Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Komisi Pemberantasan Korupsi menggeledah kantor Anggota VI Badan Pemeriksa Keuangan Pius Lustrilanang.
Pius disorot KPK karena menjadi pemimpin BPK yang menugasi tiga auditor BPK Perwakilan Provinsi Papua Barat Daya yang ditetapkan sebagai tersangka suap.
Sebelum Pius, Anggota III BPK Achsanul Qosasi ditetapkan sebagai tersangka dugaan suap dalam kasus korupsi proyek BTS 4G di Kementerian Komunikasi dan Informatika.
PENGGELEDAHAN ruangan Pius Lustrilanang di Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) oleh Komisi Pemberantasan Korupsi memperkuat indikasi bahwa ada yang tidak beres pada Anggota VI BPK itu. Penggeledahan merupakan buntut dari penetapan tersangka terhadap tiga auditor di Perwakilan BPK Provinsi Papua Barat Daya bersama tiga orang lainnya, termasuk penjabat Bupati Sorong, Yan Piet Mosso, dalam kasus dugaan suap pada pemeriksaan dengan tujuan tertentu terhadap kepatuhan belanja daerah Kabupaten Sorong tahun 2022-2023. Pius menerbitkan surat tugas untuk tiga auditor BPK daerah itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Terseretnya Pius menunjukkan lembaga audit negara tersebut belum steril dari korupsi. Kebanyakan dilakukan oleh anggota BPK berlatar politikus atau mantan anggota Dewan Perwakilan Rakyat. Pius pernah menjadi anggota Fraksi Gerindra dan Wakil Ketua Komisi IX DPR. Selain Pius, pada 3 November lalu, Kejaksaan Agung menetapkan Anggota III BPK Achsanul Qosasi sebagai tersangka dugaan suap Rp 40 miliar dalam proyek stasiun pemancar telepon seluler di Kementerian Komunikasi dan Informatika. Achsanul dulunya Wakil Ketua Fraksi Demokrat dan Wakil Ketua Komisi XI DPR.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sebelumnya, Rizal Djalil menjadi tersangka dalam kasus dugaan suap proyek sistem penyediaan air minum di Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat pada 2019. Rizal, yang menjabat Ketua BPK pada April-Oktober 2014, merupakan mantan anggota DPR dari Fraksi Partai Amanat Nasional. Dia diduga merekayasa audit. Lalu Harry Azhar Azis yang menggantikan Rizal, meski tak terjerat korupsi, dinyatakan bersalah oleh Majelis Kode Etik BPK. Mantan Wakil Ketua Komisi XI dari Fraksi Golkar di DPR itu terbukti melanggar kode etik karena memiliki perusahaan di negara suaka pajak, Sheng Yue International Limited, seperti tercantum dalam Panama Papers.
Banyaknya mantan anggota DPR yang terjerat hukum di BPK memperlihatkan betapa dari waktu ke waktu lembaga negara tersebut ternyata tersandera kepentingan politik. Pada setiap periode, selalu ada pemimpin BPK dengan latar belakang politik. Pada periode ini saja, lima dari sembilan anggota BPK merupakan politikus atau mantan legislator. Ketua BPK Isma Yatun, misalnya, pernah menjabat Wakil Bendahara Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan dan anggota Komisi X DPR. Lantaran sarat akan konflik kepentingan, BPK tak mampu menghasilkan produk audit yang bebas kepentingan.
Sebagai lembaga tinggi yang tugasnya mengawal keuangan negara, BPK berada di garda terdepan dalam pengawasan penyelewengan anggaran negara. Auditor BPK seharusnya mencari kecurangan yang tersembunyi dan menyelisik potensi penggelapan keuangan negara yang belum terungkap. Tapi yang sering terjadi anggota BPK malah main mata dengan pejabat pemerintah daerah untuk merekayasa dan menyembunyikan borok-borok pengelolaan keuangan negara.
Demi mengembalikan kredibilitas dan integritas BPK, perlu ada pembenahan serius dari proses seleksi anggota BPK. Anggota BPK semestinya diisi para auditor yang independen dan profesional dengan reputasi mumpuni, bukan pecundang yang gagal mendapatkan kembali tiket ke Kompleks Senayan. Untuk itu, Undang-Undang tentang Badan Pemeriksa Keuangan harus segera direvisi. Serahkan proses perekrutan dan pemilihan calon kepada panitia seleksi independen.
Masa pendaftaran calon anggota BPK pun tak boleh buru-buru dan mesti diumumkan secara luas, tidak hanya di satu media massa dan situs web DPR. Hal ini untuk memberikan kesempatan seluas-luasnya bagi masyarakat yang memenuhi syarat untuk mendaftar sebagai calon. Setelah itu, calon anggota terpilih mesti diumumkan kepada publik untuk mendapat masukan. Hasil penyaringan inilah yang kemudian diajukan ke DPR untuk menjalani uji kelayakan dan kepatutan.
Hanya dengan proses seleksi yang independen dan transparan kita bisa berharap anggota BPK bekerja dengan benar serta mengembalikan kredibilitas lembaga negeri tersebut.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo