Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
RENCANA pemerintah merombak kabinet tak akan berarti jika hanya bertujuan mengakomodasi kepentingan partai. Dua partai yang tak menyokong Joko Widodo-Jusuf Kalla dalam Pemilihan Umum 2014—Partai Amanat Nasional dan Partai Golkar—kini berada di barisan pemerintah. Ditambah enam partai lain yang lebih dulu bergabung, pendukung Jokowi di Dewan Perwakilan Rakyat kini lebih dari cukup.
Meski kuat di legislatif, tak selayaknya Jokowi memasrahkan kabinet kepada kandidat dari partai politik—praktek yang mengingkari janjinya di awal pemerintahan dulu: tak akan bagi-bagi kursi. Masalah pelik yang sedang dihadapi pemerintah adalah perbaikan ekonomi. Perombakan kabinet seharusnya dilakukan untuk menjawab tantangan ini.
Sejumlah indikator menunjukkan ekonomi mandek di sana-sini. Pertumbuhan mentok 4,9 persen dari target 5,2 persen—terseok-seok naik 0,13 persen dibanding tahun lalu. Pemasukan pajak baru mencapai 33,8 persen, listrik mampet, harga daging dan beras melonjak, data pangan acak adul, sementara industri hilir tak bergerak.
Koordinasi antarmenteri lemah. Pemerintahan tak bisa memacu birokrasi agar berjalan sesuai dengan visi-misi Jokowi yang ingin "kerja, kerja, kerja". Birokrasi seperti gergasi yang gagal membuat skala prioritas, sehingga pelaku ekonomi kebingungan mengikutinya. Para menteri saling tuding di arena publik tentang kebijakan mereka yang berjalan tak padu.
Harga pangan yang melambung—dengan angka-angka indikator yang berbeda di tiap lembaga—membuat konsumsi masyarakat merosot. Padahal konsumsi rumah tangga menyumbang 80 persen pertumbuhan ekonomi.
Di awal memerintah, Jokowi mengeluhkan kinerja kabinetnya. Lewat pelbagai negosiasi dengan partai politik, ditambah pengetahuannya yang belum lengkap perihal para kandidat menteri, ia tak maksimal menyusun kabinet. Tapi kini Jokowi sudah memimpin Indonesia selama hampir dua tahun. Seharusnya ia sudah bisa memegang kendali.
Kelincahan Jokowi memberi contoh kerja yang cekatan tak diikuti gerak gegas para pembantunya. Perombakan kabinet semestinya menyingkirkan menteri yang lamban dan sulit berkoordinasi. Jokowi tidak boleh dua kali jatuh di kubangan yang sama—jika ia mengganti menteri yang tak cakap dengan kandidat yang juga bakal tak cakap.
Presiden selayaknya juga memperbaiki gaya kepemimpinannya. Mempraktekkan politik keseimbangan—menempatkan menteri yang satu untuk "mengontrol" menteri yang lain—mudah menerbitkan tudingan bahwa Presiden tak mampu mensinergikan anak buah. Kemampuan Jokowi menahan tekanan partai politik—misalnya dalam penetapan Kepala Kepolisian RI baru-baru ini—hendaknya dibarengi dengan kemampuannya mengelola para menteri.
Presiden selayaknya juga mengambil posisi yang jelas dalam membuat kebijakan—termasuk menetapkan menteri yang akan menjalankan kebijakan itu. Ketidakjelasan visi itu misalnya terlihat di bidang ekonomi: Menteri Pertanian sangat pro-proteksionisme, sementara untuk jabatan Menteri Perdagangan ia pilih ekonom yang percaya pada mekanisme pasar. Problem mendasar ini menciptakan ketidaksinkronan yang melahirkan kebijakan yang tak sejalan, bahkan bertabrakan. Keinginan Jokowi agar Indonesia tak banyak melakukan impor pangan sulit terlaksana karena pembantunya tak sanggup menyediakan kebutuhan dari dalam negeri.
Paket-paket kebijakan yang diharapkan segera menggenjot roda pembangunan malah menjadi bumerang karena justru menghambat laju pertumbuhan usaha kecil dan mikro yang menjadi penopang utama ekonomi negeri ini. Penyaluran kredit ke usaha kecil pada semester pertama tahun ini hanya tumbuh 8,9 persen.
Maka, jika Presiden ingin mengganti para menterinya, ia harus merujuk pada tujuannya, yakni memperbaiki ekonomi yang sedang lesu. Jika tujuan ini diabaikan, perombakan menjadi hampa dan tak akan menumbuhkan kembali harapan masyarakat kepada pemerintah.
Sepatutnya Presiden berfokus pada kementerian di bidang ekonomi: keuangan, pertanian, perdagangan, perencanaan, dan badan usaha milik negara. Semua menteri harus tunduk patuh kepada Presiden. Tak boleh lagi publik mendengar para menteri bertengkar, apalagi di ruang publik. Presiden harus memberi arahan yang jelas. Kebijakan yang abu-abu merupakan pangkal sengketa di antara para pembantu.
Modal utama Presiden dalam memerintah adalah kepercayaan publik. Kepercayaan masyarakat kepada Presiden yang hingga kini masih tinggi, menurut sejumlah survei, harus dikembangkan menjadi kepercayaan kepada kabinet dan kepada birokrasi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo