Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dua orang duduk berdekatan. Dalam lakon Menunggu Godot Samuel Beckett ini, di babak ke-7, mereka berbicara:
Gogo: Lalu apa?
Didi: Ah! Kita akan bercakap-cakap! (mereka pun saling mendekat, sampai sekitar 10 kaki). Yah, kurang pelan, mungkin. Begitulah jalannya.
Gogo: Memangnya jalan?
Didi: Ya. Harus.
Percakapan memang terjadi, dan seperti kata Didi, harus ”jalan”. Tapi buat apa? Menunggu Godot menjawab dengan kering: kata-kata yang bersahut-sahutan itu bagian dari laku menunggu yang tak berkesudahan.
Di sebuah adegan lain, Estrogen bertanya: ”Do we need a point?” Apa kita memang perlu ada ide atau pikiran yang ingin dikemukakan jika kita masuk ke dalam sebuah percakapan? Jawab Damvlad: ”Sebagian orang mungkin perlu itu.” Estrogen: ”Meskipun tak ada?”
Menunggu Godot adalah teater yang mengabarkan bahwa ”kabar” selamanya akan ”kabur”. Ini memang sebuah teater, dan di atas pentas diharapkan ada dialog. Tapi justru dalam teater ini dialog dan percakapan sendiri perlu diragukan. Itu sebabnya Gogo skeptis: ”Memangnya jalan?”
Syahdan, sejarah mencatat hubungan antarmanusia yang putus, perang dan kekerasan tak henti-hentinya terjadi. Orang sadar, percakapan ”harus jalan”. Tapi juga orang sadar, bahasa adalah himpunan prisma yang berkabut, terkena uap mulut para pembicara (lengkap dengan pelbagai baunya yang aneka ragam), sementara yang terpancar dari sana adalah dispersi makna yang bersinar ke arah mana saja.
Beckett melukiskan ambruknya komunikasi manusia dengan menggelikan tapi juga murung. Kita seakan-akan dibawa untuk menyaksikan sebuah dunia di mana permufakatan tak akan pernah terjadi….
Tapi benarkah tak akan terjadi? Belum tentu. Dari lakon Beckett itu kita juga bisa dapat kesan, orang-orang yang ”menunggu Godot” itu akhirnya diam-diam sepakat: mereka harus di sana bersama-sama. Ketika dalam kebersamaan itu kata hanya bunyi, tak lebih dan tak kurang, pertengkaran (sebagaimana persetujuan) tak terjadi. Kita bahkan bisa menyimpulkan: ajaib, dalam suasana negatif itu, ternyata masih ada sesuatu yang bisa diterima orang yang berbeda-beda. Semacam konsensus tercapai, walaupun bahasa tak punya arah.
Mungkin dari sini ada harapan: dalam kebersamaan manusia, kalaupun tak ada sesuatu yang universal, toh masih ada yang dapat ditumbuhkan jadi universal, yang tak ditampik pihak-pihak yang punya mulut dan abab berbeda-beda.
Itulah harapan politik. Yang saya maksudkan dengan ”politik” di sini sedikit kuno: ikhtiar untuk merawat pertalian sosial. Tak jarang ikhtiar itu melalui persaingan, konflik, dan adu kekuatan, tapi tak hanya itu. Politik bukan pembasmian. Bila antagonisme saja yang jadi dasarnya, pertalian sosial selamanya akan mencemaskan; tak akan ada sebuah masyarakat yang mampu terus-menerus menanggungkan itu. Politik bukan hanya ”kami” menghadapi ”mereka”, tapi juga (atau justru) ”kami” yang berusaha terus-menerus membentuk ”kita”.
Tapi selama ini, orang bingung. Apa landasan yang membuat ”kita” tak mustahil? Dari mana datangnya ”yang universal” yang memungkinkan ”kami” dan ”mereka” bisa jadi ”kita”?
Zaman ini memang menolak mengakui bahwa nilai-nilai yang universal datang dari luar sejarah manusia, dari sesuatu yang transenden, misalnya agama yang diwahyukan Tuhan. Bahkan Habermas, seraya percaya akan kemungkinan konsensus, berbicara tentang perlunya ”de-transendentalisasi”.
Para pemikir yang menolak yang transenden, dan meneguhkan ”imanensi”, sejak Marx sampai Deleuze, mencoba menjelaskan bahwa nilai-nilai ”universal” mengikuti riwayat manusia dengan tubuh dan kehidupan sosialnya: berubah-ubah. Para pemikir ”post-modern” malah menunjukkan, yang ”universal” hanya kedok bagi asumsi dunia modern yang memegang dominasi.
Tapi bila begitu, harapan politik untuk membentuk ”kita” akan selalu kandas, atau hanya berhasil karena kekuatan senjata, orang ramai, dan kekayaan. Politik, seperti yang akhir-akhir ini terasa di Indonesia, akan hidup dengan defisit ethis. Tak adakah kemungkinan lain?
Barangkali. Sebab tanpa bersandar pada apa yang transenden, kita toh bisa lihat (mengikuti Karl-Otto Apel) ada yang ”transendental” dalam hidup kita—sesuatu yang tumbuh dari satu tempat dan satu masa, tapi juga mengatasi tempat dan masa itu. Yang ”tak adil” memang bisa berbeda-beda dinyatakan dan dirasakan, tapi kehendak melawan kekejaman tumbuh di mana-mana.
Apel berbicara tentang ”ethika wacana”, Diskursethik: ia tak menganggap penilaian moral semata-mata subyektif, dan segala hal jadi nisbi. Tapi ia tak bertolak dari dasar yang dirumuskan Descartes, ”aku berpikir”—yang akhirnya hanya berkutat dengan ”aku”. Apel mengajukan alternatif: ”aku berargumen”. Dengan kata lain, ”aku” menggunakan bahasa, walaupun patah-patah, dan ada subyek lain yang diajaknya bicara.
Dalam proses itu mau tak mau ada asumsi bahwa yang diajak bicara akan menerima sesuatu yang bisa ditumbuhkan jadi nilai bersama: sebuah prinsip ”universalisasi”. Percakapan, betapapun sulitnya, bukan untuk saling membunuh. Kita tak tahu bagaimana bentuk dan akhir percakapan itu—kita tak tahu bagaimana sang Godot—tapi kita tetap melakukannya. Sebuah pragmatisme sehari-hari.
Do we need a point?
Kita memang perlu sesuatu yang jangan-jangan tak ada—tujuan yang tunggal, tafsir kata-kata yang bersepakat—tapi kita tetap saja saling bicara. Dalam suasana muram Menunggu Godot, kita tak melihat sebuah politik yang dengan sinis ingin menyingkirkan, atau membeli, orang lain.
Goenawan Mohamad
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo