Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Pengadaan Pesawat Tempur dan Masalah Kedaulatan Udara

Pengadaan pesawat tempur baru akan memperkuat TNI Angkatan Udara. Masih ada sejumlah masalah esensial yang harus dibereskan.

30 Agustus 2023 | 00.00 WIB

Ilustrasi: Tempo/Kuswoyo
Perbesar
Ilustrasi: Tempo/Kuswoyo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Ringkasan Berita

  • TNI Angkatan Udara akan segera dilengkapi dengan sejumlah pesawat terbang tempur baru.

  • Sejumlah masalah dan tantangan kini masih dihadapi TNI AU.

  • Kedaulatan wilayah udara Indonesia belum masuk ke dalam konstitusi.

Chappy Hakim
Kepala Staf TNI Angkatan Udara (2002-2005) dan Ketua Umum Pusat Studi Air Power Indonesia

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Tentara Nasional Indonesia (TNI) Angkatan Udara akan segera dilengkapi dengan sejumlah pesawat terbang tempur baru dari generasi ke-4 dan ke-4.5. Pesawat tempur tersebut terdiri atas 12 pesawat Mirage 2000-5 produk generasi ke-4 bekas Qatar, 42 jet tempur Rafale generasi ke-4.5 dari Prancis, dan 24 F-15 EX Fighter Aircraft generasi ke-4.5 buatan Boeing, Amerika Serikat. Sebanyak 78 pesawat tempur itu akan masuk ke dalam arsenal jajaran armada udara TNI Angkatan Udara. Ini jumlah yang cukup signifikan bagi sebuah angkatan udara dalam formasi kekuatan jajaran pesawat tempurnya. Terlepas dari 12 di antaranya merupakan pesawat bekas, tetap saja puluhan pesawat tempur itu akan mempengaruhi performa kekuatan tempur TNI Angkatan Udara.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600

Kontroversi mengenai pengadaan pesawat ini tentu sudah tersiar, dari soal kesiapan sumber daya manusia, perangkat pemeliharaan, infrastruktur bagi skuadron pesawat tempur yang akan tiba, hingga dana bagi kesiapan operasi dan kesiapan tempurnya. Ada pula kontroversi mengenai alasan mengapa membeli pesawat bekas, mengapa proses pembelian terkesan terburu-buru, dan lain sebagainya. Terlepas dari semua kontroversi itu, penambahan jumlah pesawat terbang bagi sebuah angkatan udara dipastikan, dalam pengertian terbatas, akan lebih memberdayakan TNI Angkatan Udara dalam menjalankan tugas pokoknya.

Tugas Pokok Angkatan Udara

Secara sederhana, tugas pokok angkatan udara adalah menjaga kedaulatan negara di udara. Untuk dapat menjalankan tugasnya, landasannya adalah kewenangan penuh dalam mengelola ruang udara, dalam hal ini ruang udara di atas wilayah negara atau wilayah udara kedaulatan nasional. Prinsip ini bersandar pada hukum udara internasional dan tercantum dalam Konvensi Chicago 1944, yang menyatakan bahwa kedaulatan negara di udara adalah komplet dan eksklusif. Maka tugas penegakan kedaulatan negara di udara memiliki tiga elemen dasar, yaitu komando udara (command of the air), pemanfaatan ruang udara (use of airspace), dan penegakan hukum (law enforcement).

Komando udara akan berorientasi pada penjagaan perbatasan (border protection) dan menjaga keamanan wilayah udara nasional. Pemanfaatan ruang udara berfokus, antara lain, pada ekonomi, dalam hal ini mengenai pendapatan negara dari penggunaan wilayah udara nasional. Penegakan hukum berfokus pada upaya penindakan langsung terhadap pelanggaran wilayah udara yang dilakukan oleh penerbangan liar atau tanpa izin. Wilayah udara adalah sumber daya alam yang, bila merujuk pada konstitusi, harus dikuasai negara dan diperuntukkan bagi sebesar-besarnya kesejahteraan rakyat.

Tantangan dan Perkembangan

Dalam melaksanakan tugasnya, terdapat beberapa tantangan yang dihadapi TNI Angkatan Udara. Pertama, wilayah udara kedaulatan Indonesia sampai saat ini belum secara resmi dicantumkan dalam konstitusi. Sebenarnya hal ini telah diperjuangkan oleh Kelompok Kerja Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran ketika proses amendemen UUD 1945 berlangsung. Namun, sampai sekarang, usulan untuk mencantumkan wilayah udara teritorial Indonesia sebagai wilayah kedaulatan negara tidak atau belum diterima.

Kedua, masalah alur udara (airway) di atas Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI). Indonesia diakui secara internasional sebagai negara kepulauan berdasarkan Konvensi Hukum Laut PBB (UNCLOS). Dalam konvensi ini, seiring dengan pengakuan Indonesia sebagai negara kepulauan, Indonesia diwajibkan memberikan hak lintas damai (right of innocent passage) atau archipelagic sea lane passage. Hak ini dikenal sebagai ALKI.

Indonesia memberikan fasilitas tiga jalur, yaitu ALKI 1, ALKI 2, dan ALKI 3. Semua kapal negara lain dapat dengan bebas dan tanpa izin melintasi jalur ALKI. Dengan perkembangan teknologi, ada kapal-kapal negara lain yang dapat membawa pesawat terbang di dalamnya. Persoalan yang muncul adalah mereka merasa juga berhak terbang melintas di atas ALKI, sesuai dengan/atau merujuk pada UNCLOS. Masalahnya, hukum udara internasional tidak mengenal jalur penerbangan bebas tanpa izin, walaupun wilayah udara yang berada di atas ALKI. Di sinilah muncul perbedaan mendasar dari rezim hukum udara internasional dengan rezim hukum laut internasional. Perdebatan ini belum ada solusinya sampai sekarang.

Ketiga, status wilayah udara kedaulatan yang terletak di kawasan kritis (critical border). Perbatasan negara yang rawan atau kritis adalah wilayah perbatasan yang bersinggungan dengan negara lain. Lebih kritis lagi adalah wilayah perbatasan negara yang berbatasan dengan beberapa negara. Kawasan tersebut adalah wilayah udara di sekitar Selat Malaka serta perairan Kepulauan Riau dan Natuna.

Tahun lalu, Indonesia dan Singapura telah menandatangani persetujuan yang, antara lain, berisi pendelegasian wilayah udara kedaulatan Indonesia kepada otoritas penerbangan Singapura. Hal tersebut tertuang dalam Peraturan Presiden Nomor 109 Tahun 2022 yang menyebutkan, antara lain, wilayah udara di kawasan itu didelegasikan kepada otoritas penerbangan Singapura untuk waktu 25 tahun dan akan diperpanjang. Dengan demikian, kewenangan mengelola wilayah udara di kawasan Selat Malaka serta perairan Riau dan Natuna berada di tangan otoritas penerbangan negara lain. Dengan demikian, TNI Angkatan Udara tidak memiliki kewenangan sekaligus tidak mungkin melaksanakan kewajiban menjalankan tugas pokoknya di wilayah tersebut selama setidaknya 25 tahun.

Selain itu, perlu dicermati laju kemajuan teknologi penerbangan yang akan berhubungan langsung dengan perkembangan lingkungan strategis. Singapura telah mengembangkan drone otonom bernama Arrow dengan kemampuan swarm, yang mampu melesat dua kali kecepatan suara sekaligus dapat berkoordinasi dengan penerbang tempur. Demikian pula Australia yang juga telah mengembangkan drone Loyal Wingman bersama Boeing, yang bisa mengawal dan berkomunikasi dengan pilot tempur dan pada saat yang sama mampu berfungsi sebagai perisai.

Dalam menghadapi tantangan ini, khususnya perkembangan di dua negara tetangga, sistem pertahanan udara Indonesia dituntut untuk mengembangkan pendekatan yang lebih holistik, dari teknologi siber hingga penggunaan drone otonom serta integrasi konsep perang berbasis jaringan dan kecerdasan buatan (AI), barulah Indonesia diharapkan mampu menghadapi tantangan tersebut dengan lebih efektif. Semua itu dikenal akhir-akhir ini dengan istilah cyber world. Hanya melalui pendekatan ini, Indonesia diharapkan dapat membangun fondasi pertahanan udara nasional yang adaptif dan tangguh serta memberikan jaminan keamanan yang lebih baik dalam menjalankan tugas pokoknya menjaga kedaulatan negara di udara.

Kesimpulan

Dengan demikian, pengadaan puluhan pesawat terbang tempur TNI Angkatan Udara itu patut digarisbawahi dengan beberapa catatan. Wilayah udara teritorial NKRI perlu dinyatakan sebagai wilayah udara kedaulatan nasional dalam konstitusi. Dengan demikian, wilayah udara kedaulatan NKRI itu diberlakukan sebagai sumber daya alam yang harus dikuasai negara dan diperuntukkan bagi sebesar-besarnya kesejahteraan rakyat. Hal ini akan memudahkan TNI Angkatan Udara melaksanakan tugas pokoknya.

Di tataran global, harus segera didorong upaya untuk menyelesaikan sengketa perbedaan rezim hukum laut internasional dan hukum udara internasional dalam hal jalur udara di atas ALKI. Perjuangan ini menjadi agak sulit karena institusi, seperti Dewan Penerbangan dan Antariksa RI serta Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan), sudah dibubarkan. Masalah ini akan menyulitkan TNI Angkatan Udara dalam melaksanakan tugasnya.

Selanjutnya, pendelegasian wewenang pengelolaan wilayah udara teritorial NKRI harus segera dicarikan jalan keluar untuk diakhiri segera. Hal ini mempertimbangkan banyak hal yang berkaitan dengan pelaksanaan tugas pokok TNI Angkatan Udara. Masalah ini sejatinya bertentangan dengan Pasal 458 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan yang menyebutkan, "Wilayah udara RI, yang pelayanan navigasi penerbangannya didelegasikan kepada negara lain berdasarkan perjanjian, sudah harus dievaluasi dan dilayani oleh lembaga penyelenggara pelayanan navigasi penerbangan paling lambat 15 tahun sejak undang-undang ini berlaku." Artinya, setelah 2024, sudah tidak ada lagi wilayah udara yang didelegasikan pengelolaannya kepada negara lain.

Dengan mendelegasikan wewenang pengelolaan wilayah udara di kawasan Selat Malaka serta perairan Riau dan Natuna kepada negara lain, TNI Angkatan Udara tidak bisa melaksanakan tugas pokoknya. Dalam hal ini, TNI Angkatan Udara belum memerlukan pesawat terbang tempur dalam jumlah banyak.

Terakhir, dengan pesatnya kemajuan teknologi dan perkembangan lingkungan strategis, antisipasi bagi upaya pengembangan kemampuan TNI Angkatan Udara dalam melaksanakan tugas pokoknya sudah harus melihat dan menyesuaikan dengan teknologi yang telah memasuki era cyber world. Dalam hal ini, penggunaan drone otonom, kecerdasan buatan, serta sistem komando dan kendali digital berbasis satelit sudah harus menjadi pertimbangan utama dalam melengkapi alat utama sistem senjata TNI Angkatan Udara. Pada konteks ini, kesiapan sumber daya manusia akan menjadi faktor yang sangat menentukan, di samping kebutuhan perangkat keras dan perangkat lunaknya.


PENGUMUMAN

Redaksi menerima tulisan opini dari luar dengan syarat: panjang sekitar 5.000 karakter (termasuk spasi) atau 600 kata dan tidak sedang dikirim ke media lain. Kirim tulisan ke e-mail: [email protected] disertai dengan nomor kontak dan CV ringkas.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Chappy Hakim

Chappy Hakim

Kepala Staf TNI Angkatan Udara (2002-2005) dan Ketua Umum Pusat Studi Air Power Indonesia

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus