Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Kebingungan Pemerintah Soal Perumahan

Program penyediaan rumah murah masih menggantung. Perlu ada perbaikan skema Tapera.

24 Oktober 2024 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Kebingungan Pemerintah Soal Perumahan

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Realisasi Program Sejuta Rumah pada Juli 2024 baru mencapai 617.622 unit atau 59,23 persen dari target.

  • Pungutan iuran Tapera mirip dengan iuran jaminan hari tua Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Ketenagakerjaan.

  • Iuran JHT untuk fasilitas perumahan sebaiknya segera dialihkan dari BPJS Ketenagakerjaan ke BP Tapera.

SALAH satu masalah pada akhir pemerintahan Presiden Joko Widodo yang menjadi pekerjaan rumah pemerintahan Prabowo Subianto adalah penyediaan rumah murah bagi rakyat.

Sebagaimana Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28H ayat 1 yang menyatakan setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat, serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan. Hal ini berarti pemerintah bertanggung jawab untuk menyediakan rumah bagi rakyatnya. 

Lalu bagaimana kinerja Jokowi selama 10 tahun di sektor perumahan? Pada 20 Mei 2024, pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2024 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2020 tentang Penyelenggaraan Tabungan Perumahan Rakyat atau Tapera. 

Tapera dikelola Badan Pengelola (BP) Tapera yang merupakan peleburan Badan Pertimbangan Perumahan Rakyat Pegawai Negeri Sipil. Untuk mempercepat capaian itu, pemerintah meluncurkan Program Sejuta Rumah (PSR) pada 2015, ketika angka kekurangan rumah (backlog) mencapai 11,4 juta unit. 

Menurut Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, pada tahun ini, target PSR mencapai 1.042.738 unit. Namun, hingga Juli 2024, realisasinya baru mencapai 617.622 unit atau 59,23 persen dari target. Jumlah itu meliputi 484.119 unit untuk masyarakat berpenghasilan rendah dan 133.503 unit untuk non-masyarakat berpenghasilan rendah.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Awalnya Program Sejuta Rumah diharapkan dapat menekan backlog perumahan menjadi 6,8 juta dalam waktu lima tahun sejak 2015. Namun, setelah hampir 10 tahun, angka backlog, menurut Badan Pusat Statistik, justru naik menjadi 9,9 juta unit per 2023. Lantas apa saja tantangan yang dihadapi pemerintahan Prabowo?

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pada dasarnya, Tapera bertujuan menghimpun dan menyediakan dana murah jangka panjang berkelanjutan untuk pembiayaan perumahan demi memenuhi kebutuhan rumah yang layak dan terjangkau peserta. Skemanya berupa penyimpanan dana oleh peserta secara periodik dalam jangka waktu tertentu. 

Besarnya simpanan dipatok 3 persen dari gaji, yang ditanggung pekerja, 0,5 persen ditanggung pemberi kerja, dan 2,5 persen ditanggung peserta. Sementara itu, bagi pekerja mandiri, besaran simpanan yang dihitung dari upah minimum itu ditanggung sendiri. Selain itu, Tapera berlaku bagi aparatur negara dan kelak anggota TNI/Polri, karyawan badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, serta badan usaha milik desa.

Meski begitu, hasil dari simpanan itu hanya dapat dimanfaatkan untuk pembiayaan perumahan dan/atau dikembalikan berikut hasil pemupukannya setelah kepesertaan berakhir. Skema KPR bersubsidi dengan uang muka 1 persen dan suku bunga tetap 5 persen bertenor 20 tahun ini justru dianggap petaka. Besaran simpanan Tapera juga dianggap membebani sehingga ditolak mentah-mentah oleh pekerja dan para pengusaha yang tergabung dalam Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia.

Penolakan itu dapat dimengerti. Sebab, ternyata pungutan iuran Tapera mirip dengan iuran jaminan hari tua (JHT) Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Ketenagakerjaan. Pada iuran JHT, peserta memperoleh manfaat layanan tambahan berupa fasilitas pembiayaan perumahan dan/atau manfaat lain. 

