Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Oh, kerudung

Beberapa pelajar di jakarta memprotes larangan berkerudung di sekolah, dimulai dengan kasus siswi SMA negeri 68, salemba. Masalah ini pertama kali muncul di bandung. (nas)

29 Januari 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SAMPAI akhir pekan lalu Ratu Siti Nashiratun Nisa belum juga masuk sekolah kembali. Siswi kelas I SMA Negeri 68, Salemba, Jakarta ini terus mempertahankan sikapnya: akan bersekolah asal diperbolehkan memakai kerudung lagi. Masalah kerudung tampaknya menghangat di Jakarta, setelah sempat membuat heboh di Bandung (TEMPO, 11 Desember 1982). Ceritanya dimulai 5 Januari lalu, tatkala Ratu muncul di sekolah memakai kerudung. Serta merta pimpinan sekolah memanggil dan menanyainya, karena sebelumnya Ratu tak pernah berkerudung. Pemanggilan itu tidak hanya sekali, sampai 8 Januari 1982 pimpinan sekolah mengirim surat pada orangtua Ratu. Isinya Ratu baru diizinkan masuk sekolah setelah mematuhi seragam sekolah seperti yang ditentukan. "Kami tidak mempersoalkan agama politik dan sebagainya. Yang kami persoalkan adalah peraturan dan ketaatan sekarang siswa yang telah menandatangani perjanjian untuk patuh pada peraturan sekolah," kata Subandio, Kepala Sekolah SMA 68. Dalam perjanjian yang ditandatangani Ratu dan ayahnya pada Juli 1982 -- kewajiban buat semua murid baru -- memang tertera ketentuan tentang peraturan pakaian seragam tersebut. Peraturan tersebut didasarkan pada pedoman pakaian seragam bagi siswa dalam lingkungan pembinaan Ditjen Pendidikan Dasar dan Menengah. Di situ disebutkan bahwa pakaian seragam harian siswi SMTA terdiri dari blus, berlengan pendek putih, rok abu-abu, ikat pinggang, kaus kaki pendek dan sepatu hitam. Kasus Ratu ternyata melebar. Pada 8 Januari Pengurus Wilayah Pelajar Islam Indonesia (PII) Jakarta mengeluarkan pernyataan. Isinya antara lain menyebutkan adanya "penekanan, teror, intimidasi dan bentuk-bentuk ancaman lainnya terhadap siswi-siswi Islam yang mengenakan jIbab (kerudung) ke sekolah." Sebagai contoh disebut kasus di SMA 68. Menurut pernyataan itu, mengenakan kerudung adalah "kewajiban setiap wanita beriman dan merupakan ajaran Islam berdasar perintah Allah dan Rasulnya". Mengenakan kerudung ke sekolah juga dianggap PII tidak bertentangan dengan konstinusi negara. Subandio membantah pernyataan itu. "Kami tidak pernah menteror dan menskors Ratu," ujarnya. Namhn Tb. M. Bahauddin, ayah Ratu, menganggap surat Kepala Sekolah SMA 68 itu "melebihi skorsing" karena tidak ada batasan waktunya. Ratu sendiri bersikeras. "Sebenarnya apa yang saya lakukan yang dianggap tak mematuhi disiplin sekolah?" tantangnya. Menurut dia kesadarannya memakai kerudung diperolehnya setelah mengikuti latihan PII akhir Desember lalu. "Tak ada yang memaksa saya. Kerudung ini saya pakai karena kesadaran saya untuk mengamalkan ajaran Allah. Saya merasa berdosa sekali jika tak mengenakannya," ujarnya. Dua pekan lalu sebenarnya tercapai kompromi antara Subandio dengan Bahauddin: Ratu boleh memakai kerudung sebelum dan sesudah pelajaran. Tapi begitu pelajaran mulai, kerudung harus dibuka dan lengan baju harus digulung. Namun Ratu tetap menolak. Syahdan, kasus ini pun makin menggelembung. Dua pekan lalu belasan rekan Ratu mendatangi DPRD DKI Jaya, melaporkan kasusnya. Kemudian Kamis pekan lalu sekitar 200 pelajar mendatangi Kanwil P&K DKI Jaya. Dalam pertemuan selama dua jam itu siswa itu juga menyinggung soal kerudung dan hak asasi. "Tapi saya tak mau membicarakan yang di luar pendidikan. Saya menjelaskan tentang peraturan pakaian seragam. Kami tak bersoalan dengan kerudung," kata Ending Karmadi, Kepala Humas Kanwil P&K DKI Jaya yang menemui mereka. Para siswa tersebut tidak puas. "Kami ingin jawaban yang pasti mengapa kerudung dilarang. Ternyata hanya dijawab soal peraturan yang kami semua sudah tahu," kata Evi, pelajar SMA 17 yang hadir dalam pertemuan tersebut. Pekan lalu persoalan ini dibawa para siswa tersebut ke Departemen Agama. Menurut Ratu, Dirjen Pembinaan Kelembagaan Agama Islam H. Anton Timur Djaelani yang menemui mereka, menganjurkan agar mereka tetap tertib. Sebab jangan-jangan nanti ada pihak ketiga yang memanfaatkan, memancing kekeruhan menjelang Sidang Umum MPR. Dianjurkan juga agar mereka mematuhi sementara ketentuan itu untuk terciptanya stabilitas pendidikan dan masa depan mereka. Diangkatnya persoalan kerudung ini oleh para siswa ternyata membawa buntut. "Di beberapa SMA yang dulunya mendiamkan, sekarang tiba-tiba mulai mempersoalkan kembali," kata Zainal Muttaqin, Sekretaris Umum Pimpinan Wilayah PII Jakarta. IA menyebut contoh beberapa sekolah dan kasus. Antara lain yang dialami Ratu Siti Hayatun Nisa, kakak Ratu yang bersekolah di SMA 36, yang sudah 3 tahun dibiarkan berkerudung, tapi kini dipanggil dan dipersoalkan kerudungnya. Namun sejauh ini belum ada laporan tentang siswi sekolah negeri yang diskors atau dikeluarkan karena memakai kerudung di sekolah. Di SMA Negeri 3 Bandung, Atty Martiana dan tujuh rekan putrinya yang berkerudung akhirnya tak mendapat nilai pada mata pelajaran olah raga di rapor yang baru saja mereka terima. "Memang kami minta dikosongkan saja daripada diberi angka dua seperti ultimatum yang diberikan," ujar Atty. Alasannya karena Atty d.k.k. menolak berolah raga dengan mengenakan seragam celana pendek yang diwajibkan (TEMPO, 11 Desember 1982). Ribut-ribut pemberitaan media massa mengenai kerudung ini dianggap Atty membawa hikmah. Pekan lalu, atas permintaan Kepala Sekolahnya, mereka mengajukan surat permohonan dispensasi kepada Kanwil P&K Ja-Bar agar diizinkan memakai celana panjang plus kerudung waktu berolah raga. Soal pemakaian kerudung sendiri tidak ada persoalan karena pimpinan sekolah tidak mengenakan sanksi terhadap mereka. Di Jakarta, nasib Ratu nampaknya suram. Pimpinan SMAN 68 tampaknya tak bersedia berkompromi. "Kalau peraturan tak ditaati, saya kira masih banyak sekolah swasta yang bisa memenuhi hak asasi setiap orang," kata Subandio. Tak hanya peraturan saja yang dijadikan dasar Kepala Sekolah ini. "Kalau seseorang mendapat prioritas sebagai cara mengamalkan ajaran agamanya, jangan-jangan nanti pengikut agama Advent akan minta libur pada hari Sabtu karena merupakan hari Sabbath. Lalu bagaimana?" tambah Subandio. Ketentuan mengenakan kerudung ternyata berbeda-beda tergantung daerahnya. Di Jawa Timur, Kepala Kanwil P&K Soegijo merasa bersyukur di wilayah kerjanya tidak terjadi kasus kerudung. Diakuinya pernah ada siswi SMAN I Jember yang diperingatkan beberapa kali karena memakai kerudung. "Tapi akhirnya ia pindah ke SMA Bandung," katanya. Namun menurut suatu sumber lain, siswi tersebut didesak agar pindah sekolah saja. Di Medan juga tak ditemui kasus kerudung. Yang menarik adalah Sumatera Barat. Di provinsi ini pemandangan siswi sekolah negeri berpakaian baju kurung dan mengenakan kerudung sudah amat biasa. Hal itu memang sudah merupakan tradisi lama yang dinilai positif. "Saya melihatnya justru lebih baik. Dengan pakaian begitu berarti ikut menunjang program pendidikan dalam membina mental kepribadian serta usaha meningkatkan ketakwaan kepada Allah Swt," kata Yusmarni L.Z., Kepaia SPG Negeri I Padang. Di antara 600 siswanya terdapat sekitar 20 siswi yang berbaju kurung dan berkerudung tiap hari. SMP dan SMA Negeri di Payakumbuh dan Limapuluh Kota, Bukittinggi mewajibkan para siswanya membawa pakaian untuk salat ke sekolah, agar bisa salat berjamaah, misalnya pada jam istirahat kedua. Kanwil P&K Sum-Bar pertengahan 1982 malah mengeluarkan anjuran pada seluruh siswi sekolah yang berada di lingkungannya agar memakai baju kurung dan kerudung setiap Jumat dan hari-hari besar Islam lainnya. Singkatnya: pemakaian baju kurung dan kerudung tidak pernah dipermasalahkan di Sum-Bar. "Pokoknya asal tidak mengganggu jam pelajaran, tidak ada masalah, dan memang tidak dipermasalahkan," kata Sekretaris Kanwil Sum-Bar H.T. Ahmad. Dikutipnya keputusan Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah (PDM P&K yang membolehkan pemakaian pakaian khas seluruh siswa dalam satu sekolah berdasar pertimbangan agama dan adat istiadat setempat. Adanya pengecualian itu diakui Idik Sulaeman, Direktur Pembinaan Kesiswaan Ditjen PDM. "Ini tidak menyangkut orang per orang, tapi harus keseluruhan sekolah itu mengenakan seragam yang dikecualikan. Jadi harus menjadi kebijaksanaan sekolah tersebut," katanya. Keterangan ini belum jelas benar, sebab seperti terjadi di Sum-Bar: hanya sebagian siswi yang berkerudung dan bukan keseluruhannya. Di tengah ribut-ribut soal kerudung ini, banyak yang menoleh pada Majelis Ulama Indonesia dan mengharapkan munculnya fatwa mengenai hal ini. Tapi MUI ternyata tak menganggapnya perlu. "Tak perlu fatwa sebab masalahnya sudah jelas: berkerudung merupakan kewajiban bagi umat Islam," kata Ketua MUI KHM Syukri Ghozali. "Tapi juga kami tekankan agar kerudung juga harus serasi dengan pakaian seragam sekolah," katanya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus