Denny M.R. *)
*) Pengamat musik, tinggal di Bogor
Popularitas album Badai Pasti Berlalu kini tinggal kenangan. Pernah menembus angka penjualan satu juta keping, musik pop legendaris karya Eros Djarot itu laku keras di masa-masa awal 1980-an. Begitu pula Camelia I dan Camelia II. Album Ebiet G. Ade ini masing-masing terjual satu juta keping. Contoh lain adalah album Dian Pisesha, Tak Ingin Sendiri, yang juga laris bukan main menjelang akhir 1970-an. Bintang lain adalah musik dangdut. Boleh dikata, jenis musik ini sempat merajai pasar selama sekitar satu dasawarsa sejak awal 1990. Tapi insan-insan dangdut pun kini harus angkat topi kepada para "penguasa baru" industri rekaman yang berkibar sepanjang tahun 2001: Sheila on 7, Padi, Dewa, serta Jamrud. Album kelompok-kelompok musik ini rata-rata terjual di atas satu juta keping.
Adalah Sheila on 7, yang didukung lima pemusik remaja asal Yogyakarta, yang pertama menyulut ledakan tersebut. Debut albumnya, Sheila on 7, secara mengejutkan diserbu oleh lebih dari hampir satu setengah juta pembeli di seluruh pelosok Tanah Air. Perolehan tersebut amat fantastis, mengingat pasar belakangan ini tengah dilanda kelesuan. Angka di atas tentu akan bertambah seiring dengan popularitas mereka yang kian menjulang. Itu terlihat dalam album kedua mereka, Kisah Klasik untuk Masa Depan, yang mencapai angka penjualan 1,8 juta keping! Grup rock Jamrud lewat album Ningrat juga mencatat angka penjualan yang sama. Pembaca, mungkin inilah perjualan kaset tertinggi dalam sejarah industri musik Indonesia.
Raja-raja baru pasar musik Indonesia ini tidak hanya berkibar di dalam negeri. Gaung kelompok Sheila on 7, misalnya, sampai juga ke Malaysia. Sekitar 200 ribu keping album mereka sudah laku di negeri jiran ini. Angka ini "cuma" berselisih 100 ribu keping dari album Raihan—kelompok penyanyi religius dari Malaysia—ber-judul Koleksi Nasyid Terbaik, yang kini tercatat sebagai album terlaris di sana. Kelompok lain yang juga mencatat rekor prestisius adalah Padi, sebuah kelompok musik pop yang beranggotakan beberapa remaja asal Surabaya. Manajer Pemasaran PT Sony Music Indonesia, Sony Handoyo—pemegang lisensi album Sheila on 7 dan Padi—telah membukukan angka penjualan 1,6 juta keping untuk album Padi berjudul Sesuatu yang Tertunda.
Ketika penggarapan album tersebut tengah memasuki tahap akhir (mixing), para agen telah memesan 300 ribu keping. Ini sebuah ironi. Di saat perusahaan rekaman lain harus pontang-panting memasarkan produknya, Sony Music telah menghadiahkan penghargaan Dobel Platinum untuk artisnya. Sekadar catatan, penghargaan ini hanya bisa diraih seorang artis atau grup band bila album mereka telah terjual sebanyak 150 ribu keping.
Kelompok musik Dewa, yang empat album sebelumnya rata-rata terjual di bawah angka satu juta, kini pun turut meroket. Karya terbaru Dewa, Bintang Lima, yang dipasarkan PT Aquarius Musikindo, laku hampir 1,6 juta keping. Belum lama ini mereka juga merilis kompilasi The Best of Dewa, yang juga laris. Angka-angka ini tentu saja meng-alirkan royalti yang deras ke saku para personel berbagai kelompok tersebut. Di luar mereka, ada pula kelompok yang turut berpesta-pora tanpa perlu memiliki kepandaian bermusik: para pembajak.
Nasib baik para penguasa baru industri pop itu agak bertolak belakang dengan apa yang kini tengah melanda blantika musik dangdut. Di masa jayanya—era Rhoma Irama—penjualan kaset satu album dangdut bisa mencapai 800-an ribu keping. Kini? Untuk menjual 100 ribu keping saja, produser dangdut megap-megap. Album terbaru Ikke Nurjanah, Selalu Milikmu, baru mencapai angka 40 ribu, sekalipun klip videonya gencar diputar berbagai stasiun televisi. Padahal nama Ikke Nurjanah sudah melejit lewat lagu Terlena, yang pernah meledak.
Di sini, muncul pertanyaan: apakah kualitas musik pop mengalami kemajuan pesat sehingga mampu menggeser selera massal yang selama ini didominasi seniman dangdut? Para "penguasa baru" pasar musik umumnya memang menawarkan ide segar. Sebagian di antaranya berhasil memenuhi tuntutan selera musik yang baik. Namun, penjelajahan kreatif mereka sesungguhnya belum sepesat hasil penjualannya. Ledakan penjualan album-album tersebut lebih disebabkan oleh berkembangnya apresiasi masyarakat pembeli kaset—terutama remaja—yang menjadi target pasar. Sekarang konsumen tampaknya lebih mampu memberi ruang bagi karya musisi lokal, sehingga pasar lebih terbuka.
Pembeli bisa menerima keluguan berekspresi, misalnya, yang men-jadi kunci sukses Sheila on 7. Tema lagu-lagu yang mereka ciptakan amat dekat dengan kehidupan remaja, sama sekali lepas dari rekayasa romantisme. Mereka berceloteh tentang cinta melalui kalimat sederhana, mudah dimengerti, dan langsung ke titik persoalan. Lirik demi lirik meluncur jernih, tidak seruwet lirik-lirik bahasa Sansekerta yang digunakan Guruh Sukarnoputra pada hampir setiap lagunya, yang bisa menyebabkan kening berkerut. Lirik mereka juga kebalikan dari puitisasi kelompok Kla Project. Maka, orang yang awam sekalipun tak akan sulit menangkap makna yang terkandung di dalam setiap lagu.
Coba simak, perempuan mana yang tidak menggelepar membaca kuplet lagu Sephia-nya Sheila on 7 ini:
S'lamat tidur kekasih gelapku
S'moga cepat kau lupakan aku
Kekasih sejatimu tak kan pernah
sanggup melupakanmu
Ditambah sedikit sentuhan orkestrasi dari Erwin Gutawa, segera saja Sephia menjadi lagu wajib para anak baru gede (ABG). Padahal, secara teknis, kemampuan musikal personel kelompok asal Yogyakarta ini sebenarnya biasa saja. Artinya, pemusik baru sekalipun bisa memainkan musik-musik mereka. Progresi nada lagu-lagu mereka juga tak terlalu orisinal. Dalam beberapa bagian, karya mereka bahkan mengingatkan kita pada konsep musik tiga jurusnya Koes Plus. Kelebihannya: Sheila on 7 datang di saat yang tepat, ketika remaja butuh idola yang mampu mewakili kegelisahan mimpi mereka. Unsur bunyi, dengan begitu, menjadi tak terlalu penting.
Ini berbeda dengan Padi, yang mulai menyusupkan "strategi" dalam bermusik. Karya Padi memperlihatkan adanya kesejajaran yang harmonis antara kualitas lirik dan bentuk aransemen. Lagu-lagu Padi tidak spontan seperti Sheila on 7, meski sama-sama menawarkan persoalan cinta. Hasilnya? Penggemar Padi cenderung heterogen. Sedangkan penggemar Sheila on 7 sebagian besar perempuan ABG—yang dikenal sebagai kelompok potensial pembeli kaset dan CD mereka. Bermusik dengan strategi ini diterapkan pula oleh Jamrud, empat musisi rock asal Cimahi, Jawa Barat. Bertahun-tahun meraung-raungkan musik-musik thrash metal, nama mereka hanya besar di kawasan Jawa Timur. Selama ini, Jawa Timur memang dikenal sebagai lahan subur untuk musik-musik pure rock. Sosok Jamrud selama ini identik dengan verbalitas: penampilan sangar, distorsi gitar, serta penggambaran serba vulgar, seperti yang bisa disimak dalam satu kuplet karya Jamrud yang berjudul Cerita Jalanan:
Di dalam roknya jariku menari
Tapi apa yang terjadi
Dia malah menjerit
Habis mukaku dikemplang hansip
Lirik-lirik model begini rupanya belum cukup untuk mendongkrak popularitas. Setelah merilis tiga album, Jamrud tetap dipandang sebagai underdog. Keberuntungan baru datang setelah album keempat, Ningrat, yang dirilis tahun 2001. Seolah menyadari langkahnya yang ketinggalan zaman, Jamrud tampil lebih "metropolis" dalam album ini. Adonan musiknya tak lagi menderu-deru. Semua unsur bunyi dikemas lebih komunikatif. Tak mengherankan jika lagu Surti Tejo atau Pelangi di Matamu (menjadi theme song dari sinetron dengan judul sama) amat akrab di telinga anak Jakarta. Laksana buldozer, album Ningrat berhasil mengacak-acak pasar kaset dan CD, yang semula tak terlalu ramah pada kehadiran mereka. Seandainya di sini ada penghargaan untuk kategori modern rock, Jamrud layak dicatat sebagai salah satu kandidat.
Dibandingkan dengan Jamrud, perjalanan kreatif kelompok Dewa lebih alamiah. Sejak album ketiga, Terbaik Terbaik, kemudian Pandawa Lima, dan terakhir Bintang Lima, format musik mereka secara intens memperlihatkan peningkatan, tapi tetap berjalan dalam koridor yang dibangun sejak awal. Perubahan mencolok terasa pada bentuk aransemen. Kalau mau jujur, kelompok ini potensial membangkitkan kembali tradisi musik gedongan ala Gank Pegangsaan sekitar dua dasawarsa lalu. Gank Pegangsaan adalah nama yang diambil dari sebuah rumah bernomor 56 di Jalan Pegangsaan, Jakarta Pusat. Di sini pernah berkumpul nama-nama "angker" seperti Guruh Sukarnoputra, Chrisye, Jockie Suryoprayogo, serta Keenan Nasution bersaudara.
Industri musik pop kini tengah berada dalam kondisi harmonis. Kini mulai jarang terjadi saling tuding: pemusik menganggap produser kelewat mendikte, produser berdalih pada tuntutan konsumen, sementara konsumen balik menilai pemusik kita latah, tidak memiliki daya rangsang. Akibatnya, mereka lebih suka memilih musik Barat. Selain itu, kini ada upaya menampilkan ide-ide baru, dan pasar meresponsnya dengan positif. Tinggal pelakunya, ia harus pintar-pintar menyikapi agar kondisi yang bagus ini tidak lekas buyar.
Kelesuan pasar, yang selama ini menjadi momok para pelaku musik, memang hanya bisa dihadapi dengan kreativitas, bukan dengan keluhan—sebuah sikap yang tidak bermutu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini