Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KEGAGALAN penegak hukum memeriksa saksi kunci dugaan suap Sekretaris Mahkamah Agung Nurhadi sungguh memprihatinkan. Urusan ini seharusnya segera menjadi perhatian Jenderal Tito Karnavian, yang baru dilantik sebagai Kepala Kepolisian Republik Indonesia. Soalnya, saksi penting yang sulit dihadirkan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi itu anggota Kepolisian.
KPK sempat menyelidiki Nurhadi, yang diduga terlibat dalam "pengamanan perkara" di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Ia diduga terseret kasus Doddy Aryanto Supeno, pegawai PT Artha Pratama Anugerah, anak usaha Grup Lippo, yang disangka menyuap Panitera Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Edy Nasution. Hanya, pengusutan komisi antikorupsi terhadap pejabat Mahkamah Agung itu terhambat lantaran gagal menghadirkan lima saksi kunci, yakni sopir serta empat polisi yang menjadi ajudan dan pengawal Nurhadi.
Sopir Nurhadi yang bernama Royani itu tiba-tiba bak memiliki aji-aji menghilang. Ia seolah-olah raib begitu saja. KPK sulit mengendus jejaknya kendati ia diperkirakan masih tinggal di sekitar Jakarta. Begitu pula empat polisi—Brigadir Ari Kuswanto, Brigadir Dwianto Budiawan, Brigadir Fauzi Hadi Nugroho, dan Inspektur Dua Andi Yulianto—yang selama ini mengawal Nurhadi. Komisi antikorupsi sulit memanggil keempat polisi itu walau keberadaan mereka sesungguhnya sudah jelas.
Empat polisi itu diketahui berada di hutan Poso, Sulawesi Tengah, masuk tim yang bertugas menangkap kelompok teroris Santoso. Mereka dipindahtugaskan pada akhir Mei lalu, padahal surat panggilan KPK sudah diserahkan pada pertengahan Mei. Penugasan itu terkesan untuk menghindari pemanggilan. Tak mungkin para pejabat tinggi Kepolisian tidak tahu bahwa komisi antikorupsi sedang memanggil empat polisi itu.
Jenderal Tito Karnavian kini perlu memberi perintah tegas agar empat polisi itu keluar sementara dari hutan Poso. Memang benar perburuan Santoso adalah pertaruhan Polri. Jenderal Tito sendiri bersumpah menangkap Santoso hidup atau mati. Tapi amat memalukan pula bila Tito tidak berikhtiar ikut meringankan kerja KPK.
Kepolisian semestinya segera menghadirkan keempat saksi agar tidak terkesan merintangi pengungkapan kasus Nurhadi. Jangan sampai KPK harus "menjemput paksa". Empat polisi itu juga bisa kena pasal tindak pidana bila kelak menolak bersaksi di pengadilan. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana mengatur, orang yang menolak panggilan sebagai saksi perkara pidana di pengadilan bisa dikenai hukuman penjara paling lama sembilan bulan.
Keberadaan ajudan dan pengawal Nurhadi selama ini juga menjadi sorotan. Kendati dibenarkan aturan, pemberian banyak pengawal kepada Nurhadi sebenarnya kurang pantas. Kepolisian RI seharusnya tidak memperbantukan personel sebanyak itu untuk mengawal seorang pejabat Mahkamah Agung. Kebijakan seperti ini juga perlu diluruskan Jenderal Tito.
Tak perlu membuat janji yang muluk-muluk, Jenderal Tito bisa menunjukkan komitmennya memberantas korupsi dengan membantu membongkar kasus Nurhadi. Ini bisa dimulai dengan ikut memburu Royani, yang belum juga memenuhi panggilan KPK. Langkah lain yang lebih mudah, tentu saja, memerintahkan empat polisi yang bertugas di Poso segera memenuhi panggilan.
Kasus Nurhadi merupakan momentum bagus bagi Kepala Polri baru. Jangan sampai Kepolisian RI di bawah Jenderal Tito dianggap sama saja dengan kepemimpinan sebelumnya atau dianggap kurang peduli terhadap pemberantasan korupsi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo