Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Diah S. Saminarsih
Penasihat Senior Direktur Jenderal Who Untuk Bidang Gender Dan Pemuda, Pendiri Center For Indonesia Strategic Development Initiatives (Cisdi)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Hari Kesehatan Dunia, yang jatuh pada 7 April setiap tahunnya, kali ini menjadi peringatan yang penuh keprihatinan. Genap empat pekan sudah dunia berada dalam pandemi dan 16 pekan sejak wabah sindrom pernapasan akut-coronavirus-2 (SARS-Cov-2) merebak. Selama kurun waktu tersebut dan bahkan sejak delapan pekan sebelumnya, dunia berjibaku melawan musuh baru yang menyengsarakan dan mematikan. Tidak kurang dari 1,5 juta orang di seluruh dunia terpaksa menyerah kalah dengan lebih dari 100 ribu di antaranya meninggal. Dunia berada dalam lingkaran kebingungan yang seolah-olah tidak berujung. Peluru perak yang mampu membinasakan Coronavirus Disease 2019 (Covid-19) dengan sekali tembak tidak tersedia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Definisi kesehatan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyebutkan bahwa “sehat” bukan hanya tiadanya sakit, melainkan juga keadaan saat manusia berada pada kondisi fisik, mental, dan sosial yang sejahtera. Namun, dengan definisi yang dalam dan luas ini pun, kesehatan tetap bukan prioritas pertama dan utama dalam pembangunan dan sering kali berada di belakang sektor lain yang lebih mudah menunjukkan dampak keberhasilan. Perlu juga diingat, pemikiran kesehatan sebagai titik sentral keberhasilan pembangunan telah diusung sejak “Kesehatan untuk Semua” menjadi tujuan pembangunan kesehatan dunia dalam Deklarasi Alma Ata, 42 tahun silam. Demikian juga Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs), yang dunia sedang dalam proses mencapai target-targetnya saat ini.
Di negara-negara dengan sistem demokrasi yang telah mapan, umumnya keselarasan dinamika antara pemerintah dan masyarakat sipil sudah menjadi sebuah keniscayaan. Namun, di banyak negara dengan sistem demokrasi yang masih relatif baru dan muda, pembagian fungsi strategis elemen non-pemerintah dan peran sentralnya dalam mencapai target pembangunan sering kali masih jadi pertanyaan. Di tingkat global, kesadaran bahwa target pembangunan tidak mungkin dapat tercapai tanpa keterlibatan aktor pembangunan di luar pemerintah baru mulai terbangun di akhir era Tujuan Pembangunan Milenium (MDGs). Saat itu, kegagalan kolektif dunia mencapai tujuan pembangunan global diatribusikan kepada, antara lain, minimnya keterlibatan masyarakat sipil dan dunia usaha yang menjadi mitra sejajar pemerintah. Hal inilah yang kemudian ditegakkan dalam SDGs: masyarakat sipil yang bergerak aktif dan memberikan kontribusi konstruktif adalah salah satu faktor penentu keberhasilan pembangunan.
Khusus di sektor kesehatan, harus diakui bahwa sebelum pandemi terjadi, kesehatan bukan sesuatu yang terasa sebagai milik banyak orang. Pembuatan kebijakan kesehatan dan semua aksi turutannya, baik global maupun nasional, sering kali menjadi sesuatu yang tampak tidak terhubung langsung dengan aktivitas individu dan komunitas. Dalam banyak kesempatan, kesehatan dan sistem kesehatan dilihat sebagai sekadar tempat singgah untuk meminta layanan dan obat-obatan pada saat dibutuhkan, bukan sesuatu yang secara sadar dipelihara ketangguhannya bersama-sama sebagai aset terbesar populasi sebuah negara. Padahal, penyelesaian kegawatdaruratan kesehatan masyarakat meminta adanya keseimbangan dan dinamika yang harmonis antara semua elemen dalam konstruksi sosial masyarakat. Inilah yang dipahami sebagai pendekatan holistik pemerintah (whole of government approach) dan pendekatan holistik masyarakat (whole of society approach).
Siapa saja yang termasuk dalam konstruksi sosial yang disebut sebagai pemerintah dan masyarakat ini? Secara utuh dapat dilihat setidaknya ada empat bagian besar aktor pembangunan. Pertama, setiap individu wajib melakukan upaya yang melindungi diri dan sekitarnya melalui cara-cara seperti mencuci tangan, tidak menyentuh wajah, melakukan isolasi mandiri bila sakit, menjaga jarak fisik, dan membatasi perpindahan fisik.
Kedua, komunitas memastikan agar layanan publik dan terutama tambahan sumber daya dapat diterima oleh semua dengan prinsip kesetaraan, sesuai dengan konteks dan kebutuhan lokal. Komunitas inilah yang memastikan berjalannya perlindungan bagi kelompok populasi rentan dan tenaga kesehatan serta penerapan langkah pembatasan gerak dan penjagaan jarak.
Ketiga, pemerintah menjalankan fungsi sebagai kompas, memimpin, melakukan koordinasi di antara lembaganya, dan menempatkan diri di atas tarikan berbagai kepentingan, baik politik maupun kelompok, agar serangkaian langkah kesehatan masyarakat bisa dikerjakan.
Keempat, kelompok masyarakat sipil terdiri atas dunia usaha, akademikus, media, dan organisasi kepemudaan. Merekalah yang merangkul individu dan komunitas untuk bergerak dalam harmoni dan mengisi kesenjangan dalam kebijakan maupun implementasinya.
Secara khusus, bagaimana masyarakat sipil berperan di dalamnya? Indikator apa saja yang menjadi tolok ukur keberhasilannya?
Pertama, adanya strategi nasional yang holistik dengan langkah yang tepat dan melibatkan semua menjadi faktor yang menentukan. Kekuatan strategi nasional terlihat dari dikerjakannya beberapa hal utama, yaitu pelibatan dan mobilisasi masyarakat untuk membatasi perpindahan virus, tes massal, penelusuran kontak, isolasi kasus untuk mengontrol penularan, layanan klinis, dan layanan kesehatan untuk menurunkan kematian. Bila perlu, masyarakat melakukan adaptasi strategi sesuai dengan risiko, kapasitas, dan faktor-faktor lain yang berisiko terhadap ketangguhan strategi tersebut.
Kedua, kemampuan untuk bergerak bersama tanpa membutuhkan pemimpin formal, mengorganisasikan diri, visioner, serta jeli memetakan celah dalam strategi nasional untuk diisi oleh aksi dan keberanian berpihak pada kepentingan publik. Sifat ini menjadi penanda khas yang membuat masyarakat sipil mempunyai keuntungan kompetitif dibanding mitra pemerintah, yang harus menaati berbagai aturan tata kelola birokrasi yang sering kali memperlambat gerak.
Ketiga, kemampuan menembus batas-batas geografis tanpa ego kelompok dan menyambungkan berbagai kelompok. Masyarakat sipil lincah bergerak bukan hanya dalam aksi, tapi juga dalam berjejaring dengan berbagai organisasi serupa di dalam maupun luar negeri. Hal ini menjadi penunjang keberhasilan dalam melakukan komunikasi publik secara jelas, kreatif, dan menggunakan semua jalur distribusi informasi yang tersedia dengan cara yang cair tapi akurat.
Khusus untuk Indonesia, kondisi dan modalitas berikut dapat diperhatikan. Pertama, sudah tersedia kerangka regulasi nasional dalam Peraturan Presiden Nomor 59 Tahun 2017 yang dapat dipakai sebagai acuan dalam mengatur keterlibatan masyarakat sipil sebagai mitra sejajar pemerintah untuk mencapai target dalam SDGs. Adanya kerangka regulasi ini memudahkan masyarakat sipil mengatur diri dan menempatkan kekuatan organisasinya dalam berbagai kegiatan publik yang dilakukan secara mandiri maupun bekerja sama dengan pemerintah dan aktor pembangunan lainnya.
Kedua, Indonesia sejatinya mempunyai jejaring masyarakat sipil di sektor kesehatan maupun non-kesehatan yang kuat dan secara alamiah telah sejak dini melindungi kelompok rentan. Rentang kegiatan kelompok ini, dari advokasi kebijakan hingga pendampingan masyarakat, telah tersebar secara nasional.
Sebagai contoh, Indonesia masih menjadi negara dengan beban tuberkulosis (TBC) tertinggi kedua di dunia. Masyarakat sipil berperan memastikan agar penderita TBC dengan resistansi obat mendapat perhatian secara terus-menerus. Dari luar sektor kesehatan, kelompok filantrofi, aktivis perempuan dan gender, berbagai organisasi pemuda, dan jejaring antikorupsi adalah sedikit contoh kumpulan yang saat ini telah terjun langsung mengerjakan berbagai aksi masyarakat. Aksi cuci tangan, pengumpulan data jumlah maupun sebaran kasus serta pemetaan kebutuhan fasilitas kesehatan melalui crowd sourcing, tes polymerase chain reaction (PCR) untuk tenaga kesehatan, dan kelas online untuk menambah kapasitas tenaga kesehatan adalah beberapa contoh aksi yang telah dan sedang berjalan.
Dalam pandemi, rasa kemanusiaan dan keberanian kita menjawab panggilan patriotis diuji. Memang bukan hal mudah untuk bekerja bersama di atas berbagai kepentingan, namun bukan berarti ini menjadi pembenaran untuk tidak berbuat lebih banyak lagi. Inilah salah satu bentuk konkret solidaritas yang berulang kali ditegaskan Direktur Jenderal WHO sebagai hal utama yang dibutuhkan untuk mengalahkan pandemi. Gerak seiring-seirama berbagai elemen dalam dan antarnegara mempunyai tujuan yang sama: menyelamatkan kemanusiaan dan nyawa manusia, menuntaskan pandemi, dan mengakhiri kegawatdaruratan kesehatan.
Tulisan ini merupakan versi lengkap dari opini yang terbit di Koran Tempo edisi cetak.