Fasilitas pembiayaan rumah dalam JHT BPJS Ketenagakerjaan itu diatur dalam PP Nomor 46 Tahun 2015 tentang Penyelenggaraan Program JHT. Pasal 25 aturan itu menegaskan fasilitas tersebut berupa pinjaman uang muka KPR, rumah susun sederhana sewa, dan pinjaman renovasi perumahan. 

Lalu bagaimana solusinya? Sudah barang tentu iuran JHT untuk fasilitas perumahan sebaiknya segera dialihkan dari BPJS Ketenagakerjaan ke BP Tapera. Dengan begitu, tak akan ada potongan ganda yang membebani pekerja dan pengusaha. Namun hingga kini pemerintah masih diam seribu bahasa. Walhasil, kalangan pekerja, pengusaha, dan masyarakat pun mengajukan gugatan uji materi terhadap aturan Tapera. 

Pemerintah sempat berencana membentuk Badan Percepatan Penyelenggaraan Perumahan (BP3). Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 Pasal 50 dan 185 huruf b tentang Cipta Kerja menitahkan pemerintah membentuk Kementerian Perumahan dan Perkotaan atau segera merealisasi BP3. Pembentukan BP3 itu bertujuan mengurangi backlog dengan segera.

BP3 adalah badan yang dibentuk pemerintah pusat untuk mempercepat penyediaan rumah umum yang layak dan terjangkau bagi masyarakat berpenghasilan rendah. Pemerintah wajib membentuk BP3 dalam waktu dua tahun, tapi belum terwujud. Justru Presiden Prabowo dalam susunan kabinetnya memisahkan urusan perumahan dari Kementerian Pekerjaan Umum dengan membentuk Kementerian Perumahan dan Permukiman.  

Berbagai kebijakan ini akhirnya menunjukkan kebingungan pemerintah dalam hal perumahan rakyat dan Tapera. Kalaupun nanti BP3 dibentuk, tugas dan fungsinya akan beririsan dengan BP Tapera, yakni mempercepat penyediaan rumah umum, menjamin bahwa rumah umum hanya dimiliki dan dihuni oleh masyarakat berpenghasilan rendah, menjamin tercapainya asas manfaat rumah umum, serta melaksanakan berbagai kebijakan di bidang rumah umum dan rumah khusus.

Maka hal yang bisa dilakukan adalah mentransformasi BP Tapera menjadi BP3 agar lebih ekonomis, cepat, dan praktis, ketimbang membentuk badan baru yang anggarannya juga bersumber dari APBN (Paul Sutaryono, Infobanknews.com (8 Oktober 2024).

Kementerian Perumahan dan Permukiman harus duduk bersama dengan Kementerian Keuangan dan BP Tapera untuk membahas strategi jitu dalam menyediakan perumahan bagi masyarakat. BPJS Ketenagakerjaan yang memungut iuran JHT untuk uang muka KPR, Kadin, dan asosiasi perumahan sebagai mitra pemerintah juga harus diajak bicara.

Gagasan pemerintah menyediakan rumah murah bagi rakyat melalui berbagai skema ini harus dikomunikasikan secara efektif melalui sosialisasi lewat serikat pekerja dan asosiasi pengusaha. Bukan dengan tiba-tiba menerbitkan aturan. 

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Redaksi menerima tulisan opini dari luar dengan syarat: panjang sekitar 5.000 karakter (termasuk spasi) atau 600 kata dan tidak sedang dikirim ke media lain. Sumber rujukan disebutkan lengkap pada tubuh tulisan. Kirim tulisan ke e-mail: [email protected] disertai dengan foto profil, nomor kontak, dan CV ringkas.

Paul Sutaryono

Paul Sutaryono

Assistant Vice President BNI (2005-2009)

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus