Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TERPURUKNYA industri tekstil Tanah Air yang terjadi sejak 2022 menjadi bukti nyata betapa kelirunya pemerintah membuat kebijakan. Alih-alih membangun industri dengan mendorong penyerapan produk dalam negeri, pemerintah justru mempermudah masuknya produk tekstil impor. Berlimpahnya barang impor dari hulu hingga hilir membuat industri tekstil tertekan. Padahal industri ini sebetulnya bisa menjadi penopang pertumbuhan ekonomi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Setelah terpukul akibat pandemi Covid-19, industri tekstil di Indonesia makin babak belur dihajar berbagai persoalan. Dari penurunan angka permintaan ekspor akibat konflik geopolitik, ongkos produksi meningkat gara-gara pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat, sampai mahalnya biaya energi yang ditanggung pengusaha domestik jika dibandingkan dengan negara lain.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berbagai persoalan ini membuat utilitas atau kapasitas produksi pabrik tekstil anjlok, dari 72 persen hingga tinggal 45 persen. Perusahaan yang tak kuat terpaksa menyerah. Setidaknya, dalam dua tahun terakhir, ada 50 perusahaan tekstil anggota Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filament Indonesia yang gulung tikar.
Dampak luasnya, apa lagi kalau bukan pemutusan hubungan kerja (PHK). Dari penutupan puluhan perusahaan itu, sekitar 150 ribu orang harus kehilangan pekerjaan. Walhasil, sektor industri padat karya ini bukannya menyerap tenaga kerja malah menjadi penyumbang angka pengangguran.
Padahal, sebelum masa pandemi, industri ini merupakan salah satu subsektor industri unggulan yang paling banyak menyerap tenaga kerja. Berdasarkan data Kementerian Perindustrian pada 2019, industri ini menyerap 3,73 juta tenaga kerja.
Industri tekstil Tanah Air sebetulnya punya peluang bertahan jika permintaan produk dalam negeri masih terjaga. Sialnya, di dalam negeri, produk tekstil domestik tak terserap karena pasar sudah jenuh akibat stok berlimpah dan serbuan barang impor. Sedangkan daya beli masyarakat belum pulih sepenuhnya.
Jenuhnya pasar lokal ini terjadi karena serbuan barang impor yang tak terbendung. Saat ini tak ada lagi syarat perizinan teknis untuk impor pakaian jadi gara-gara penerbitan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 8 Tahun 2024 tentang Kebijakan dan Pengaturan Impor. Tanpa adanya syarat tersebut, importir produk tekstil dapat dengan mudah memasukkan barang ke Indonesia. Belum lagi ada serbuan produk tekstil ilegal, seperti baju bekas yang sepenuhnya belum mampu diatasi.
Serbuan produk tekstil ini banyak datang dari Cina. Negeri Tirai Bambu ini sedang mengalami kelebihan produk tekstil dan garmen akibat proteksi yang dilakukan banyak negara di Amerika dan Eropa melalui penerapan bea masuk tinggi. Dengan alasan perjanjian Asia-Pacific Trade Agreement, pemerintah seolah-olah tak berdaya membendung serbuan produk asing.
Padahal pemerintah bisa saja memproteksi industri dan pasar domestik dengan menerbitkan kebijakan pengamanan perdagangan untuk mengatasi praktik dumping. Upaya pengetatan masuknya produk ilegal, termasuk pakaian bekas, tampaknya hanya ramai pada 2023. Kita bisa saksikan sendiri, pasar-pasar baju bekas masih ramai penjual dan pembeli.
Kondisi industri tekstil Tanah Air yang terpuruk dan hampir ambruk ini merupakan indikasi serius deindustrialisasi dini sudah terjadi dan berisiko makin parah. Gejala ini tampak sejak dua tahun lalu, ketika kontribusi sektor manufaktur terhadap produk domestik bruto (PDB) anjlok dari 22 persen pada dua tahun sebelumnya menjadi 18,34 persen. Tren deindustrialisasi ini melampaui negara tetangga, seperti Malaysia dan Thailand. Padahal tingkat industri dalam negeri belum mencapai puncaknya.
Sesungguhnya, upaya menyelamatkan industri tekstil dan sektor manufaktur secara keseluruhan tak cukup hanya melalui penerbitan kebijakan. Perbaikan kinerja bea-cukai untuk membendung banjir produk impor ilegal harus menjadi prioritas. Bea-cukai perlu melibatkan aparat keamanan untuk mengawasi pintu-pintu masuk produk ilegal ini. Tapi jangan sampai urusan tersebut malah menjadi lahan basah bagi para pegawai di lapangan. Sebab, tak sedikit aparat penegak hukum yang main mata dengan importir nakal, bahkan membekingi mereka.
Hal lain yang lebih mendesak adalah perlunya keberpihakan pemerintah terhadap penanaman modal padat karya, bukan investasi padat modal seperti yang terjadi dalam beberapa tahun terakhir. Kita tahu, pemerintah kini lebih menyukai investasi mentereng, tapi sebetulnya tak menciptakan lapangan pekerjaan skala besar.
Wajar industri tekstil makin hari kian tertekan. Sektor ini gagal memberikan kontribusi bagi neraca perdagangan.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo