SAMPAI akhir pekan lalu Ratu Siti Nashiratun Nisa belum juga
masuk sekolah kembali. Siswi kelas I SMA Negeri 68, Salemba,
Jakarta ini terus mempertahankan sikapnya: akan bersekolah asal
diperbolehkan memakai kerudung lagi. Masalah kerudung tampaknya
menghangat di Jakarta, setelah sempat membuat heboh di Bandung
(TEMPO, 11 Desember 1982). Ceritanya dimulai 5 Januari lalu,
tatkala Ratu muncul di sekolah memakai kerudung. Serta merta
pimpinan sekolah memanggil dan menanyainya, karena sebelumnya
Ratu tak pernah berkerudung.
Pemanggilan itu tidak hanya sekali, sampai 8 Januari 1982
pimpinan sekolah mengirim surat pada orangtua Ratu. Isinya Ratu
baru diizinkan masuk sekolah setelah mematuhi seragam sekolah
seperti yang ditentukan.
"Kami tidak mempersoalkan agama politik dan sebagainya. Yang
kami persoalkan adalah peraturan dan ketaatan sekarang siswa
yang telah menandatangani perjanjian untuk patuh pada peraturan
sekolah," kata Subandio, Kepala Sekolah SMA 68. Dalam perjanjian
yang ditandatangani Ratu dan ayahnya pada Juli 1982 -- kewajiban
buat semua murid baru -- memang tertera ketentuan tentang
peraturan pakaian seragam tersebut.
Peraturan tersebut didasarkan pada pedoman pakaian seragam bagi
siswa dalam lingkungan pembinaan Ditjen Pendidikan Dasar dan
Menengah. Di situ disebutkan bahwa pakaian seragam harian siswi
SMTA terdiri dari blus, berlengan pendek putih, rok abu-abu,
ikat pinggang, kaus kaki pendek dan sepatu hitam.
Kasus Ratu ternyata melebar. Pada 8 Januari Pengurus Wilayah
Pelajar Islam Indonesia (PII) Jakarta mengeluarkan pernyataan.
Isinya antara lain menyebutkan adanya "penekanan, teror,
intimidasi dan bentuk-bentuk ancaman lainnya terhadap
siswi-siswi Islam yang mengenakan jIbab (kerudung) ke sekolah."
Sebagai contoh disebut kasus di SMA 68.
Menurut pernyataan itu, mengenakan kerudung adalah "kewajiban
setiap wanita beriman dan merupakan ajaran Islam berdasar
perintah Allah dan Rasulnya". Mengenakan kerudung ke sekolah
juga dianggap PII tidak bertentangan dengan konstinusi negara.
Subandio membantah pernyataan itu. "Kami tidak pernah menteror
dan menskors Ratu," ujarnya. Namhn Tb. M. Bahauddin, ayah Ratu,
menganggap surat Kepala Sekolah SMA 68 itu "melebihi skorsing"
karena tidak ada batasan waktunya.
Ratu sendiri bersikeras. "Sebenarnya apa yang saya lakukan yang
dianggap tak mematuhi disiplin sekolah?" tantangnya. Menurut dia
kesadarannya memakai kerudung diperolehnya setelah mengikuti
latihan PII akhir Desember lalu. "Tak ada yang memaksa saya.
Kerudung ini saya pakai karena kesadaran saya untuk mengamalkan
ajaran Allah. Saya merasa berdosa sekali jika tak
mengenakannya," ujarnya.
Dua pekan lalu sebenarnya tercapai kompromi antara Subandio
dengan Bahauddin: Ratu boleh memakai kerudung sebelum dan
sesudah pelajaran. Tapi begitu pelajaran mulai, kerudung harus
dibuka dan lengan baju harus digulung. Namun Ratu tetap menolak.
Syahdan, kasus ini pun makin menggelembung. Dua pekan lalu
belasan rekan Ratu mendatangi DPRD DKI Jaya, melaporkan
kasusnya. Kemudian Kamis pekan lalu sekitar 200 pelajar
mendatangi Kanwil P&K DKI Jaya. Dalam pertemuan selama dua jam
itu siswa itu juga menyinggung soal kerudung dan hak asasi.
"Tapi saya tak mau membicarakan yang di luar pendidikan. Saya
menjelaskan tentang peraturan pakaian seragam. Kami tak
bersoalan dengan kerudung," kata Ending Karmadi, Kepala Humas
Kanwil P&K DKI Jaya yang menemui mereka.
Para siswa tersebut tidak puas. "Kami ingin jawaban yang pasti
mengapa kerudung dilarang. Ternyata hanya dijawab soal peraturan
yang kami semua sudah tahu," kata Evi, pelajar SMA 17 yang hadir
dalam pertemuan tersebut.
Pekan lalu persoalan ini dibawa para siswa tersebut ke
Departemen Agama. Menurut Ratu, Dirjen Pembinaan Kelembagaan
Agama Islam H. Anton Timur Djaelani yang menemui mereka,
menganjurkan agar mereka tetap tertib. Sebab jangan-jangan nanti
ada pihak ketiga yang memanfaatkan, memancing kekeruhan
menjelang Sidang Umum MPR. Dianjurkan juga agar mereka mematuhi
sementara ketentuan itu untuk terciptanya stabilitas pendidikan
dan masa depan mereka.
Diangkatnya persoalan kerudung ini oleh para siswa ternyata
membawa buntut. "Di beberapa SMA yang dulunya mendiamkan,
sekarang tiba-tiba mulai mempersoalkan kembali," kata Zainal
Muttaqin, Sekretaris Umum Pimpinan Wilayah PII Jakarta.
IA menyebut contoh beberapa sekolah dan kasus. Antara lain yang
dialami Ratu Siti Hayatun Nisa, kakak Ratu yang bersekolah di
SMA 36, yang sudah 3 tahun dibiarkan berkerudung, tapi kini
dipanggil dan dipersoalkan kerudungnya. Namun sejauh ini belum
ada laporan tentang siswi sekolah negeri yang diskors atau
dikeluarkan karena memakai kerudung di sekolah.
Di SMA Negeri 3 Bandung, Atty Martiana dan tujuh rekan putrinya
yang berkerudung akhirnya tak mendapat nilai pada mata pelajaran
olah raga di rapor yang baru saja mereka terima. "Memang kami
minta dikosongkan saja daripada diberi angka dua seperti
ultimatum yang diberikan," ujar Atty. Alasannya karena Atty
d.k.k. menolak berolah raga dengan mengenakan seragam celana
pendek yang diwajibkan (TEMPO, 11 Desember 1982).
Ribut-ribut pemberitaan media massa mengenai kerudung ini
dianggap Atty membawa hikmah. Pekan lalu, atas permintaan Kepala
Sekolahnya, mereka mengajukan surat permohonan dispensasi kepada
Kanwil P&K Ja-Bar agar diizinkan memakai celana panjang plus
kerudung waktu berolah raga. Soal pemakaian kerudung sendiri
tidak ada persoalan karena pimpinan sekolah tidak mengenakan
sanksi terhadap mereka.
Di Jakarta, nasib Ratu nampaknya suram. Pimpinan SMAN 68
tampaknya tak bersedia berkompromi. "Kalau peraturan tak
ditaati, saya kira masih banyak sekolah swasta yang bisa
memenuhi hak asasi setiap orang," kata Subandio. Tak hanya
peraturan saja yang dijadikan dasar Kepala Sekolah ini.
"Kalau seseorang mendapat prioritas sebagai cara mengamalkan
ajaran agamanya, jangan-jangan nanti pengikut agama Advent akan
minta libur pada hari Sabtu karena merupakan hari Sabbath. Lalu
bagaimana?" tambah Subandio.
Ketentuan mengenakan kerudung ternyata berbeda-beda tergantung
daerahnya. Di Jawa Timur, Kepala Kanwil P&K Soegijo merasa
bersyukur di wilayah kerjanya tidak terjadi kasus kerudung.
Diakuinya pernah ada siswi SMAN I Jember yang diperingatkan
beberapa kali karena memakai kerudung. "Tapi akhirnya ia pindah
ke SMA Bandung," katanya. Namun menurut suatu sumber lain, siswi
tersebut didesak agar pindah sekolah saja.
Di Medan juga tak ditemui kasus kerudung. Yang menarik adalah
Sumatera Barat. Di provinsi ini pemandangan siswi sekolah negeri
berpakaian baju kurung dan mengenakan kerudung sudah amat biasa.
Hal itu memang sudah merupakan tradisi lama yang dinilai
positif. "Saya melihatnya justru lebih baik. Dengan pakaian
begitu berarti ikut menunjang program pendidikan dalam membina
mental kepribadian serta usaha meningkatkan ketakwaan kepada
Allah Swt," kata Yusmarni L.Z., Kepaia SPG Negeri I Padang. Di
antara 600 siswanya terdapat sekitar 20 siswi yang berbaju
kurung dan berkerudung tiap hari.
SMP dan SMA Negeri di Payakumbuh dan Limapuluh Kota, Bukittinggi
mewajibkan para siswanya membawa pakaian untuk salat ke sekolah,
agar bisa salat berjamaah, misalnya pada jam istirahat kedua.
Kanwil P&K Sum-Bar pertengahan 1982 malah mengeluarkan anjuran
pada seluruh siswi sekolah yang berada di lingkungannya agar
memakai baju kurung dan kerudung setiap Jumat dan hari-hari
besar Islam lainnya.
Singkatnya: pemakaian baju kurung dan kerudung tidak pernah
dipermasalahkan di Sum-Bar. "Pokoknya asal tidak mengganggu jam
pelajaran, tidak ada masalah, dan memang tidak dipermasalahkan,"
kata Sekretaris Kanwil Sum-Bar H.T. Ahmad. Dikutipnya keputusan
Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah (PDM P&K yang membolehkan
pemakaian pakaian khas seluruh siswa dalam satu sekolah
berdasar pertimbangan agama dan adat istiadat setempat.
Adanya pengecualian itu diakui Idik Sulaeman, Direktur Pembinaan
Kesiswaan Ditjen PDM. "Ini tidak menyangkut orang per orang,
tapi harus keseluruhan sekolah itu mengenakan seragam yang
dikecualikan. Jadi harus menjadi kebijaksanaan sekolah
tersebut," katanya. Keterangan ini belum jelas benar, sebab
seperti terjadi di Sum-Bar: hanya sebagian siswi yang
berkerudung dan bukan keseluruhannya.
Di tengah ribut-ribut soal kerudung ini, banyak yang menoleh
pada Majelis Ulama Indonesia dan mengharapkan munculnya fatwa
mengenai hal ini. Tapi MUI ternyata tak menganggapnya perlu.
"Tak perlu fatwa sebab masalahnya sudah jelas: berkerudung
merupakan kewajiban bagi umat Islam," kata Ketua MUI KHM Syukri
Ghozali. "Tapi juga kami tekankan agar kerudung juga harus
serasi dengan pakaian seragam sekolah," katanya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini