi pemimpin pemerintahan baru tersebut. Dengan masa transisi yang relatif cukup lama dan semakin meningkatnya kemungkinan terjadinya deadlock pemilihan presiden, para pelaku ekonomi pun mulai merasakan adanya peningkatan ketidakpastian. Bila kesepakatan di antara pemimpin politik tidak tercapai dalam waktu dekat, para pelaku ekonomi akan kehilangan kepercayaan kembali. Kalau ini terjadi, mereka akan bereaksi. Dan bentuk reaksi tersebut lagi-lagi akan menyebabkan ekonomi Indonesia terpuruk. Karena itu, kita hanya bisa berharap politikus Indonesia lebih dulu mengutamakan tanggung jawab moralnya terhadap bangsa dan negara, bahkan seharusnya menempatkan tanggung jawab itu di atas segala-galanya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini