BROMOCORAH adalah sebuah nama lama. Kata itu dipakai di Jawa
sebelum bui disebut "lembaga pesyarakatan". Bahwa ia dipakai
lagi sekarang barangkali membuktikan sulitnya kita berpura-pura:
bui ternyata tetap bui.
Dalam film koboi kita sering melihat sapi-sapi dalam sebuah
peternakan, yang dicap dengan besi panas untuk jadi tanda ke
mana hewan itu harus pulang. Bromocorah adalah sapi dengan cap
besi panas. Penjara dengan demikian bukan api penyucian. Ia api
tempat menjerang stempel yang dipaksakan ke kulit secara pedih.
Secara permanen.
"O, penjara, tempat di mana waktu berhenti .... " Itulah kalimat
Andre Malraux dalam salah satu bagian yang muram dari novel La
Condition Humaine, menjelang Kyo menelan racun di lantai tahanan
kaum revolusioner Tiongkok.
Di penjara waktu memang berhenti karena masa depan telah
diputuskan tak ada. Hukuman bukanlah awal suatu perubahan, atau
metamorfosa, dari seorang kriminal jadi seorang warga negara
yang baik. Hukuman telah jadi suatu keputusan final. Kata
pepatah lama kita di sini berlaku: sekali lancung ke ujian,
seumur hidup tak percaya.
Memang aneh. Dalam kitab undang-undang kejahatan dihukum dalam
satu jumlah waktu tertentu. Kata kuncinya aalah "tertentu".
Anggapan kitab undang-undang ialah bahwa kejahatan bisa
didefinisikan -- dan bisa diterjemahkan dalam angka-angka.
Tujuannya ialah agar soalnya jadi obyektif.
Tapi apa lacur: obyektivitas itu akhirnya cuma ilusi. Fenomena
"bromocorah" menunjukkan itu. Apabila seorang yang telah
menjalani hukuman 3 tahun tetap dikuntit dan dianggap setengah
bersalah sebelum berbuat, pada saat itu yang berperan bukanlah
ukuran obyektif. Yang berperan adalah prasangka serta waswas.
Kita memang bisa mengatakan, apa boleh buat. Penjara, atau
"lembaga pemasyarakatan", ternyata memang telah gagal, Di
mana-mana, sejak 150 tahun yang silam, ada gagasan memperbaiki
tujuan dan teknik kepenjaraan, dengan harapan institusi itu bisa
mengurangi kejahatan di masyarakat. Tapi yang keluar dari sana
justru bajingan yang lebih tengik, para kriminal yang lebih
trampil. Maka polisi pun perlu punya catatan, masyarakat perlu
punya ingatan -- bukan pengampunan.
Lalu apa gunanya bui? Dan kenapa selama 150 tahun ini kegiatan
mengurung orang itu diteruskan juga?
Jika kita mau pinjam pendapat yang orisinal serta ruwet dari
Michel Foucault, penjara memang tak dimaksudkan untuk
menghilangkan pelanggaran hukum. Penjara adalah untuk
membeda-bedakannya, mengklasifikasikannya, dan menyimpan rekaman
suatu cara baik dalam niat mengawasi dan menguasai.
Karena itulah ada kategori "bromocorah" dan "bukan bromocorah".
Karena itulah ada usaha memonitor mereka. Karena itu pula ada
sikap untuk tiap waktu menangkal mereka -- ataupun menggunakan
mereka. Mereka memang tak bisa dengan begitu saja dilupakan.
TIDAKKAH dengan demikian segala proses hukum pada akhirnya hanya
penghalusan cara menuntut balas? Barangkali. Betapa
menyedihkannya memang, untuk mengatakan bahwa manusia adalah
hewan yang memiliki dendam -- karena ialah satu-satunya makhluk
yang punya rekaman dan sekaligus rencana.
Kini anak-anak Indonesia memang sudah bisa membaca seorang
bromocorah yang bernama Jean Valjean: orang yang jadi baik
karena rasa kasih orang lain kepadanya, seperti dikisahkan dalam
Les Miserables Victor Hugo yang telah diterjemahkan. Haruskah
kita bisikkan kepada anak-anak itu, bahwa Jean Valjean hanya
impian, dan rasa kasih cuma ada di buku Prancis?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini