Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

kolom

Pendekatan Perilaku untuk Mengatasi Judi Online

Masalah judi online tak cukup diselesaikan melalui upaya penegakan hukum. Pemerintah perlu mempelajari perilaku masyarakat.

17 Juli 2024 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Tren masyarakat menggunakan platform judi online mulai naik saat pandemi Covid-19 melanda pada 2020.

  • Pemain judi online di Indonesia diperkirakan mencapai lebih dari 4 juta orang pada Juli 2024.

  • Pemerintah harus memperhitungkan dan melihat berbagai aspek penanganan judi online, dari aspek sosial-ekonomi, psikologis, hingga politik.

JUDI online menjadi persoalan sosial serius di Indonesia, layaknya penyakit kronis yang menggerogoti daya finansial masyarakat. Korbannya bukan hanya rakyat jelata yang tergiur mempertaruhkan uang, tapi juga mereka yang memiliki kecakapan pengetahuan dan pendidikan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baru-baru ini, Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) Ivan Yustiavandana menyebutkan lebih dari seribu anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan dewan perwakilan rakyat daerah beserta sekretariat jenderalnya terlibat transaksi judi online. Pernyataan itu membuktikan bahwa judi online merasuki berbagai kalangan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Tren masyarakat menggunakan platform judi online mulai naik saat pandemi Covid-19 melanda pada 2020, yang disertai dengan terpukulnya perekonomian global. Banyaknya pemain judi online di Indonesia kala itu terlihat dari jumlah transaksinya yang mencapai 43,6 juta dengan nilai Rp 57,91 triliun.

Padahal, tiga tahun sebelumnya, terpantau baru ada sekitar 250 ribu transaksi yang berkaitan dengan judi online dengan nilai Rp 2 triliun. Pada 2023, jumlah transaksi judi online melonjak menjadi 168 juta dengan nilai transaksi mencapai Rp 327 triliun. Berdasarkan data PPATK 2023, pemain judi online di Indonesia sebanyak 3,5 juta orang dan diperkirakan mencapai lebih dari 4 juta orang pada Juli 2024.

Kerugian ekonomi akibat judi ditanggung mereka yang paling rentan mengalami kerugian sosial dan moneter. Meningkatnya jumlah orang yang jatuh miskin akan menurunkan daya beli, yang memicu kegoncangan ekonomi secara menyeluruh, termasuk mengganggu suprastruktur sosial.

Pemerintah kini berusaha menunjukkan keseriusan dalam menindak judi online lewat penegakan hukum dengan membentuk Satuan Tugas Pemberantasan Perjudian Daring. Ini dilakukan setelah kritik publik menilai ada pembiaran terhadap praktik judi online yang dikendalikan dari sejumlah negara, terutama Cina, Vietnam, Myanmar, Kamboja, dan Laos.

Kecurigaan bahwa negara memanfaatkan judi online untuk meraup pendapatan juga berkembang di masyarakat. Adanya unsur keterlibatan aparat negara dan oknum aparat penegak hukum menjadi persoalan serius.

Penegakan hukum saja tentu tidak cukup. Pemerintah perlu mempelajari perilaku masyarakat yang bermain judi online untuk menyelesaikan persoalan ini dengan lebih menyeluruh. Pemerintah harus memperhitungkan dan melihat berbagai aspek penanganannya, dari aspek sosial-ekonomi, psikologis, hingga politik.

Menurut penelitian Gambling Research Exchange Ontario pada 2018, masyarakat miskin yang memiliki pengetahuan rendah memang rentan menjadi sasaran dan target pemasaran judi. Mereka cenderung terpikat oleh judi untuk menyelesaikan masalah finansialnya secara instan. Bagi kalangan menengah ke atas, judi dijadikan alat rekreasi semata.

Sedangkan penelitian oleh Gainsbury, Tobias-Webb, dan Slonim berjudul "Behavioral Economics and Gambling: A New Paradigm for Approaching Harm-Minimization" pada 2018 menunjukkan berjudi bukanlah perilaku ekonomi yang rasional. Penelitian ini memandang judi online dari kacamata ilmu perilaku serta menguraikan bahwa perilaku berjudi bersumber dari berbagai motif, dari sisi sosiologis, psikologis, hingga politik.

Dari kacamata sosiologis, berjudi erat kaitannya dengan isu kemiskinan. Orang yang berjudi cenderung mencari jalan pintas atas permasalahan sosial yang mereka alami. Dalam banyak kasus terakhir, mereka yang kehabisan modal buat berjudi online menggunakan dana dari pinjaman online (pinjol) sebagai modal untuk bertaruh.

Akibatnya, tidak sedikit pemain judi online yang kemudian menjadi buruan penagih utang perusahaan pinjol. Sebagian dari mereka memilih menjadi pelaku kriminal dengan niat menyelesaikan persoalan finansialnya. Sebagian lagi memilih mengakhiri hidupnya.

Dari kacamata psikologis, orang yang berjudi memiliki bias bahwa mereka dapat mengatur hasil perjudian hanya berdasarkan kemenangan yang bersifat selektif. Pemerintah perlu melakukan intervensi psikologis dengan pendekatan personal kepada masyarakat yang terjebak judi. Bimbingan konseling sangat dibutuhkan bagi mereka untuk bisa keluar dari jerat judi.

Upaya penyadaran tidak cukup hanya dengan kampanye publik. Pendekatan pemberantasan judi harus dilakukan secara berlapis dan menyeluruh. Pemerintah mesti memperluas cakupan penyuluhan dan sosialisasi dampak buruk judi online tanpa harus menggunakan pendekatan menakut-nakuti dengan dogma agama, seperti dosa atau menyulitkan keluarga.

Mereka yang terjebak judi online harus dibantu dan dibimbing untuk keluar dari masalahnya dengan pendekatan personal dan mengarahkan mereka melakukan hal yang lebih positif bagi diri sendiri.

Dari kacamata politik, memang ada pihak-pihak yang mempersulit pelarangan judi online, seperti pengusaha judi, oknum aparat, dan pejabat negara yang meraup keuntungan dari bisnis haram ini. Bagi negara yang melegalkan praktik ini, perilaku judi memang sulit diberantas karena mendatangkan keuntungan ekonomi bagi negara.

Pendekatan hukum saja tidak akan menjadi penawar untuk penyakit kronis judi online di masyarakat. Identifikasi masalah dengan melihat perilaku sosial, psikologis, ataupun politik sangat diperlukan untuk menemukan solusi mujarab.

Pemerintah harus berfokus pada kebijakan publik yang memberantas kemiskinan dengan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Di sisi lain, upaya mendorong masyarakat meninggalkan judi online lewat pendekatan sosial dan personal juga harus dilakukan bersamaan.

Upaya intervensi guna menekan angka kesenjangan sosial yang terbuka lebar pun harus dilakukan pemerintah. Sebab, hal tersebut menjadi salah satu akar persoalannya saat ini. Penerapan strategi yang komprehensif, pelibatan aspek penegakan hukum, pemberdayaan ekonomi, dukungan psikologis, dan regulasi politik yang kuat adalah hal mutlak yang harus dilakukan. 

Dengan langkah-langkah yang dilakukan sejalan, masalah judi online dapat diatasi secara efektif. Yang terpenting dari itu semua adalah niat tulus pemerintah menjadikan judi online masalah serius harus ditangani dengan lebih serius pula. Upaya perang terhadap judi online harus menjadi agenda prioritas dalam waktu yang cepat agar tak menjadi gertak sambal semata.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Dara Nasution, Head of digital Golkar Institute dan alumni Master of Public Policy Oxford University, berkontribusi dalam penulisan artikel ini. Redaksi menerima tulisan opini dari luar dengan syarat: panjang sekitar 5.000 karakter (termasuk spasi) atau 600 kata dan tidak sedang dikirim ke media lain. Sumber rujukan disebutkan lengkap pada tubuh tulisan. Kirim tulisan ke e-mail: [email protected] disertai dengan foto profil, nomor kontak, dan CV ringkas.

 

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus